Site icon PinterPolitik.com

Kenapa Grace Malah Bahas Agama?

partai solidaritas indonesia

Grace Natalie. (Foto: detikNews)

Di tengah diskusi publik tentang penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo terhadap David Latumahina, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie tiba-tiba membahas agama David yang menurutnya dipermasalahkan sejumlah media. Mengapa Grace membahas hal yang bukan jadi fokus utama publik?


PinterPolitik.com

Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo terhadap David Latumahina telah menyita perhatian publik sejak pekan lalu. Kejamnya aksi pemukulan yang dilakukan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) tersebut bahkan ikut memancing respons dari sejumlah figur populer – mulai dari influencer seperti Deddy Corbuzier sampai sejumlah anggota DPR.

Salah satu yang ikut buka suara tentang kekerasan itu adalah Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie. Dalam sebuah cuitan di akun Twitter-nya, @grace_nat, Grace mengatakan bahwa David adalah korban yang harus dibela – terlepas dari persoalan agama yang dianutnya. Seharusnya, menurut Grace, di dalam kasus kekerasan ini siapa pun tidak perlu mengekspos apa agama David dan apa agama pelakunya.

Walau bila tanpa konteks apa yang dikatakan Grace sekilas terlihat “budiman”,  publik justru malah mengkritiknya habis-habisan. Hal ini karena sebagian besar orang melihat apa yang diucapkan mantan Ketua Umum (Ketum) PSI tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di internet maupun media sosial.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani, misalnya, mempertanyakan apa alasan Grace tiba-tiba menyinggung tentang urusan agama. Padahal, kata Sani, kebanyakan orang di sosial media justru menyoroti kasus penganiayaan David dari sisi kekerasan dan ayah Mario yang seorang pejabat pajak.

Keheranan yang serupa juga ditunjukkan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Noval Assegaf, yang menyebutkan bahwa Grace Natalie terkesan ingin membuat suasana semakin kisruh. Noval juga mengaku heran mengapa Grace Natalie tiba-tiba membahas hal yang tidak pernah disoroti oleh pihak manapun.

Grace sebenarnya sudah berusaha menjawab keheranan publik atas cuitannya soal David itu. Dengan upaya membela diri, ia mengklaim memang menemukan sejumlah tautan-tautan berita di internet yang membahas soal agama David.

Namun, tidak dipungkiri pernyataan Grace tadi memang masih menimbulkan misteri. Di tengah ramainya upaya publik mencari keadilan atas apa yang dilakukan Mario kepada David, Grace justru menimbulkan diskursus baru di tengah masyarakat.

Kira-kira, mengapa seorang politisi seperti Grace menciptakan hal yang kontroversial seperti ini?

Politik Buat Grace “Kepedean”?

Politisi memang selalu menjadi “spesies” manusia yang menarik untuk dikaji. Mereka sering menyampaikan sesuatu yang begitu pendek, hanya sepatah dua kata saja, tapi tetap menjadi sumber perdebatan yang begitu sengit.

Dan, dalam beberapa kesempatan, politisi juga sering menyampaikan pandangan yang begitu berlawanan dengan persepsi masyarakat – entah itu terkait data yang tidak sesuai dengan situasi di lapangan, atau klaim-klaim lain yang bisa membuat publik geram.

Fenomena politisi yang demikian menjadi fokus kajian profesor hukum dan psikologi dari Yale Law School, Dan Kahan. Dalam penelitiannya yang berjudul Science Curiosity and Political Information Processing, Kahan menjawab fenomena ini dengan sebuah teori yang disebut identity-protective cognition.

Sederhananya, teori ini menjelaskan bahwa pola pikir orang yang sudah tenggelam dalam politik umumnya terdominasi oleh satu insting, yakni insting untuk membuktikan agenda politiknya adalah hal yang paling benar dan harus diperjuangkan meskipun data yang ada tidak mendukungnya.

Kahan pun menjelaskan bahwa fenomena tersebut bahkan dapat terjadi pada orang yang sangat cerdas dan objektif sekalipun karena pada dasarnya politik adalah dunia yang didesain untuk orang-orang yang bisa memperjuangkan apa yang diyakininya. Jika toh ada orang yang ingin objektif di politik, maka orang itu akan terkalahkan permainan narasi dari politisi lainnya.

Kahan juga menilai bahwa, kalaupun seorang politisi dituntut menyampaikan data yang kredibel, ia cenderung akan mengumpulkan data-data yang hanya digunakan untuk membenarkan argumennya, bukan untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi. Well, kalau hal itu mungkin dianggapnya lebih ke tanggung jawabnya para ilmuwan, bukan politisi.

Dari pandangan tersebut, kita juga bisa memahami kenapa terkadang politisi tetap tidak mau mengoreksi dirinya bahkan jika apa yang disampaikannya sudah dibantah secara objektif oleh publik. Mungkin, yang dianggap paling penting oleh politisi dalam suatu perdebatan bukanlah kebenaran, melainkan hanya agenda politiknya.

Nah, dari pandangan ini, kita sepertinya bisa sedikit memahami kenapa Grace tiba-tiba saja membawa topik yang kurang relevan dalam diskursus tentang kasus penganiayaan David. Grace sepertinya merasa penting untuk mengangkat hal itu karena mungkin sesuai dengan agenda politik yang sedang diperjuangkannya.

Mungkin bisa saja ada portal berita yang memang mempermasalahkan agama David. Namun, secara keseluruhan, kalau kita bandingkan itu dengan fokus perbincangan publik yang sekarang sedang populer – yakni tentang pengusutan keadilan, persoalan agama tentu adalah suatu hal yang kurang relevan.

Kalau Grace akhirnya menggunakan sampel kecil perdebatan agama sebagai bukti, maka itu membuktikan bahwa dirinya hanya berusaha membuat topik itu populer, bukan untuk meredakan keresahan.

Ini kemudian jadi fokus pertanyaan kita selanjutnya, kira-kira apakah ada kaitan antara kepentingan Grace untuk mengangkat perdebatan tentang agama David dengan agenda politik pribadinya, atau PSI?

Grace Ingin Agama “Di-peyorasi”?

Gilbert Keith Chesterton, penulis sekaligus filsuf asal Inggris, pernah mengatakan hal yang menarik tentang political speech atau pernyataan yang diucapkan politisi di ruang publik. Menurutnya, pernyataan politisi yang pantas untuk disimak adalah pernyataan yang bukan didesain untuk dilaporkan. Sementara, tulisan politisi yang layak dibaca adalah tulisan yang bukan didesain untuk dibaca.

Mungkin, ungkapan dari Chesterton tadi bersifat terlalu puitis, tapi bisa kita refleksikan sebagai berikut.

Politisi adalah orang-orang yang sangat menyinergikan apa yang akan diucapkannya ke publik dengan kepentingan politiknya. Setiap kata yang dirumuskan – entah itu untuk disampaikan secara verbal atau ditulis – pasti melalui proses yang sedemikian rupa agar terlihat netral tapi tetap menguntungkan kepentingan politiknya.

Oleh karena itu, seperti yang diisyaratkan Chesterton, pantas bila kita meragukan ucapan seorang politisi dengan alasan mencurigai motif politik di baliknya.

Melihat pandangan ini ke kontroversi pernyataan Grace yang adalah seorang politisi, sudah sepantasnya kita mempertanyakan apa sebenarnya motif utama dari Grace dalam menyinggung persoalan agama dalam kasus penganiayaan David.

Untuk menjawab teka-teki ini, kita bisa melihat track record partai yang dibinanya, yakni PSI.

Pada tahun 2018, PSI sempat dituding sebagai partai yang Islamofobik karena menolak sejumlah peraturan daerah (perda) yang “bernapas” agama. Mereka menganggap aturan-aturan daerah yang masih kental dengan pandangan agama tertentu bersifat diskriminatif dan mengancam persatuan. Hal tersebut jelas menjadi bulan-bulanan mayoritas masyarakat pada saat itu.

Lalu, dalam sebuah pidato pada tahun 2019, Grace juga sempat dengan gamblang mengatakan bahwa PSI adalah partai yang menjadi antitesis partai-partai berbasis agama di Indonesia karena, menurutnya, mereka hanya memperjuangkan kelompoknya sendiri.

Dan memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa PSI kerap dipandang sebagai partai yang sangat liberal.

Dari sini, sepertinya tidak terlalu imajinatif bila kita mencoba mengaitkan apa yang dikatakan Grace soal penganiayaan David dengan sejarah PSI yang kerap menyinggung agama karena, bisa saja, dengan mengungkit soal perdebatan agama, efek yang muncul adalah perbincangan yang dikaitkan dengan agama akhirnya dianggap publik sebagai “kerikil” dalam sejumlah diskursus.

Kalau pandangan seperti itu bisa tercipta, maka mungkin saja narasi tentang perubahan aturan yang bernapas agama lebih mudah untuk dijalin ke depannya.

Jika dugaan ini memang benar, maka respons yang ditunjukkan publik pada Grace sepertinya mampu memberikan pesan kuat bahwa strategi itu telah gagal.

Akhir kata, tentu ini semua hanyalah penalaran belaka. Hanya Grace dan lingkarannya-lah yang bisa memastikannya. (D74)

Exit mobile version