Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan merupakan salah satu politisi paling mendapat perhatian di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Luhut diberi berbagai julukan, mulai dari Lord, Perdana Menteri, hingga Menteri Segala Urusan. Pertanyaannya, jika benar begitu berkuasa, mengapa Presiden Jokowi membiarkan Luhut?
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Jika DPR Diganti Artificial Intelligence, telah diberikan saran yang tampaknya saat ini tengah dilakukan berbagai elite politik. Sedikit mengulang, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi big data untuk merumuskan kebijakan publik.
Seperti yang dilakukan tim pemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, big data digunakan untuk mengumpulkan sentimen dan aspirasi masyarakat yang terhampar di internet, khususnya media sosial (medsos). Hamparan data tersebut kemudian dikategorisasi dan dianalisis untuk menentukan strategi pemenangan dan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Saran dalam artikel tersebut tampaknya kini telah dilakukan. Adalah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menggunakan big data untuk mendukung penundaan Pemilu 2024. Muhaimin mengklaim memiliki 100 juta big data akun medsos, sementara Luhut 110 juta akun.
Terkait klaim data ini, memang ada beragam respons, khususnya yang memberi pertanyaan serius. Burhanuddin Muhtadi dalam tulisannya Rising Support for Postponing Indonesia’s Elections? What the Data Really Says, misalnya, secara meyakinkan membantah data Muhaimin dan Luhut.
Mengutip pernyataan pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi, Burhanuddin menyebut klaim Luhut bahwa 110 juta warganet membahas penundaan pemilu tidak masuk akal. Berdasarkan analisis data Drone Empirit, jumlah warganet yang membahas topik tiga periode presiden atau menunda pemilu tidak lebih dari 7,7 juta di Facebook dan 12.000 di Twitter.
Lanjut Burhanuddin, analisis Drone Emprit seayun dengan temuan firma analisis big data, Evello. Dalam temuan Evello, hanya sekitar 693.289 akun medsos yang membahas tentang pemilu – sekitar 17.000 di Twitter, 87.000 di YouTube, 134.000 di Instagram, dan 454.000 di TikTok. Dari 600-an ribu akun tersebut, hanya 28 persen unggahan yang dikategorikan sebagai “kegembiraan”, 51,3 persen dikategorikan negatif, 27 persen sedih, 8 persen marah, 4 persen jijik, dan 3 persen takut.
Dengan demikian, mengacu pada jumlah akun medsos yang membahasnya tidak lebih dari 8 juta pengguna, dapat dikatakan klaim data Muhaimin dan Luhut sangat patut untuk dipertanyakan dengan serius.
Well, terlepas dari tepat tidaknya klaim data Muhaimin dan Luhut, yang patut dilihat secara khusus adalah, mengapa Presiden Jokowi tidak memberi tanggapan? Apalagi membahas Luhut, selaku menteri, bukankah ia adalah pembantu Presiden? Apa yang dapat dimaknai dari semua ini?
Dua Variabel Penting
Untuk mengulasnya, ada dua variabel penting yang patut diperhatikan. Pertama, ada perubahan respons Presiden Jokowi terhadap isu perpanjangan masa jabatan presiden. Kedua, seperti yang telah diulas berbagai akademisi politik, Presiden Jokowi adalah pengejawantahan Raja Jawa yang menerapkan budaya politik Jawa.
Terkait yang pertama, kita tentu masih ingat pernyataan tegas Presiden Jokowi pada 2 Desember 2019 lalu. “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga [maknanya] menurut saya: Satu, ingin menampar muka saya; yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga ingin menjerumuskan,” ungkapnya ketika mengomentari isu presiden tiga periode.
Yang menarik, pada 4 Maret 2022, Presiden Jokowi justru memberi pernyataan lunak dan tidak melarang. “Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat,” ungkapnya di Istana Bogor.
Seperti yang disebutkan peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro, kedua pernyataan tersebut dengan jelas terlihat kontras dan mudah ditafsirkan bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden mungkin saja berasal dari lingkaran Istana.
Pada 22 Maret 2022, Ketua DPR Puan Maharani juga memberi dugaan yang sama. Menurutnya, bukan tidak mungkin terdapat orang sekeliling Presiden Jokowi yang tengah berusaha mempengaruhi untuk menunda Pemilu 2024.
Nah, variabel pertama ini berkorelasi dengan variabel kedua. Dalam budaya politik Jawa, pembantu raja tidak akan mengeluarkan pernyataan apabila merasa itu bertolak belakang dengan keinginan sang raja. Dalam gestur politik Indonesia dewasa ini, tidak adanya teguran terbuka dengan mudah ditafsirkan sebagai bentuk persetujuan.
Konteksnya makin menarik apabila kita melihat Luhut, sosok yang disebut-sebut menjadi orang kepercayaan Presiden Jokowi. Menurut Aaron L Connelly dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi, hubungan Presiden Jokowi dengan Luhut sudah terjalin sejak RI-1 masih menjabat Wali Kota Solo pada tahun 2008.
Kemudian, menurut Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff, Luhut menjadi semacam “bemper” Presiden Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan.
Singkatnya, sekali lagi, selaku sosok yang memiliki hubungan panjang dan penting dengan RI-1, dukungan terbuka Luhut terhadap penundaan pemilu tampaknya sulit dilepaskan dari indikasi kesetujuan Presiden Jokowi.
Permainan Peran?
Selain pemaknaan atas kesetujuan, ada satu lagi tafsiran menarik yang dapat dibuat. Tafsiran ini sejalan dengan adagium bahwa politik tidak pernah telanjang. Politik menampilkan dirinya sebagai motif dan tujuan yang berlapis dan sebisa mungkin sulit untuk diungkap.
Kita tentu akrab dengan sebutan Lord Luhut, Perdana Menteri, hingga Menteri Segala Urusan. Pertanyaannya sederhana, mengacu pada psikologi raja di mana raja tidak mungkin membiarkan bawahannya lebih bersinar, mengapa Presiden Jokowi seolah membiarkan begitu saja penyematan semacam itu kepada Luhut? Bukankah itu akan menciptakan persepsi bahwa Luhut lebih berpengaruh dari RI-1?
Untuk membaca keganjilan ini kita dapat mengacu pada konsep dramaturgi dari Erving Goffman, yakni panggung depan politik sering kali berbeda dengan panggung belakang. Sama seperti di teater, panggung depan pada dasarnya adalah skrip yang telah disetujui. Panggung depan adalah orkestra yang memang sengaja disuguhkan kepada penonton, yakni kita semua.
Nah, sekarang coba bayangkan ini, bagaimana jika ini semua adalah permainan bad cop/good cop? Jika diperhatikan, tampilnya Luhut sering kali pada isu-isu yang rentan mendapat sentimen negatif. Yang terbaru, tentu saja adalah penundaan pemilu.
Singkatnya, bagaimana jika Luhut sengaja ditempatkan sebagai bad cop? Dengan demikian, berbagai persoalan yang ada kemudian dapat dilimpahkan kepada politisi senior Partai Golkar ini.
Apabila melakukan komparasi, strategi bad cop/good cop juga pernah dilakukan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Ratziel San Juan dalam tulisannya Robredo camp tells Duterte not to use VP as ‘scapegoat’ for drug war failures menyebut Duterte menjadikan Wakil Presiden Filipina Leni Robredo sebagai kambing hitam atas kegagalannya dalam memerangi narkoba.
Kemudian, Bill Palmer dalam tulisannya Turns out Donald Trump really is trying to scapegoat Mike Pence menyebut Trump menempatkan Wakil Presiden AS Mike Pence sebagai kambing hitam dalam penanganan pandemi Covid-19.
Sebagai penutup, tentu harus digarisbawahi bahwa analisis ini hanyalah spekulasi, interpretasi, dan sulit untuk diverifikasi kebenarannya. Namun, seperti yang disebutkan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan, segala kemungkinan tidak boleh diabaikan. (R53)