Dua tokoh besar Muhammadiyah telah mengajukan gugatan judicial review terkait Perppu No. 1 Tahun 2020 karena dinilai melanggar berbagai peraturan perundang-undangan (UU) yang ada, serta berpotensi mengulang kasus BLBI dan Bank Century. Lantas, benarkah terdapat “kenangan gelap” Sri Mulyani di balik lahirnya produk hukum kontroversial tersebut?
PinterPolitik.com
Sedari awal, Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menimbulkan berbagai kontroversi tak berkesudahan. Tidak hanya soal Perppu yang justru difokuskan pada persoalan perekonomian dan bukannya pada penyelesaian pandemi Covid-19, melainkan juga besarnya potensi kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan likuidasi Bank Century terulang kembali.
Bagaimana tidak? Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa segala bentuk alokasi anggaran yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak dapat dinilai sebagai kerugian negara. Dengan kata lain, katakanlah nantinya terjadi alokasi anggaran yang mencurigakan, itu tidak dapat menjadi objek tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.
Oleh karenanya, sebenarnya sangat masuk akal apabila terdapat banyak pihak mengkritik keras Perppu tersebut menimbang pada potensi masalah yang dapat disebabkan olehnya.
Konteksnya menjadi semakin menarik setelah politisi dari PDIP Masinton Pasaribu yang notabene merupakan partai pendukung utama pemerintah justru melayangkan tudingan tajam dengan menyebutkan bahwa penerbitan Perppu tersebut sebagai kepentingan oligarki, serta merupakan sabotase konstitusi.
Kemudian, terdapat pula pernyataan dari anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil yang menilai bahwa banyak dari parpol koalisi pemerintah yang sebenarnya tidak setuju dengan Perppu Covid-19, sehingga ia menduga terdapat harapan dari mereka agar judicial review yang diajukan oleh Amien Rais, Din Syamsuddin, dan kawan-kawan atas Perppu tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Senada dengan Masinton, Veteran Bappenas 1998 Dipo Alam dalam tulisan opininya Awas, Penumpang Gelap Krisis Covid-19 juga menyebutkan bahwa Perppu tersebut memang rentan ditunggangi oleh kepentingan oligarki yang ada di sekitar kekuasaan yang disebutnya sebagai penumpang gelap. Secara khusus, Dipo juga meminjam istilah mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie dengan menyebutkan penumpang gelap tersebut adalah para “konglomerat hitam”.
Terlebih lagi, Rp 220,1 triliun dari dana Rp 405 triliun yang pemerintah siapkan untuk penanganan pandemi Covid-19 justru digunakan untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), serta untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Artinya, alih-alih menjadi penyelamat ekonomi, potensi bahwa para pengusaha yang nantinya mendapatkan suntikan dana untuk melarikan dana ke luar negeri seperti pada kasus BLBI menjadi kekhawatiran yang masuk akal.
Menariknya, kekhawatiran berbagai pihak tersebut sepertinya juga disadari oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Pasalnya, dalam keterangannya pada 1 April lalu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut telah menyebutkan adanya potensi moral hazard, hingga adanya risiko tuntutan hukum ke depannya. Oleh karenanya, dibuat “pagar” – yakni Pasal 27 – agar pihak yang menjalankan Perppu tidak bisa diajukan ke meja hijau sepanjang tidak ada pelanggaran.
Lantas, dengan adanya kesadaran dari Sri Mulyani tersebut, konteks apa yang dapat dimaknai dari Perppu tersebut, khususnya pada Pasal 27?
“Kenangan Gelap” Sri Mulyani?
Kendati Sri Mulyani menyebut tuntutan dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran. Namun, jika merujuk pada alokasi anggaran yang tidak dapat dinilai sebagai kerugian negara dan tidak dapat menjadi objek tuntutan, lantas bagaimana menimbang telah terjadi konteks pelanggaran yang disebutkan oleh alumnus Universitas Indonesia tersebut?
Pada titik ini, mungkin kita dapat merujuk pada tulisan Jack Smith yang berjudul Doublespeak: A Weapon Aimed at the Language yang mana Sri Mulyani boleh jadi telah melakukan doublespeak yang disebut sebagai eufemisme sederhana, yakni sebuah kata/kalimat digunakan untuk melunakkan realitas yang kejam – atau yang sebenarnya.
Dengan kata lain, boleh jadi penambahan narasi dapat digugat dengan syarat melanggar peraturan menjadi semacam narasi normatif untuk menurunkan tensi penolakan dari berbagai pihak yang menyebutkan Perppu tersebut kebal hukum.
Lantas, jika benar Sri Mulyani telah melakukan doublespeak, maka menggunakan analisis hermeneutika dari filsuf Jerman Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dapat diandalkan untuk mengetahui alasan di balik terciptanya Pasal 27.
Hermeneutika sendiri adalah metode untuk menafsirkan teks. Dalam hermeneutika Schleiermacher, makna suatu teks – yakni Perppu Covid-19 – tidak hanya didapatkan dengan mengkaji teks secara tekstual, melainkan juga turut menganalisis konteks psikologis dari sang perumus – disebut sebagai interpretasi psikologis
Pengakuan Sri Mulyani bahwa akan adanya tuntutan hukum di masa depan sehingga dibuat pagar menjadi kunci atas interpretasi psikologis yang terdapat di dalam Perppu Covid-19. Pasalnya, sebagaimana diketahui, Sri Mulyani adalah aktor yang berperan penting dalam likuidasi Bank Century yang sampai menyeretnya di meja hijau karena dinilai merugikan negara.
Dengan kata lain, pengalaman pahit tersebut besar kemungkinan yang menjadi motivasi utama mengapa Pasal 27 dirumuskan. Konteks tersebut juga diperkuat dengan tulisan Alina Tugend yang berjudul Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall yang mengutip temuan Roy F. Baumeister, seorang Professor Psikologi Sosial dari Florida State University yang menyebutkan bahwa manusia memang lebih mengingat kenangan buruk daripada kenangan baik.
Menurut Professor Baumeister, hal tersebut merupakan bagian dari adaptasi manusia dalam bertahan hidup karena mengingat pengalaman buruk memperbesar peluang manusia dalam menghindari bahaya.
Mengacu pada temuan Professor Baumeister tersebut, boleh jadi pengalaman buruk, seperti dibawa ke meja hijau telah membuat Sri Mulyani mengusulkan hingga merumuskan Pasal 27 agar ia dapat menghindari bahaya – persidangan – seperti yang pernah dialaminya.
Judicial Review: Representasi Keadilan
Jika benar bahwa motivasi psikologis tersebut yang menjadi dasar perumusan Pasal 27, maka kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Perppu tersebut dapat ditunggangi oleh kepentingan oligarki dan “konglomerat hitam” sepertinya menjadi semakin masuk akal.
Konteksnya memang bukan pada menyebutkan Sri Mulyani akan berlaku demikian, melainkan pada oligarki yang selama ini mengintip kekuasaan akan mendapatkan celah untuk bermain. Kendatipun mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut telah mengatakan bahwa pengawasan akan benar-benar diperketat, tentu pertanyaannya, seberapa luas jangkauan pengawasan tersebut?
Atas potensi tersebut, tentu menjadi tidak mengherankan mengapa berbagai pihak berharap judicial review yang ditujukan kepada Perppu Covid-19 dapat dikabulkan oleh MK.
Seperti yang ada dalam materi gugatan bahwa sejumlah pasal dalam Perppu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) yang ada, dalam sejarahnya, judicial review memang merupakan proses hukum yang bertolak dari adanya kesadaran ketidaksesuaian produk hukum dengan Konstitusi yang berlaku.
Sebagaimana diketahui, pada mulanya raja yang dipandang sebagai perwakilan tuhan memegang wewenang penuh atas proses pembuatan dan interpretasi hukum. Namun, dalam perkembangan doktrin hukum seperti Rechtsstaat di Jerman, Etat de droit di Prancis, ataupun Rule of Law di Inggris – wewenang penuh tersebut berpindah ke badan legislasi sebagai lembaga pencipta hukum. Atas hal tersebut, terdapat anggapan bahwa hukum atau UU yang dibuat oleh lembaga legislagi adalah hukum yang suci atau tidak dapat digugat.
Doktrin hukum tersebut kemudian mendapatkan tantangan hebat setelah John Marshall yang memimpin suatu pengadilan tertinggi federal di Amerika pada tahun 1803 – lima tahun sejak Konstitusi Amerika berlaku – membuat putusan bahwa UU yang bertentangan dengan Konstitusi tidak dapat disebut sebagai hukum.
Putusan Marshall tersebut kemudian menjadi cambuk bagi doktrin hukum di Eropa, yang kemudian melahirkan gagasan terbentuknya MK dan lahirnya judicial review. Perkembangan tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara yang pernah berada di rezim otoriter, baik di Asia – termasuk Indonesia, Afrika, dan Amerika Latin. Periode ini secara khusus disebut oleh Tom Ginsburg sebagai lahirnya negara-negara “demokrasi gelombang ketiga”.
Mengacu pada perkembangan doktrin hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa judicial review yang ditujukan kepada Perppu Covid-19 merupakan bentuk dari demokrasi hukum sebagai aktivitas nalar warga negara karena produk hukum tersebut dinilai bertentangan dengan Konstitusi atau UU yang telah ada.
Istana sendiri telah menyebut akan menyiapkan Menteri hukum dan HAM (Menkumham) dalam menghadapi gugatan sebagai perwakilan dari pemerintah. Artinya, kita akan melihat tarung antara Amien Rais dan Din Syamsuddin melawan Yasonna Laoly untuk merebutkan putusan hakim MK terkait Perppu Covid-19. Tentu menarik untuk menanti apakah “palu MK” akan kembali mengetuk pada kelompok sipil seperti yang terjadi pada kasus judicial review kenaikan iuran BPJS Kesehatan atau tidak. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.