HomeNalar PolitikKenaikan Dana Parpol, Kepentingan Siapa?

Kenaikan Dana Parpol, Kepentingan Siapa?

Wacana pemerintah menaikkan dana partai politik (parpol) menjadi Rp 6 triliun memunculkan tanda tanya publik akan besarnya dana tersebut. Dalih mengenai pembenahan sistem kepartaian selalu menjadi argumen utama pihak-pihak yang mengusungnya. Di balik hal tersebut adakah kepentingan politik lain dari dinaikkannya dana parpol pada 2023 ?


PinterPolitik.com

Pemerintah melalui Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) berencana menganggarkan Rp 6 triliun untuk dana parpol dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2023. Penganggaran tersebut disebut sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memperkuat sistem kepartaian di Indonesia.

Pendanaan ini dianggap sebagai jalan keluar dari mengakarnya permasalahan korupsi di Indonesia. Pasalnya, banyak kasus korupsi di Indonesia dilatarbelakangi oleh motif politik.

Dalam kasus mega korupsi kuota impor daging sapi pada 2013 misalnya, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi terdakwa dalam kasus ini mengalirkan dana korupsi tersebut untuk Musyawarah Nasional (Munas) PKS di Medan.

Lain Lutfi, lain juga Imas Aryumningsih, Bupati Subang 2012-2017 yang menerima suap untuk modal kampanyenya dalam pemilihan Bupati Subang periode 2018-2023.

Dari dua kasus di atas dapat dilihat bahwa mahalnya ongkos dan operasional politik di Indonesia seolah menjadi jawaban dari maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.

Tidak mengherankan jika pewacanaan mengenai pendanaan partai politik terus digaungkan oleh banyak pihak yang menginginkan perbaikan iklim demokrasi Indonesia.

Lantas, apakah pengucuran dana yang begitu besar bagi parpol merupakan jalan yang efektif dalam mereduksi korupsi di negara ini? Atau justru hal tersebut dapat dijadikan celah korupsi baru dan penyalahgunaan wewenang bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan?

Dana Parpol, Solusi Hapus Korupsi ?

Pada tahun 1999, pemerintah sebenarnya telah menerapkan subsidi pada partai politik. Aturan terbaru dari pendanaan itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ditetapkan besaran Rp 1.000 per suara untuk partai politik peserta pemilu.

Pendanaan partai politik sejalan dengan reformasi yang ada, namun sepanjang itu pulalah partai politik di Indonesia tidak menunjukkan adanya kemajuan dalam menjalankan tugas dan fungsi partai. Survei terbaru dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan bahwa parpol dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan dua lembaga negara yang paling tidak dipercaya oleh publik.

Partai politik memilliki peran yang krusial dan signifikan sebagai sarana demokrasi di Indonesia. Kondisi yang demikian mengharuskan parpol untuk memiliki performa yang baik dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana kaderisasi, komunikasi, artikulasi serta sosialisasi politik.

Tidak membaiknya indeks korupsi di Indonesia yang pada tahun 2019 berada pada posisi 89 dunia bisa jadi menunjukkan gagalnya sistem pendanaan partai politik oleh negara. Pemberian subsidi oleh negara terbukti bukan menjadi jawaban untuk memangkas banyaknya kasus korupsi di Indonesia.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Hal di atas diperkuat dengan temuan Indonesia Coruption Watch (ICW) yang menunjukkan 245 anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode kerja 2014-2019 menjadi tersangka kasus korupsi.

Menelisik Sistem Pendanaan Parpol di Dunia

Umumnya negara-negara yang menerapkan sistem pendanaan partai politik didasari pada dua prosedur. Pertama, negara memberikan subsidi kepada parpol secara merata kepada seluruh partai.

Model ini banyak diterapkan di negara-negara Eropa Timur seperi Ukraina, Latvia, dan Rusia. Pendanaan yang egaliter di ketiga negara tersebut menciptakan persaingan yang relatif merata dalam pemilu. Di Latvia, dalam tiga kali pemilu menunjukkan hampir tidak adanya partai dominan di parlemen.

Model kedua, negara mensubsidi parpol secara proposional, dalam artian negara memberikan dana sesuai besaran agregat tertentu seperti jumlah suara, kursi di parlemen atau persentase suara. Negara-negara di Eropa Barat dan kawasan Skandinavia seperti Spanyol, Prancis, Finlandia dan Norwegia umumya menerapkan sistem tersebut.

Michael Koss dalam The Politics of Party Funding: State Funding to Political Parties and Party melihat keberhasilan pendanaan parpol oleh negara bukan berdasarkan sistem apa yang digunakan. Koss menilai negara-negara yang berhasil menerapkan sistem ini khususnya pada model pendanaan proposional seperti Finlandia dan Swedia memiliki corak partai yang policy seeking.

Partai politik yang memiliki tendensi untuk policy seeking ialah parpol yang lebih mengedepankan pada aspek kemampuan dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Dalam kondisi ini, partai politik cenderung tidak mengedepankan ego elektoral dan pencarian kekuasaan.

Di Indonesia dapat diamati corak parpolnya masih bersifat pada partai yang mengedepankan  office dan vote seeking. Partai politik di Indonesia dapat dikatakan sangat mementingkan kekuasaan dan dominasi dalam ranah elektoral. Kondisi ideal seperti yang diungkapkan oleh Koss tersebut tentu sulit untuk diaplikasikan di Indonesia. Hal tersebut karena subsidi negara kepada parpol sangat mungkin untuk dibajak dan dikorupsi oleh parpol untuk kepentingan elektoral.

Bisa jadi ketidakefektifan dana parpol di Indonesia selama ini bukan karena sistem pendanaan yang ada, tetapi memang dikarenakan budaya politik parpol Indonesia yang belum siap akan sistem ini.

Kepentingan Partai Besar ?

Jika melihat subsidi yang diberikan negara kepada parpol sebagai sebuah produk kebijakan, bukan tidak mungkin kebijakan pemberian dana tersebut memiliki intensi politik yang tinggi. Hal ini dikarenakan wacana peningkatan dana partai politik sebesar Rp 6 triliun akan memiliki efek yang signifikan pada keberlangsungan partai-partai di Indonesia.

Dalam kacamata politik hukum sendiri, hukum yang dibentuk merupakan sebuah produk dari politik yang sarat dengan kepentingan.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Taiwo Makinde dalam Interface between Politics and Public Policy: A Relationship of Inseparableness. Makinde melihat politisi berkepentingan untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya dan juga sebagai upaya dalam mempertahankan kekuasaan.

Pernyataan Makinde tersebut tentu dapat berelasi dengan adanya wacana pengeluaran dana parpol senilai Rp 6 triliun. Kebijakan yang rencananya akan keluar dalam bentuk UU tersebut akan dibuat oleh pemerintah dan DPR, di mana kedua institusi tersebut diisi oleh kelompok politisi yang berafiliasi dengan partai politik.

Berdasarkan mekanisme pembentukan UU, di mana pemerintah dan DPR menjadi aktor pembentuknya. Tentu logis jika kelompok politisi tersebut akan merancang kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya.

Lantas kelompok politisi atau parpol manakah yang paling diuntungkan dari kebijakan ini?

Saat ini, belum jelasnya mekanisme pendanaan parpol yang baru membuat belum dapat dilihatnya kelompok mana yang paling akan diuntungkan dalam wacana ini.

Jika rencana pengucuran dana Rp 6 triliun tersebut akan mengacu pada model yang egaliter atau semua parpol mendapat porsi sama seperti di Rusia, Ukraina dan Latvia maka dipastikan kelompok partai politik menengah-kecil lah yang paling diuntungkan. Pasalnya, mereka akan relatif lebih mudah kembali bersaing dengan partai besar dengan memanfaatkan dukungan materi yang ada.

Meski demikian, terdepaknya partai-partai kecil dalam pemilu lalu ditambah minimnya barisan oposisi pasca ditinggal oleh Gerindra, akan membuat setiap pengambilan keputusan menjadi tidak berimbang. Pemerintahan dan parlemen yang saat ini sangat dikuasai oleh partai-partai besar seperi PDI Perjuangan, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa tentu akan lebih mudah berkonsensi dalam kebijakan ini.

Berkaca juga pada perspektif yang dibahas Koss dan Makide, nampaknya sistem pendanaan model proposional yang saat ini Indonesia anut mungkin akan tetap dipertahankan. Hal ini dikarenakan adanya kepentingan partai-partai besar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Parpol besar juga bisa saja berkepentingan untuk menghambat partai baru dan kecil masuk dalam konstelasi politik dengan membagi dana parpol secara proposional. Kondisi tersebut berimplikasi pada semakin mendominasinya ideologi dan elite partai besar di perpolitikan nasional. (Y56)

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Polemik Skuter, Anies Telat Adaptasi?

Skuter listrik di Jakarta menuai banyak polemik di Jakarta. Kisruh ini kembali memunculkan asumsi tentang kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam merespon pembangunan di ibukota....

Pilkada Asimetris, Kepentingan Siapa?

Adanya evaluasi besar-besaran terkait Pemilihan Umum (Pemilu) langsung 2019 lalu memunculkan wacana akan diubahnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan. Pilkada asimetris banyak...

Omnibus Law Jokowi, Akankah Berhasil ?

Pemerintah tampaknya sangat serius dalam mendorong adanya omnibus law ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari telah rampungnya pembahasan di pemerintah dan akan segera...