HomeNalar PolitikKenapa “Gemoy” Begitu Sukses di Prabowo? 

Kenapa “Gemoy” Begitu Sukses di Prabowo? 

Dengarkan artikel berikut di tautan ini

Hasil quick count mengungkap Prabowo-Gibran raih suara tertinggi. Apakah kampanye ala gemoy punya andil dalam kesuksesan tersebut?


PinterPolitik.com 

Akhirnya, setelah melewati 75 hari masa kampanye Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), kita dan seluruh masyarakat Indonesia, telah sukses menyalurkan suara dan menentukan calon-calon pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan.  

Walau masih menunggu perhitungan akhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil perolehan suara melalui metode quick count dari sejumlah lembaga survei telah menunjukkan bahwa kemungkinan besar pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Prabowo-Gibran, akan memenangkan Pilpres 2024.  

Tidak main-main, mayoritas lembaga survei menunjukkan Prabowo-Gibran miliki suara di atas 51 persen. Artinya, Pilpres 2024 akan berlangsung selama satu putaran. 

Kembali lagi, meskipun kita masih perlu menghitung perhitungan akhir KPU, keunggulan suara yang dimiliki Prabowo-Gibran sangat menarik untuk kita perhatikan, terutamanya, dari aspek kampanye mereka di media sosial. Tidak sedikit orang di media sosial yang mengatakan bahwa kemenangan Prabowo-Gibran disebabkan oleh kampanye ala ‘gemoy’ yang beredar di media sosial seperti di TikTok dan Instagram. 

Tren video ‘menggemaskan’ Prabowo yang ramai tersebar bahkan sampai disoroti media-media asing seperti BBC dan Nikkei Asia. 

Lantas, menarik kemudian untuk kita pertanyakan: mengapa kampanye ala ‘gemoy’ Prabowo Subianto bisa begitu sukses? 

infografis bali didominasi prabowo

Prabowo yang Tidak Terduga 

Di Pilpres 2024 ini, mungkin bisa kita katakan bahwa Prabowo adalah capres yang paling sukses dalam membangun citra ketersukaan di rakyat akibat kampanye ‘gemoy’nya. Kita akan menganalisis fenomena ini melalui kacamata filosofi humor. 

Di dalam filosofi humor, ada suatu teori menarik yang bernama incongruity theory atau teori ketidakcocokan. John Morreall dalam tulisannya yang berjudul Philosophy of Humor, menjelaskan bahwa humor yang benar-benar lucu dan berbekas di publik muncul dari persepsi ketidaksesuaian, atau lebih tepatnya ketidakterdugaan, antara lelucon yang dilemparkan sang aktor dan karakter dari sang aktor itu sendiri. 

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Sederhananya, orang yang umumnya dianggap bukan sebagai orang yang lucu, justru bisa menjadi lebih sukses dalam menyampaikan lelucon dibanding orang yang sejak awal dikira lucu. Hal ini karena orang-orang cenderung akan sangat terkejut oleh perubahan karakter dari orang yang awalnya tidak dianggap lucu, dan rasa terkejut tersebut berubah menjadi dorongan untuk ketersukaan. 

Dalam konteks Prabowo, jika kita menggunakan pandangan teori ketidakcocokan, bisa kita lihat bahwa Prabowo mungkin adalah orang yang sudah ditakdirkan untuk berkampanye ‘gemoy’ karena ia memiliki karakter yang tidak dimiliki oleh capres-capres lain, yakni citranya sebagai orang yang kaku dan tegas.  

Persepsi yang demikian lantas menjadi bahan bakar dari kesuksesan kampanye ‘gemoy’ Prabowo. Ketika orang-orang terbiasa melihat sosok Anies Baswedan sebagai sosok yang intelektual, dan Ganjar Pranowo sebagai sosok yang merakyat, munculnya citra Prabowo yang gemoy menjadi pembeda yang begitu menarik di media sosial, karena sebelumnya publik tidak pernah melihat sosok sekaku Prabowo bisa bersikap begitu gemas.  

Rasa tertarik itu kemudian semakin mendalam dengan banyaknya konten di media sosial, dan lama-lama terbentuk menjadi persepsi ketersukaan. 

Lantas, bagaimana kita bisa mengambil intisari dari fenomena suksesnya kampanye gemoy Prabowo? 

infografis ganjar loyo karena blunder menit akhir

Ketersukaan Personal Sangat Penting! 

“Di dalam politik, persepsi adalah hal terpenting.” 

Begitulah ucapan dari John Lindsay, mantan walikota New York City di Amerika Serikat (AS), yang kini menjadi salah satu adagium paling terkenal dalam dunia politik. 

Di dalam Pilpres Indonesia, kapabilitas dan track record seorang kandidat tentu berperan sangat penting, namun, ketersukaan personalitas sang kandidat tersebut terkadang memiliki pengaruh yang jauh lebih besar.  

Hal ini salah satunya diduga karena adanya anggapan bahwa proses kampanye politik yang hanya 75 hari tidak cukup untuk mengenalkan sang kandidat dari luar ataupun dalam kepada para calon pemilih. Maka dari itu, pembangunan persepsi melalui penciptaan karakter yang mudah untuk disukai menjadi sangat penting karena memberi efek ketersukaan yang paling cepat. 

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Fenomena tersebut tentu bukanlah sebuah masalah karena ketersukaan seseorang terhadap satu kandidat sesungguhnya hanya menjadi semacam gerbang pembuka dari rasa penasaran untuk menggali karakter dari kandidat itu.

Kalau kita lantas kembali melihat fenomena gemoy Prabowo, tidak sedikit sesungguhnya orang yang jadi tahu tentang pencapaiannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) karena ia sebelumnya dibuat tertarik oleh kampanye gemoy Prabowo di media-media sosial. 

Di satu sisi, hal semacam ini juga menjadi salah satu solusi terbesar dari masalah politik yang paling kompleks, yakni bagaimana caranya membuat publik bisa tertarik dengan politik. Kalau kemudian kampanye gemoy Prabowo jadi media yang kreatif yang bisa membuat begitu banyak orang tertarik dengan politik, maka mungkin di masa depan banyak politisi yang bisa belajar dari kegemoyan Prabowo.

Karena bagaimanapun juga, pembangunan persepsi dalam politik adalah hal yang sangat penting. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?