HomeNalar PolitikKenapa AS Buat Putin Jadi Hitler?

Kenapa AS Buat Putin Jadi Hitler?

Semenjak konflik Ukraina dimulai, banyak tersebar narasi penyamaan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan diktator Jerman Adolf Hitler. Narasi tersebut umumnya muncul dari media dan warga Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Mengapa Putin disama-samakan dengan Hitler?


PinterPolitik.com

Sejak awal konflik Rusia-Ukraina dimulai pada 24 Februari lalu, Amerika Serikat (AS) dan Sekutunya telah melemparkan sejumlah cacian dan makian pada Presiden Rusia Vladimir Putin. Cacian tersebut beragam, mulai dari “tukang jagal”, sampai julukan “Hitler abad ke-21″. 

Ya, tidak sedikit yang menyamakan Putin dengan pria yang sering dianggap sebagai orang paling jahat dalam sejarah tersebut. Pemerintah Ukraina melalui akun Twitternya @Ukraine bahkan sempat mengunggah sebuah gambar hasil editan yang menyandingkan Putin dan Hitler.

Di level masyarakat justru lebih mengkhawatirkan. Jika kita mencari di internet, kita bisa menemukan banyak artikel berita yang berisi kabar tentang warga-warga negara Barat yang berdemo mengecam invasi Rusia ke Ukraina di jalanan, dengan membawa poster cemoohan foto muka Putin dengan fitur wajah Hitler.

Terakhir, dan yang paling menarik untuk disorot, adalah berita yang muncul dari Amerika Serikat (AS). Berdasarkan hasil temuan intelijen AS, Kate Bedingfield, Direktur Komunikasi Gedung Putih, mengatakan  Putin ternyata telah disesatkan oleh informasi yang disampaikan para penasihatnya mengenai perkembangan konflik di Ukraina

Bedingfield menyebut orang-orang terdekat Putin meyakinkan sang pemimpin Negeri Beruang Putih bahwa situasi militer di Ukraina sudah tepat sasaran, dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan tidak akan membuat Rusia terpuruk. 

Padahal, menurut Bedingfield, kenyataannya tidak seperti itu. Tentara Rusia saat ini disebut sudah mulai menggunakan tenaga wajib militer, dan keadaan ekonomi di Rusia terpuruk akibat sanksi dari negara-negara Barat. Hal ini bisa terjadi, kata Bedingfield, karena para penasihat Putin takut untuk menyampaikan kebenaran.

Meski berita tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya, dampak yang ingin dihasilkan melalui narasi ini tampak jelas. Orang-orang yang familiar dengan bagaimana masa akhir kepemimpinan Hitler, akan menyadari bahwa apa yang terjadi pada Putin identik dengan yang terjadi pada Nazi Jerman ketika mendekati masa kekalahannya. 

Ketika dulu, Hitler pun disebut selalu diberi makan informasi bahwa pasukannya telah bertugas secara optimal di lapangan dan satu persatu tujuan utama Nazi Jerman bisa tercapai. Padahal, kenyataannya Jerman mulai mengalami sejumlah kekalahan di seluruh penjuru medan pertempuran.

Lantas, mengapa Barat, khususnya AS sangat obsesif melakukan ‘Hitlerifikasi’ pada Putin?

Warisan Pemikiran Era Pencerahan?

Mungkin secara awam kita akan berpikiran bahwa motif utama dari menyamakan Putin dengan Hitler adalah untuk menciptakan sosok musuh yang bisa dihadapi bersama-sama, karena Hitler adalah seseorang yang dibenci oleh Barat dan juga Timur. Namun, kenyataannya tidak sesimpel itu.

Baca juga :  Luhut ke Mana?

David A. Bell, seorang sejarawan dari Universitas Princeton, dalam artikelnya Putting 9/11 into Perspective, menjelaskan bahwa negara Barat seperti AS memang sering melakukan apa yang disebut sebagai Hitlerifikasi, atau upaya pelabelan Hitler pada musuh-musuh negaranya. 

Menariknya, Bell menilai kebiasaan ini bukan berasal dari ‘luka’ Perang Dunia 2, tetapi memiliki akar dari Era Pencerahan di Eropa pada abad ke-17 dan 18 lalu. Kalau kita melihat keadaan pada saat itu, Eropa dilanda peperangan yang tiada henti, ditambah dengan sejumlah konflik terorisme (revolusi separatis) di sejumlah negara. 

Karena konflik yang berkepanjangan, muncullah kemudian pandangan-pandangan filosofis liberal yang pada dasarnya mengedepankan nilai-nilai akal sehat, sains, dan humanisme. Sejak itu, perang mulai dianggap sebagai peninggalan barbarik peradaban manusia yang kuno, dan sudah sepantasnya ditinggalkan.

Dari sini, berkembanglah paradigma anti-perang di Barat, salah satunya yang paling populer adalah apa yang disampaikan oleh Norman Angell dalam bukunya The Great Illusion. Di dalamnya, Angell meyakini perang adalah sebuah tindakan bodoh, yang penyelenggaraannya terlalu mahal untuk dilakukan. Ini membuat negara tidak ingin berperang. 

Ya, pandangan Barat yang berasal dari Era Pencerahan ini semakin lama semakin mempersempit peluang terjadinya peperangan. Tapi bukannya menjadi solusi, pandangan perdamaian ini justru telah menciptakan paradoks baru di negara-negara Barat.

Jika kita berpandangan melalui kacamata realisme, kita akan menyadari bahwa sedamai apapun situasi dunia, dinamika kekuatan antar negara akan selalu terjadi. Ini karena secara naluriah negara menginginkan kekuatan untuk memastikan keselamatan dirinya sendiri di tengah ketidakpastian hubungan internasional. Sebagai dampaknya, konflik antarnegara akan terjadi.

Dengan demikian, Bell menilai bahwa karena perang sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang lumrah untuk terjadi, maka untuk menjustifikasi keterlibatan dalam konflik, negara Barat seperti AS harus mencari alasan yang bisa menjustifikasi tindakan kekerasan. Salah satunya, menurut Bell, adalah dengan memberi cap “Hitler” pada oposisi.

Karena situasi Perang Dunia 2 sering dianggap sebagai salah satu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah, maka secara naluriah itu akan memancing ketakutan dari semua orang. Ketika orang-orang sudah takut, mudah bagi mereka untuk kemudian membenci seseorang atau suatu negara yang dicap sebagai Hitler atau Nazi.

Oleh karena itu, Hitlerifikasi sesungguhnya bukan hanya untuk menciptakan musuh yang bisa dihadapi bersama-sama, tetapi juga telah menjadi justifikasi Barat untuk menindak musuhnya. 

Akibatnya, setiap musuh yang dicap sebagai Hitler akan dianggap sebagai sosok yang sangat bengis. Padahal, kalau dilihat dari perspektif yang lebih luas, mereka pun mungkin punya justifikasi yang masuk akal kenapa melakukan tindakan agresi. 

Karena itu, konflik di abad 20 dan 21 ini tidak pernah lagi ada musuh yang dianggap “honorable” atau terhormat. Pasti alasan dari semua perseteruan di era modern adalah tuduhan bahwa seorang pemimpin dari suatu negara telah melakukan hal yang keji dan pantas dikecam bersama-sama.

Baca juga :  Dunia: Let's Work Together, Prabowo!

Well, sepertinya kita memang perlu menyalahkan Era Pencerahan atas hal itu. Lalu, apakah tren seperti ini pantas dibiarkan? 

Kesalahan Logika Fatal?

Pada dasarnya, kebiasaan menyamakan segala tindakan kekerasan oleh seorang pemimpin  dengan sosok Hitler sesungguhnya merepresentasikan suatu logical fallacy atau kesalahan logika dari penerapan argumentasi reductio ad absurdum atau pembuktian melalui kontradiksi. 

Dijelaskan oleh William Harmon dan Hugh Holman dalam tulisan A Handbook to Literature, ini adalah sebuah metode argumentasi yang menyangkal sebuah klaim dengan memperluas logika argumen lawan ke titik absurditas.

Silogisme kelirunya adalah sebagai berikut: 

Premis pertama: P (Putin membunuh sipil)

Premis kedua: Q (Pembunuh sipil adalah pemimpin jahat)

Premis ketiga: (P ∧  Q) -> R (Jika Putin dan pembunuh sipil adalah pemimpin jahat, maka pemimpin jahat adalah Hitler)

Konklusi: R (Pemimpin jahat adalah Hitler)

Di dalam dunia matematika dan logika, argumentasi seperti ini tidak selalu bersifat negatif. Tetapi khusus untuk pelabelan Hitler, karena sering sekali dilakukan, argumentasi tersebut menjadi istilah yang peyoratif, dan bahkan memiliki istilah baru, yakni reductio ad Hitlerum. Istilah ini dipopulerkan oleh filsuf kelahiran Jerman, Leo Strauss dalam buku Natural Right and History. 

Menurut Strauss, reductio ad Hitlerum adalah taktik yang sering digunakan untuk menggagalkan argumentasi lawan dengan menyamakan apa yang dilakukan mereka dengan apa yang dilakukan Hitler. 

Contoh lainnya adalah, karena Hitler adalah pemimpin menentang merokok, ini menyiratkan bahwa seseorang yang menentang merokok adalah seorang Nazi. 

Perbandingan semacam itu, menurut Strauss, murni dilakukan untuk menggiring perhatian publik yang tadinya melihat suatu tindak kekerasan sebagai peristiwa yang tidak begitu hebat, menjadi sangat khawatir dan prihatin karena disamakan dengan apa yang dilakukan oleh tokoh “sekejam” Hitler.

Di Indonesia, tindakan seperti ini juga umum kita temukan. Contohnya pelabelan “PKI” pada seseorang yang mempelajari pandangan sosialisme atau komunisme, padahal belum tentu orang tersebut mengikuti apa yang diyakini oleh PKI. 

Atau juga pelabelan “radikalisme” pada seseorang yang mempelajari suatu agama secara mendalam atau belajar tentang kekhilafahan.

Kembali ke fenomena Hitlerifikasi Putin, kita bisa mengambil makna bahwa itu sesungguhnya adalah suatu hal yang lebih dari sekadar upaya mengumpulkan kekhawatiran publik saja. Pandangan demikian juga merupakan bentuk kecacatan dari pemikiran tentang dunia yang damai, yang berasal dari Era Pencerahan.

Selebihnya, kita pun harus lebih menahan diri dalam ikut-ikutan mencap suatu pemimpin sebagai “Hitler” karena bisa jadi apa yang kita lakukan adalah sebuah bentuk kesalahan logika. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?