HomeNalar PolitikKemunculan Mahasiswa Teroris Akibat Nadiem?

Kemunculan Mahasiswa Teroris Akibat Nadiem?

Ditangkapnya satu mahasiswa Universitas Brawijaya terkait terorisme agaknya menguak satu peran yang luput dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang diampu Nadiem Makarim. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Sepekan terakhir, reaksi netizen cukup riuh merespons ditangkapnya mahasiswa di Malang berinisial IA terkait terorisme oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri. Pasalnya, IA merupakan civitas academica perguruan tinggi negeri ternama di Kota Apel yang mengambil studi Hubungan Internasional (HI).

Berdasarkan pantauan PinterPolitik.com, mayoritas testimoni menyatakan ketidaksepakatannya terhadap apa yang dilakukan IA. Sebagian lainnya melemparkan lelucon bahwa IA mengambil peran sebagai aktor dalam hubungan internasional “terlalu dalam”.

Entah dapat dikatakan sebagai bentuk resiliensi atau bukan, yang jelas reaksi tersebut menggambarkan energi positif eksistensi perlawanan terhadap tindak pidana terorisme, khususnya di kalangan usia muda.

Akan tetapi, penjelasan Mabes Polri mengenai peran IA dalam aktivitas terorisme cukup membangkitkan keterkejutan yang pernah redup sebelumnya.

Ya, keberadaan terduga teroris IA seolah menghadirkan kembali peringatan bahwa masih ada segelintir pemuda yang terperangkap ideologi yang menjurus aktivitas terorisme, bahkan dari kalangan intelektual kampus.

Dia ditangkap di Kota Malang, Jawa Timur pada Senin, 23 Mei 2022 lalu. Penangkapan dilakukan Densus 88 Antiteror Mabes Polri berdasarkan sejumlah bukti yang cukup atas keterlibatan IA dalam ativitas tindak pidana terorisme.

Mahasiswa berusia 22 tahun itu diketahui melakukan kontak secara aktif dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sejak tahun 2019, menyebarkan materi dan propaganda Negara Islam, Irak, dan Suriah (ISIS) lewat media sosial, menyediakan pendanaan yang mengalir pada aktivitas terorisme dan narapidana terorisme, hingga menyiapkan aksi terornya sendiri.

Komunikasi IA dengan jaringan JAD berinisial MR diduga kuat terkait siasat teror di fasilitas umum dan kantor-kantor polisi. Aksi teror tersebut rencananya dilakukan secara fisik menggunakan senjata api atau senjata tajam

Namun, predikat sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri kiranya menguak satu hal yang cukup ironis. Itu tidak lain adalah peran kampus dan organ internalnya dalam melakukan upaya pengawasan dan langkah preventif.

Jika ditarik garis ke atas, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dipimpin Nadiem Makarim agaknya harus menjadi pihak yang melakukan refleksi paling serius.

Meskipun tampak bukan perkara mudah, Nadiem barang tentu berkewajiban menyediakan mekanisme hingga regulasi untuk mengantisipasi kasus seperti IA.

Lantas pertanyaannya, mengapa kiranya Nadiem terkesan abai sebelum terkuaknya kasus terorisme yang menjerat IA?

zelensky tak penuhi undangan jokowi

Nadiem Alami Attentional Bias?

Terdapat satu perspektif yang agaknya dapat menjelaskan mengapa Nadiem Makarim seolah kecolongan atas ditangkapnya IA. Probabilitas itu adalah kecenderungan pengabaian yang dilakukan akibat fokus yang tertuju pada prioritas lain, padahal semestinya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi.

Hal itu dapat dijelaskan melalui salah satu tipologi bias kognitif yakni attentional bias, yang memiliki makna bahwa ketika individu terlalu fokus pada hal-hal yang sifatnya “lebih baik”, aspek penting lainnya cenderung terabaikan.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Katherine Spencer, Amanda Charbonneau, dan Jack Glaser dalam publikasinya yang berjudul Implicit Bias and Policing menjabarkan lebih lanjut mengenai attentional bias yang dapat memengaruhi pembuatan keputusan serta kebijakan.

Muara dari bias tersebut adalah adanya stereotip kebijakan saat ada satu yang dianggap lebih penting dan jadi fokus umum dibandingkan kebijakan lainnya.

Sejak awal masa jabatannya, Nadiem memang tampak memprioritaskan kebijakan dengan proyeksi output konkret dalam bidang pendidikan tinggi, seperti kebijakan bertajuk Merdeka Belajar yang menelurkan program kampus merdeka.

Porsi lebih dalam prioritas itu agaknya membuat Nadiem mengalami attentional bias terhadap implementasi program lain yang semestinya beriringan. Dalam hal ini, kebijakan konkret dalam upaya pencegahan radikalisme yang menjurus aksi terorisme di dunia pendidikan tinggi.

Memang, program Nadiem itu dinilai merupakan langkah revolusionernya yang tegak lurus dengan visi pemerintah untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang semakin berkualitas menuju bonus demografi Indonesia ke depan.

Klaim Nadiem, merdeka belajar menjadi terobosan pertama yang dinilai paling esensial karena berhubungan langsung dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, yaitu asesmen nasional, kurikulum merdeka, rapor pendidikan, hingga bantuan pembiayaan pendidikan seperti dana bantuan operasional sekolah (BOS).

pm singapura asia tidak butuh nato ed.

Refleksi prioritas kebijakan itu dikemukakan hampir setiap panggung yang dihadiri Nadiem. Teranyar, memaparkan program andalannya itu di Kelompok Kerja Pendidikan (Education Working Group) G20.

Padahal, pentingnya implementasi kebijakan lainnya yang besifat saling melengkapi seperti pencegahan radikalisme dalam ekosistem perguruan tinggi telah lama digaungkan oleh sejumlah pihak.

Pada penghujung 2019 silam misalnya, Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang saat ini menjabat Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah meminta Nadiem untuk fokus menekan radikalisme di universitas negeri yang secara birokrasi langsung di bawah kendalinya.

Kala itu, Yaqut mengatakan bahwa persoalan radikalisme yang berkembang di kampus telah ada di depan mata dan diungkapkan secara terus menerus oleh sejumlah lembaga seperti Alvara Research hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tak hanya itu, pada Agustus 2020 lalu, elemen mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Nusantara (KMN) rela berpeluh di tengah pandemi untuk mengingatkan Nadiem akan potensi kemudaratan yang sama.

Eks bos Gojek itu diminta tidak main-main atas menjamurnya paham radikalisme yang menjurus aksi terorisme di lingkungan perguruan tinggi negeri.

Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengingatkan hal serupa dalam agenda Pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia pada 13 September 2021 di Surakarta, meskipun tidak diarahkan langsung kepada Nadiem.

Peraih gelar Master of Business Administration (MBA) dari Harvard Business School itu memang sempat menyatakan bahwa radikalisme adalah salah satu dosa besar dalam dunia pendidikan yang tidak bisa ditolerir.

Akan tetapi, itu terlihat menjadi satu-saatunya rekam jejak Nadiem ketika berbicara konteks radikalisme yang menjurus aksi terorisme di dunia pendidikan. Hal ini tercermin dari samarnya kebijakan konkret Nadiem atas dosa yang dia sebut-sebut kala itu.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Tentu presumsi di atas bukan untuk melimpahkan kesalahan pada Nadiem seorang atas persoalan yang membutuhkan sinergitas berbagai pihak. Namun kemungkinan, Nadiem menyadari attentional bias itu ketika berkaca pada kenyataan bahwa sampai saat ini belum ada respons langsung darinya atas ditangkapnya IA oleh Densus 88.

Di atas semua itu, konteks paparan ideologi yang mengarah langsung pada aktivitas terorisme yang dilakukan mahasiswa seperti IA agaknya bukan persoalan yang mudah untuk diatasi. Apalagi hanya melalui kebijakan satu institusi yang dipimpin Nadiem. Mengapa demikian?

infografis jenderal aktif jadi pj bupati

Perlu Bangkitkan Kearifan Lokal?

Ketika terduga teroris diamankan maupun saat sebuah aksi terorisme terjadi, hampir dapat dipastikan selalu diiringi diskursus lanjutan mengenai standar acuan terhadap definisi radikalisme maupun ekstremisme.

Diskursus itu seolah menjadi perdebatan alot namun tetap dianggap penting untuk menjadi dasar perbaikan kebijakan penanganan tindak pidana terorisme ke depannya. Padahal, aktivitas terorisme terus berjalan dan tidak memedulikan perdebatan tersebut.

Perdebatan itu secara tidak langsung agaknya berpengaruh pada efektivitas kebijakan serta program pencegahan yang telah ada selama ini, seperti bela negara dan semacamnya yang dinilai masih jauh dari harapan.

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya Yusli Effendi menilai bahwa program-program tersebut tidak akan mengubah paparan nilai terorisme yang menjangkiti IA. Terlebih sifat “klasik” program yang acap kali hanya seremonial dan formalitas belaka.

Ketika kompleksitas serta kebuntuan membayangi upaya pencegahan ideologi terorisme, kembali kepada kearifan lokal kiranya menjadi pilihan yang cukup logis untuk diterjemahkan secara konkret oleh semua pihak, termasuk di antara masyarakat.

R. Widyaningsih dan Kuntarto dalam Local Wisdom Approach to Develop Counter Radicalisation Strategy menjelaskan bahwa kearifan lokal yang dimiliki Indonesia merupakan kekuatan ide sekaligus ideologi yang dapat memenangkan hati dan pikiran dalam perang melawan radikalisme yang menjurus aksi terorisme.

Senada dengan Widyaningsih dan Kuntarto, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2011-2017 Irjen Pol. (Purn) Arief Dharmawan pernah menekankan pentingnya artikulasi kearifan lokal di setiap wilayah di tanah air yang berupa kepekaan sosial terhadap orang-orang di sekitar.

Praktik mendasar hubungan sosial kemasyarakatan seperti gotong royong, tolong menolong, dan perhatian di antara tetangga menjadi ihwal konkret peran kearifan lokal dalam aspek pencegahan.

Survei yang dilakukan BNPT pada tahun 2017 dan 2018 juga membuktikan bahwa praktik kearifan lokal adalah daya tangkal ampuh terhadap benih-benih dan ideologi terorisme.

Kepekaan sosial yang dilakukan bersama dianggap memiliki efektivitas paling baik dibandingkan opsi lain saat ini. Terutama untuk menembus kecanggungan dalam upaya saling mengingatkan, melindungi, dan menjaga orang-orang terdekat dari paparan ideologi yang mengarah pada aksi terorisme.

Nilai kearifan lokal itu pula yang kiranya dapat ditanamkan Nadiem dalam kebijakannya ke depan untuk mencegah keberadaan sosok seperti IA di lingkungan kampus dan sekolah, tentunya dengan sinergi dan perwujudan nyata dari seluruh elemen bangsa. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?