Presiden AS Joe Biden akhir-akhir ini semakin berani dalam berkonfrontasi dengan Rusia. Terakhir, Biden bahkan sampai mengatakan kepemimpinan Vladimir Putin di Rusia tidak bisa dibiarkan. Mengapa Biden yang tadinya dianggap tenang, menjadi provokatif?
Peran Amerika Serikat (AS) dalam konflik Rusia-Ukraina semakin menarik untuk diperhatikan. Setelah menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi, Presiden Joe Biden kembali memperuncing situasi politik ketika berpidato di Royal Castle, Warsawa, Polandia pada Sabtu (26/3/2022).
Ketika itu, Biden melempar sebuah pernyataan kontroversial dengan mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin adalah “tukang jagal”, dan ia tidak boleh dibiarkan untuk terus berkuasa di Rusia. Tidak lama kemudian, pihak Gedung Putih mengklarifikasi maksud Biden, dengan mengatakan maksudnya adalah kekuasaan Putin tidak boleh dibiarkan diberlakukan ke negara-negara tetangga Rusia.
Salah seorang sumber dari Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya mengatakan pada media CNN bahwa apa yang dikatakan Biden itu tidak termasuk dalam skrip pidato.
Tentu itu memancing respons dari banyak negara. Rusia melalui Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan bahwa apa yang dikatakan Biden tidak layak, karena Presiden Rusia hanya boleh ditentukan oleh Rusia, bukan seorang Presiden AS.
Ia juga mengatakan seharusnya seorang kepala negara dapat lebih menjaga perkataannya, karena apa yang dikatakan Biden dapat mempersempit jendela kerja sama antara Washington dan Moskow.
Sejumlah negara Eropa pun menunjukkan reaksi yang bisa dibilang ‘was-was’. Prancis, misalnya, melalui Presiden Emmanuel Macron menilai seharusnya Biden tidak mengucapkan perkataan yang sedemikian provokatifnya. AS dan NATO seharusnya mencari jalan yang tepat agar dialog perdamaian dengan Rusia bisa tercapai, bukan malah eskalasi melalui retorika politik.
Namun, Biden sendiri diketahui tidak menyesali perkataannya tentang Putin. Dalam sebuah pernyataan klarifikasi, Biden mengatakan bahwa apa yang dikatakannya tentang kepresidenan Putin memang bukan tujuan politik AS, tapi itu merupakan unek-unek pribadinya. Itu merupakan bentuk kemarahan moral, dan Biden tidak berniat meminta maaf.
Lantas, mengapa Biden bisa mengatakan suatu hal yang sebegitu provokatifnya?
Biden Sedang Cari Muka?
Ketika awal Pemilihan Presiden (Pilpres) AS pada 2020 silam, banyak yang menduga bahwa Biden akan menjadi presiden yang dovish.
Diambil dari kata dove atau merpati, ini adalah istilah yang diberikan pada seorang pemimpin yang mengedepankan diskusi atau solusi damai lainnya dalam hubungan politik, ketimbang penggunaan kekuatan. Berbeda dengan Donald Trump yang lebih suka bersikap konfrontatif (hawkish), Biden selalu berusaha bersikap tenang dan sangat berhati-hati dalam memposisikan AS di panggung internasional.
Namun dalam menanggapi konflik Ukraina ini, Biden tampaknya justru malah beralih untuk menjadi seekor elang atau hawk, dengan beberapa kali terlihat ingin unjuk gigi pada Rusia. Lantas, apa kira-kira yang membuat Biden berubah? Mungkinkah ini untuk citra politik?
John Mueller, ilmuwan politik dari Universitas Rochester dalam artikelnya Presidential Popularity from Truman to Johnson, mengatakan ada empat faktor utama yang menyebabkan peringkat persetujuan (approval rating) seorang presiden AS naik dan turun.
Pertama, sudah seberapa lama presiden itu menjabat; kedua, tingkat pertumbuhan ekonomi; ketiga, eksistensi peperangan; keempat, peristiwa penting dalam urusan luar negeri.
Faktor yang terakhir, kata Mueller, dapat menyebabkan suatu efek yang disebut, “rally-round-the-flag“. Istilah ini menjelaskan tentang fenomena meningkatnya dukungan rakyat secara jangka pendek pada seorang presiden selama periode perang atau krisis internasional.
Karena adanya efek ini, maka sejatinya tidak ada Presiden AS yang tidak mempertimbangkan politik luar negerinya berdasarkan lensa politik dalam negeri.
Ini menjadi lebih penting mengingat AS pada November 2022 nanti akan menyelenggarakan pemilu paruh waktu, di mana akan dipilih anggota-anggota Kongres, parlemen negara bagian, dan beberapa gubernur yang baru.
Maka dari itu, konflik Ukraina yang terjadi saat ini adalah momen tepat bagi Biden dan partai Demokrat untuk membenahi kinerja internasionalnya, terlebih lagi setelah agenda penarikan pasukan dari Afghanistan pada 2021 lalu yang menuai sejumlah kritik.
Dari pandangan yang lebih mendalam, keterkaitan antara kepentingan politik domestik dan luar negeri ini juga dapat memperjelas hubungan AS dan Rusia yang tampak tidak pernah mendingin semenjak Perang Dingin lalu.
Mungkin secara singkat kita akan melihat ini adalah bentuk Perang Dingin jilid 2. Namun, Michael McFaul, seorang mantan Duta Besar (Dubes) AS untuk Rusia, berpandangan lain. Dalam bukunya From Cold War to Hot Peace, McFaul menjelaskan ketegangan politik AS-Rusia paska Perang Dingin sifatnya adalah lebih ke drama politik, bukan persaingan antara dua negara.
Sebagai orang yang berpengalaman langsung dalam berdiplomasi dengan Rusia, bahkan sampai sempat dilarang masuk ke Negeri Beruang Putih, McFaul menyimpulkan persaingan AS dan Rusia saat ini tidak pernah tentang permasalahan soal hegemoni, tetapi lebih ke dinamika kesempatan politik domestik yang terkadang tepat sasaran, tapi juga sering tidak tepat sasaran.
Menurut McFaul, warga kedua negara masih mewarisi semangat persaingan ala Perang Dingin. Ini pada akhirnya membuat perpolitikan AS dan Rusia sama-sama melahirkan pemimpin yang bisa memposisikan dirinya sebagai pahlawan melawan Amerika, atau pahlawan melawan Rusia yang notabene adalah anak dari Uni Soviet.
Oleh karena itu, wajar bila ada Presiden AS yang memanas-manaskan hubungannya dengan Rusia, karena perseteruan kedua negara tersebut sekarang telah menjadi sebuah komoditas politik.
McFaul menyebut keadaan ini dengan istilah hot peace atau perdamaian panas, karena tensi yang meskipun panas, cenderung tidak akan tereskalasi secara signifikan. Berbeda dengan keadaan Perang Dingin yang penuh dengan ketidakpastian.
Namun faktor politik belum lengkap menjawab pertanyaan tentang mengapa Biden bisa bertindak sebegitu provokatifnya, sampai-sampai melenceng dari skrip pidato.
Apakah ada penyebab lain yang terselubung di balik blundernya pidato Biden?
Karena Gagap Bicara?
Steven Levingston dalam artikelnya Joe Biden: Life Before the Presidency, mengatakan bahwa sejak kecil Biden memiliki permasalahan bicara gagap. Biden sempat diberikan terapi, namun terapi itu tidak berhasil. Pada akhirnya, Biden menjadikan rasa kepercayaan dirinya sebagai senjata utama untuk mengatasi masalah bicaranya itu.
Dampaknya adalah, rasa kepercayaan diri yang besar itu telah membuat Biden sering ceroboh dalam berbicara di depan publik. Pakar kepribadian, Merrick Rosenberg, menilai bahwa dilihat dari karier politiknya, Biden memiliki satu kelemahan besar, yaitu ia sering tampak berbicara sebelum memikirkan kata-katanya terlebih dahulu.
Dan memang, kita bahkan bisa menemukan kompilasi beberapa pidato Biden yang vulgar dan terkesan ‘terpeleset’ dari skrip, dengan kata kunci “Biden’s gaffe”. Karena itu, banyak kemudian yang menilai bahwa kesalahan pidato Biden sesungguhnya bukan karena dirinya benar-benar hawkish atau konfrontatif, tetapi karena gangguan berbicara yang diidapnya sejak kecil.
Tetapi di sisi lain, ini bukanlah suatu hal yang bisa dilumrahkan, karena sejatinya politik adalah dunia yang penuh dengan konsekuensi dan rasa ketidakpercayaan. Kalaupun memang apa yang disebutkan Biden tentang pergantian rezim Putin adalah sebuah salah ucap, itu akan menjadi catatan penting dalam sejarah, dan berpotensi digunakan oleh pihak tertentu untuk sebuah manuver politik.
Terlebih lagi, perkataan dari seorang Presiden AS di masa-masa konflik seperti ini sesungguhnya menjadi suatu hal yang ditunggu-tunggu oleh banyak negara.
Konflik di Ukraina sejauh ini cukup menyakiti Putin. Pasukannya terjebak dalam pertempuran sengit dan korban semakin bertambah. Perekonomian Rusia menggeliat di bawah beban sanksi ekonomi, dan Putin semakin terisolasi dari dunia luar.
Situasi seperti ini berpotensi menjadi justifikasi Putin bila ia nantinya merasa putus asa. Ke depannya, hasil akhir perdamaian antara Barat, Rusia, dan Ukraina mungkin akan seutuhnya bergantung pada kesabaran Putin dan Sekutu di Eropa bila Biden tidak bisa merubah kebiasaannya. (D74)