Site icon PinterPolitik.com

Kenapa Ada Orang Seperti Luhut?

Kenapa Ada Orang Seperti Luhut

Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: Instagram @luhut,pandjaitan)

Di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat memiliki hubungan yang spesial dengan Luhut Binsar Pandjaitan. Menariknya, kalau kita lihat sejarah, hubungan semacam ini telah terjadi sejak ribuan tahun lalu.


PinterPolitik.com

Sudah jadi rahasia umum bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dianggap sebagai “menteri yang serba bisa”. Mulai dari urusan pandemi sampai hubungan internasional, menteri kelahiran Sumatera Utara (Sumut) tersebut kerap diberi kepercayaan yang begitu besar oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyelesaikan sejumlah masalah negara.

Saking seringnya diperbincangkan, Luhut bahkan kerap dijuluki sebagai “Perdana Menteri” oleh para warganet. Menariknya, julukan itu bersifat netral, karena memang ada yang benar-benar kagum dengan kemampuan Luhut menyelesaikan berbagai masalah. Namun, di sisi lain ada juga yang bersifat sarkastik karena mereka “muak” dengan keputusan Jokowi yang terus-terusan memilih Luhut.

Melihat predikatnya sebagai orang yang dipercaya untuk banyak masalah, pengamat sosial dari Universitas Jakarta (Unija) Adli Bahrun, pernah mengibaratkan peran Luhut layaknya Gadjah Mada. Perdana Menteri era Kerajaan Majapahit itu, pada zamannya selalu menyelesaikan banyak persoalan, bahkan kerap dilihat sebagai pejabat yang lebih “digdaya” dibanding Raja Hayam Wuruk.

Namun, Gadjah Mada bukan satu-satunya tokoh dalam sejarah yang merefleksikan Luhut. Ribuan tahun lalu, di Kekaisaran Romawi juga ada seseorang dengan peran yang tidak jauh berbeda. Sosok itu bernama Marcus Vipsanius Agrippa, tangan kanan kaisar pertama Romawi, Caesar Augustus.

Agrippa dan Luhut

Satu kesamaan unik yang dimiliki oleh Luhut dan Agrippa adalah di masing-masing negaranya, kedua orang tersebut diberi tugas menyelesaikan tugas-tugas yang “berat”.

Sebagai seorang jenderal perang, Agrippa pada masanya kerap dipercaya meredam sejumlah gejolak politik, entah itu ancaman pemberontakan atau ancaman invasi kerajaan asing. Tidak hanya urusan militer, Agrippa juga memiliki peran yang begitu besar dalam merenovasi dan membangun sejumlah bangunan di Kota Roma.

Menariknya, Agrippa hampir tidak pernah mengakui apa yang dicapainya merupakan akibat usahanya sendiri, melainkan karena kehebatan kaisarnya, Caesar Augustus. Sifat seperti ini mungkin tidak jauh berbeda dengan Luhut yang kerap menyebut bahwa apa yang dicapainya adalah akibat kepercayaan yang diberikan Presiden Jokowi.

Lindsay Powell dalam bukunya Marcus Agrippa: Right-hand man of Caesar Augustus, menilai salah satu alasan kenapa Augustus membutuhkan Agrippa adalah karena dirinya membutuhkan partner of power.

Sebagai seorang jenderal yang tahu bagaimana memaksimalkan kekuatan otoritas negara dan militernya, Augustus dapat “menambal” kekurangannya dalam bidang militer. Karena bagaimanapun, Augustus adalah seseorang yang besar sebagai seorang politisi, bukan ahli peperangan. Augustus tidak seperti ayah angkatnya, Julius Caesar, yang memanjat “tangga politik” karena pencapaian militer.

Fungsi lain yang tidak kalah pentingnya menurut Powell adalah Agrippa juga berperan sebagai penangkal dugaan pemimpin yang tiran. Augustus adalah seseorang yang sangat mementingkan citra baik politiknya. Ia tidak ingin tercoreng sebagai pemimpin yang keras, bahkan jika aksi yang dilakukannya memang diperlukan. Oleh karena itu, untuk menangkal ini, Augustus menyerahkan urusan-urusan tersebut ke Agrippa.

Nah, kembali ke perbincangan soal hubungan antara Luhut dan Jokowi. Sepertinya masuk akal bila fungsi-fungsi yang dimainkan Agrippa tadi juga berlaku pada Luhut. Sebagai contoh, untuk urusan yang cenderung memancing kritik publik, seperti kenaikan harga BBM misalnya, yang paling keras bicara di awal-awal adalah Luhut, bukan Jokowi.

Kalau kita mengacu pada tulisan PinterPolitik yang berjudul Luhut Buat Jokowi Jadi Pahlawan?, di kasus semacam itu Luhut berperan layaknya bad cop (polisi jahat), sementara Jokowi menjadi good cop (polisi baik).

Akhir kata, tentu ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, model hubungan pemimpin layaknya Jokowi dan Luhut ada banyak contohnya dalam sejarah dan tentu tidak ada hal yang tidak disengaja dalam politik. (D74)

Exit mobile version