Partai Gerindra dan PDIP membuka pintu untuk Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres apabila gugatan penurunan batas usia capres-cawapres dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Lantas, kenapa Gibran diperebutkan? Apakah Gibran memang sangat potensial untuk menjadi cawapres?
PinterPolitik.com
“We are symbols, and inhabit symbols.” – Ralph Waldo Emerson
Isunya sudah lama bergulir. Putra sulung Presiden Jokowi sekaligus Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka disebut dapat menjadi cawapres di Pilpres 2024. Berbagai pemberitaan mencuat, Gibran dipasangkan dengan Prabowo Subianto.
Partai Gerindra juga sudah buka suara. Juru Bicara Partai Gerindra, Andre Rosiade menyebut Gibran layak menjadi cawapres karena merupakan wali kota yang berprestasi.
“Jadi menurut saya ya wajar kalau publik punya persepsi bahwa Mas Gibran salah satu cawapres kandidat terkuat,” ungkap Andre pada 17 Agustus 2023.
Gerindra tidak sendirian. PDIP juga membuka pintu untuk Gibran menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP, Puan Maharani menyebut pintu itu terbuka asalkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan.
“Kalau memang kemudian di MK-nya disetujui ada calon cawapres di bawah 40 tahun, ya bisa saja Mas Gibran yang maju,” ungkap Puan pada 17 Agustus 2023.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah melayangkan gugatan ke MK untuk menurunkan syarat minimal usia capres-cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Usia Gibran sendiri saat ini sudah menginjak 35 tahun.
Menariknya, kubu Anies Baswedan juga tidak ketinggalan. Juru Bicara Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian menilai Anies dan Gibran dapat menjadi pasangan yang cocok. “Saya rasa Mas Gibran cocok juga dengan Pak Anies,” ungkap Angga pada 18 Agustus 2023.
Lantas, kenapa Gibran diperebutkan? Apakah didampingi Gibran adalah jaminan kemenangan?
Bukan Bujuk Rayu
Bahasa dalam politik, khususnya yang diucapkan di ruang terbuka, tidak pernah tampil secara telanjang. Ia selalu bercabang. Maknanya hampir selalu tidak denotatif. Penuh pesan simbolis dan interpretatif.
Dalam dunia politik, komunikasi bukan hanya sekadar pertukaran informasi, tetapi juga alat untuk mempengaruhi, membentuk persepsi, dan membangun koneksi dengan para pemilih. Bahasa politisi selalu melibatkan pesan simbolis untuk mewakili konsep atau ide yang lebih kompleks dari yang terlihat secara langsung.
Bahasa simbolis digunakan untuk membangkitkan emosi, menciptakan citra tertentu, atau menyampaikan pesan yang lebih luas dari apa yang dapat diucapkan dalam kata-kata biasa. Politisi menggunakan bahasa simbolis dan kode untuk mengatur narasi dan membingkai isu sesuai dengan tujuan mereka.
Terkait ramainya bujuk rayu terhadap Gibran, dapat dikatakan itu bukan bahasa denotatif. Pada pernyataan Angga Putra Fidrian, misalnya, itu jelas adalah satire. Selain soal usia, ada dua alasan untuk menyimpulkan pernyataan Angga sebagai satire.
Pertama, dengan mengusung narasi perubahan, sulit membayangkan Anies berpasangan dengan Gibran. Itu sama saja dengan membantah narasi perubahan itu sendiri.
Kedua, melihat waktunya, pernyataan Angga keluar setelah pernyataan Puan Maharani. Secara kronologis, dapat dikatakan itu adalah sindiran untuk Gerindra dan PDIP.
Karena Gerindra dan PDIP menggoda Gibran, Angga mungkin merasa kubu Anies juga perlu ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Ini semacam kritik terhadap budaya FOMO (fear of missing out).
Perang Politik Simbol
Sedangkan terkait pernyataan Gerindra dan PDIP, kembali, itu bukan bujukan untuk Gibran. Melihat pertarungan Gerindra dan PDIP yang saling klaim dukungan politik Presiden Jokowi, bujuk rayu terhadap Gibran adalah bagian dari pertarungan itu.
Suka atau tidak, sebagai putra sulung RI-1, siapa yang dekat dan didukung oleh Gibran merupakan simbol atas dukungan Presiden Jokowi. Dengan kata lain, bujuk rayu Gerindra dan PDIP terhadap Gibran sebenarnya adalah pesan untuk masyarakat luas terkait siapa yang mendapat dukungan politik Presiden Jokowi.
Simpulan itu diperkuat oleh tiga alasan. Pertama, kecil kemungkinannya gugatan ke MK dikabulkan. Dengan kata lain, adalah bunuh diri untuk mengusung nama yang bahkan belum tentu memenuhi syarat formal.
Kita dapat melihat kasusnya pada Faldo Maldini di Pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2020. Baliho dan spanduk Faldo sudah tersebar saat itu. Namun, Faldo harus menelan pil pahit karena MK menolak gugatan untuk menurunkan syarat usia pencalonan kepala daerah.
Usia Faldo saat itu 29 tahun. Sedangkan syarat untuk maju sebagai calon gubernur adalah 30 tahun.
Kedua, sebagai politisi yang kariernya masih di bawah lima tahun, sulit membayangkan Gibran sudah memiliki massa yang banyak. Kasusnya sangat berbeda dengan Presiden Jokowi yang membangun basis massa secara bertahap.
Ketika menjadi RI-1 pada 2014, usia Presiden Jokowi sudah kepala lima, tepatnya 53 tahun. Jauh di atas Gibran yang baru berusia 35 tahun.
Ketiga, katakanlah MK mengabulkan gugatan, adalah bunuh diri bagi citra Presiden Jokowi apabila Gibran maju sebagai cawapres, entah berpasangan dengan siapa pun.
Itu akan memanggil kembali memori Orde Baru yang lekat dengan nepotisme. Masyarakat luas akan mengingat kembali anak-anak Presiden Soeharto yang begitu berpengaruh.
Seperti ditegaskan oleh Rupert Younger, direktur pusat reputasi perusahaan Oxford University, karakter memainkan peran yang jauh lebih besar daripada kapabilitas dalam politik.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa bujuk rayu Gerindra dan PDIP terhadap Gibran sebenarnya adalah perang politik simbol. Itu tidak bermakna denotatif, melainkan pesan ke masyarakat luas. Ini adalah perang untuk memperebutkan dukungan politik Presiden Jokowi. (R53)