Site icon PinterPolitik.com

Kenapa Biden Incar Taiwan?

Presiden AS Joe Biden (Foto: CNN Indonesia)

Ketegangan politik antara Taiwan dan Tiongkok memanas. Selain AS, Australia dan Prancis mulai berpihak pada Taiwan. Pertanyaannya, mengapa ini terjadi sekarang? Apakah Joe Biden sedang mengincar Taiwan? Dan apa kira-kira dampaknya pada negara sekitar, termasuk Indonesia?


PinterPolitik.com

Annisa adalah seorang perempuan berumur 30 tahun asal Brebes, Jawa Tengah. Saat bekerja di Taiwan, Annisa mengatakan dirinya menemukan sebuah keluarga kedua, karena orang-orang yang mengurusnya adalah keluarga yang baik dan ramah.

Bahkan, Annisa mengatakan  dirinya sering mendapatkan bonus upah di atas pendapatan pokoknya yang berada di angka sekitar delapan juta rupiah per bulan.

Cerita Annisa yang dimuat di media Kumparan ini hanya salah satu contoh dari kemungkinan ribuan cerita lainnya dari para TKI yang bekerja di Taiwan. Taiwan adalah negara tujuan terbesar TKI kedua setelah Malaysia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 menyebutkan  Malaysia menampung TKI sebanyak 79.662 orang, sementara Taiwan 79.574 orang, hampir setara.

Namun, melihat situasi politik kawasan Indo-Pasifik akhir-akhir ini, nasib para TKI yang senang bekerja di Taiwan seperti Annisa kemungkinan akan terancam. Hal ini tidak lain karena ada peningkatan ketegangan antara pemerintah Tiongkok dan Taiwan.

Baca Juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?

Sejak awal Oktober 2021, Tiongkok mulai “unjuk gigi” di Selat Taiwan dengan mengirimkan setidaknya 150  pesawat tempur ke wilayah pertahanan udara Selat Taiwan. Selain itu, Negeri Bambu Tirai ini juga laksanakan pelatihan militer darat di Provinsi Fujian, tepat di seberang laut Taiwan.

Sementara di pihak Taiwan, ancaman militer lebih gencar dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Pada tanggal 5 Oktober 2021 Negeri Paman Sam bahkan gelar latihan militer bersama Jepang dan Inggris di wilayah Okinawa, dekat Taiwan. Terakhir, AS dan Kanada mengirim kapal perang ke selat Taiwan dengan dalih “mempertahankan kebebasan dan keterbukaan Indo-Pasifik”.

Mengapa AS di bawah kepemimpinan Joe Biden bersikeras membela Taiwan? Apa motivasi dan nilai strategis politiknya?

Poros Strategis Indo-Pasifik

Retorika AS yang paling menarik untuk dilihat barangkali adalah ketika Presiden Joe Biden melakukan wawancara dengan ABC News pada tanggal 18 Agustus silam. Ketika ditanya mengenai komitmen AS pada Taiwan, Biden mengatakan AS telah membuat komitmen sakral bahwa jika memang ada pihak yang ingin menyerang atau mengambil tindakan terhadap negara-negara NATO, AS akan merespons. Sama halnya dengan Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan.

Dengan menempatkan kata “Taiwan” di kalimat yang sama dengan kata “NATO”, kita bisa melihat bahwa Biden menganggap Taiwan sangat penting bagi AS, padahal tidak ada traktat militer di antara dua negara tersebut.

Apa yang membuat Biden gatal ingin amankan Taiwan?

Di dalam geopolitik diyakini bahwa ada titik-titik tertentu di peta dunia yang menjadi lokasi strategis bagi negara yang ingin memperoleh kekuasaan. Ini adalah apa yang disampaikan Halford Mackinder sebagai teori heartland. Pada masa pencetusannya, teori heartland menjelaskan  ada poros geografis di wilayah Asia Tengah, jika ada negara mampu menguasai wilayah itu secara ekonomis dan militer, maka mereka bisa menguasai seluruh Eurasia.

Sesuai perkembangan zaman, pendapat mengenai poros geografis tersebut berkembang. Ada yang berpendapat bahwa poros tersebut saat ini ada Laut Tiongkok Selatan (LTS) dan ada juga yang bilang di Samudera Hindia. Loren Thompson, seorang pengamat keamanan dalam artikel Why Taiwan Has Become the Geographical Pivot of History berpendapat Taiwan saat ini telah menjadi salah satu poros geopolitik terpenting di dunia.

Taiwan adalah daratan terbesar antara pulau-pulau Jepang dan Filipina. Dengan demikian, Thompson berpendapat Taiwan berfungsi sebagai jangkar dari rangkaian pulau yang telah diidentifikasi oleh para ahli strategi AS sebagai lokasi-lokasi yang penting secara strategis untuk menahan kekuatan militer Tiongkok yang semakin meningkat.

Menurut pengamat ekonomi internasional, Therese Shaheen dalam artikel Why Taiwan Matters, selain penting secara geografis, Taiwan juga memiliki posisi yang krusial dalam perekonomian dunia. Secara PDB per kapita, International Monetary Fund (IMF) menempatkan AS sebagai negara terkaya ketujuh di dunia. Taiwan berada di urutan kedua belas, lebih tinggi dari Jerman di posisi kelima belas. Sementara Tiongkok berada di urutan ke-70.

Lokasi Taiwan juga dilalui sekitar sepertiga perdagangan maritim global setiap tahunnya. Itu termasuk sekitar 40 persen dari total perdagangan yang dilakukan Tiongkok dan sebagian besar impor energinya. Taiwan sendiri diakui sebagai salah satu pengekspor elektronik terbesar di dunia, khususnya teknologi semikonduktor.

Baca Juga: Mungkinkah Jokowi Bangun Industri Chip?

Sekitar 60 persen pasar semikonduktor global bersumber dari Taiwan. Satu perusahaan, yaitu Taiwan Semi­conductor Manu­facturing Company (TSMC), disebut bertanggung jawab atas lebih dari setengah produksi semikonduktor global. Semikonduktor sendiri adalah faktor yang sangat penting dalam mengembangkan teknologi canggih, termasuk militer.

Ini juga berkaitan dengan Indonesia yang saat ini sedang berusaha mendapatkan mitra teknologi cip superkonduktor, yang salah satunya adalah dengan Taiwan. Ini dipertegas oleh pernyataan dari Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang yang menginginkan adanya komunikasi bisnis superkonduktor dengan Taiwan.

Itu dari pandangan ekonomis dan strategis. Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa eskalasi politik baru memuncak sekarang?

Mengapa Sekarang?

Pengamat politik asal Australian National University, Wen-Ti Sung menyebutkan agresi Tiongkok kental hubungannya dengan Kongres Partai Komunis Tiongkok yang akan digelarkan pada tahun 2022. Ia menyebut saat ini Presiden Xi Jinping sedang berusaha mendapatkan dukungan agar dirinya dapat terpilih lagi menjadi Presiden Tiongkok.

Sung menilai bahwa meskipun Xi Jinping berpotensi besar kembali menjadi presiden, dengan bersikap tegas ke Taiwan, ia bisa memperoleh dukungan politisi-politisi yang akhirnya akan ditempatkan dalam posisi penting pemerintahan barunya, sebagai rekan politik baru, untuk lima tahun ke depan.

Dengan begitu, pada saat seperti ini, melakukan aksi unjuk kekuatan untuk menghidupkan sentimen nasionalis dapat menciptakan sebuah efek magnet politik. Hal ini sangat bermanfaat bagi pihak petahana.

Dari sisi Taiwan, negara kepulauan ini semakin gencar mencari perhatian internasional, terlebih lagi sejak tahun 2020. Australia, misalnya, tiap bulan mengatakan akan memperkuat hubungan dengan Taiwan. Lalu Lithuania, yang menjadi negara Eropa pertama dalam beberapa dekade terakhir yang mengizinkan Taiwan memiliki misi diplomatik atas namanya sendiri.

Terkait hal ini, J. Michael Cole, peneliti di Global Institute Taiwan, menilai pamor Taiwan naik adalah akibat dari eskalasi politik antara AS dengan Tiongkok. Ini yang juga membuat Tiongkok semakin gatal dan berusaha melakukan intimidasi berupa patroli udara ke wilayah Taiwan.

Menurut Cole, Taiwan menyadari bahwa komunitas internasional menjadi semakin akomodatif terhadap mereka, masyarakat internasional mulai memahami peran yang harus dimainkan Taiwan sebagai negara demokrasi liberal dalam bentrokan ideologi dengan Tiongkok sebagai negara komunis. Dari sini, ada unsur di mana Taiwan berusaha menunjukkan dirinya sebagai pihak yang paling benar.

Lalu, melihat eskalasi yang terjadi saat ini, apakah perang akan terjadi di Selat Taiwan?

Kepentingan Ekonomi Melampaui Perang

Pertanyaan besar yang ada di benak mayoritas masyarakat adalah, apakah kita perlu bersiap mengantisipasi perang antara Tiongkok dan Taiwan dengan dukungan AS? Mengambil dari perspektif AS, jawabannya kemungkinan besar adalah tidak.

Robert D. Blackwill dalam tulisannya yang berjudul The United States, China, and Taiwan: A Strategy to Prevent War menilai bahwa kepentingan militer AS di Selat Taiwan selama ini bukanlah untuk memicu atau menantang perang, melainkan untuk menciptakan deterrence atau pencegahan perang melalui penyeimbangan kekuatan. Hal ini dilakukan karena sesungguhnya AS menginginkan Taiwan berdiri sebagai negara yang kuat.

Meskipun terlihat mulia, tujuan ini sesungguhnya muncul akibat pertimbangan strategis dan ekonomis. Blackwill memandang perang yang terjadi antara Tiongkok dengan Taiwan atau AS berisiko menimbulkan efek domino yang kerugiannya akan terlalu berat untuk ditanggung oleh negeri Paman Sam.

Baca Juga: Drama TNI dan Ancaman AS-Tiongkok

Secara strategis, di Asia Timur, banyak mitra penting AS, seperti Jepang dan Korsel. Meskipun negara-negara ini sering latihan militer bersama, belum ada deklarasi bahwa Jepang dan Korsel akan ikut dengan AS, karena ini adalah agresi, berbeda jika AS yang diserang terlebih dahulu oleh Tiongkok. Dengan demikian, AS justru berpotensi mencederai hubungan strategisnya di bagian dunia ini.

Secara ekonomis, Blackwill menilai pecahnya perang antara Tiongkok dan AS kemungkinan akan menghasilkan depresi global. Hal itu akan mengganggu tidak negara Asia, tetapi juga perdagangan internasional, karena berdampak pada pemutusan rantai pasokan utama. Dari sisi Taiwan pun, sebagai salah satu produsen semikonduktor terbesar, akan mempengaruhi produksi teknologi beberapa negara, termasuk Indonesia.

Akhir kata, tampaknya untuk masa dekat ini dunia dan Indonesia bisa bernapas lega. Meskipun eskalasi bersenjata perlu diperhatikan dari waktu ke waktu, indikator krusial terjadinya konflik bersenjata masih diredam oleh ketergantungan ekonomi. Dan sepertinya, masih ada kesempatan bagi TKI seperti Annisa untuk merasakan manfaat ekonomi yang bisa didapatkan di Taiwan. (D74)


Exit mobile version