HomeNalar PolitikKemlu di Tengah Perbudakan ABK

Kemlu di Tengah Perbudakan ABK

Polemik pelarungan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia ramai dibicarakan dan memunculkan isu perbudakan terhadap pelaut warga negara Indonesia (WNI). Kira-kira, bagaimana sikap pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) terhadap isu ini?


PinterPolitik.com

“I said they treat me like a slave. Woi, we feel a whole heap of pain” – Assassin, DJ asal Jamaika

Mungkin, bagi sebagian penggemar film Hollywood ala Amerika Serikat (AS), isu perbudakan bukanlah hal yang asing. Bagaimana tidak? Banyak film dan seri televisi kerap membahas persoalan yang terjadi di masa lampau ini.

Sebuah film berjudul 12 Years a Slave (2013) yang memenangkan tiga piala Oscar pada tahun 2014 misalnya menceritakan seorang manusia bebas yang akhirnya harus jatuh pada naungan perbudakan pada abad ke-19. Tentunya, tak sedikit penonton pasti bakal merasa geram.

Selain film tersebut, ada juga film populer lainnya yang berjudul Django Unchained (2012). Film yang dibintangi oleh Jamie Foxx ini mengisahkan seorang budak yang akhirnya menjadi manusia bebas dengan latar belakang film di negara bagian Texas, AS, pada abad ke-19.

Dua film ini setidaknya menggambarkan bahwa perbudakan merupakan tragedi masa lalu yang terjadi pada abad ke-19. Mungkin, bila dibandingkan dengan masa kini, perbudakan serupa bisa dibilang telah berkurang jumlahnya.

Meski begitu, siapa sangka ternyata perbudakan dan kerja paksa masih terjadi di masa sekarang? Buktinya, beberapa waktu lalu, media dan kantor berita Korea Selatan ramai memberitakan isu pelarungan yang dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Tiongkok terhadap sejumlah anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI).

Adanya pelarungan ini sontak membuat warga dan pemerintah Indonesia bereaksi. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi misalnya langsung memanggil Duta Besar (Dubes) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xiao Qian untuk ditanyai mengenai persoalan pelarungan tersebut.

Meski Kementerian Luar Negeri (Kemlu) akhirnya menyatakan bahwa pelarungan sudah dilakukan sesuai peraturan internasional, dugaan akan adanya perbudakan dan kerja paksa tetap mencuat. Pasalnya, beberapa ABK Indonesia mengakui adanya kondisi-kondisi yang membuat mereka “terpaksa” bekerja melebihi batas.

“Kadang kita tidur cuma tiga jam,” ujar salah satu ABK Indonesia. Situasi kerja yang dihadapi oleh para ABK WNI ini tentu menimbulkan kesedihan tersendiri dan menyinggung rasa kemanusiaan banyak orang.

Menanggapi hal seperti ini, sudah menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk melindungi warga-warga negaranya – apalagi bila hak-hak dasar WNI disebut-sebut telah dirampas.

Lantas, Apa respons pemerintah Indonesia terhadap polemik dan isu perbudakan ini? Bagaimana respons tersebut bila dilihat dari sisi politik luar negeri?

Mengapa Panggil Dubes?

Guna menanggapi persoalan ini, pemerintah Indonesia memutuskan untuk meminta keterangan dari Dubes Tiongkok Xiao Qian. Menlu Retno kabarnya memanggil Xiao Qian untuk mendiskusikan keabsahan pelarungan yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan Tiongkok.

Pemanggilan dubes seperti ini sebenarnya merupakan hal yang lumrah terjadi dalam hubungan diplomatis. Biasanya, pemanggilan dubes dilakukan ketika sebuah persoalan antarnegara menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Bukan tidak mungkin, pemanggilan dubes yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ini memiliki konsekuensi penting. Dalam politik antarnegara, dubes sendiri dianggap sebagai simbol dan perwakilan negara pengirim untuk negara penerima dalam negosiasi.

Olivia McCaffrey dalam tesisnya yang berjudul Silent Statecraft menjelaskan bahwa pemanggilan dubes, selain menjadi saluran komunikasi antara dua negara, juga bisa menjadi pemberian sinyal diplomatis (diplomatic signaling) atas sikap negara penerima terhadap suatu isu.

Pemberian sinyal seperti ini pernah dilakukan pada tahun 2010 oleh Wakil Menlu Israel Daniel Ayalon dengan memanggil Dubes Turki akibat dirilisnya sebuah episode drama televisi Turki yang dinilai anti-Semitis.

Lantas, bagaimana dengan pemanggilan dubes yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?

Pemanggilan dubes selain menjadi saluran komunikasi antara dua negara juga bisa menjadi pemberian sinyal diplomatis (diplomatic signaling) atas sikap negara penerima terhadap suatu isu. Share on X

Sebenarnya, pemerintah Indonesia sendiri kerap menggunakan pemanggilan dubes sebagai pemberian sinyal atas sikap diplomatis yang ingin diberikan. Hal ini kerap dilakukan oleh Kemlu ketika isu-isu luar negeri yang menciptakan polemik mengambil porsi besar dalam perhatian masyarakat.

Persoalan mengenai penculikan nelayan-nelayan WNI yang terjadi di Laut Sabah pada Januari 2020 lalu misalnya, sampai membuat Menlu Retno memanggil perwakilan dua negara Asia Tenggara lainnya, yakni Malaysia dan Filipina. Pasalnya, penculikan nelayan seperti ini tak hanya sekali saja terjadi di wilayah perairan tersebut.

Boleh jadi, pemanggilan Dubes Tiongkok oleh Menlu Retno baru-baru ini juga menyatakan akan keseriusan sikap pemerintah Indonesia terhadap isu pelarungan ABK Indonesia. Tak berselang lama setelah bertemu dengan Xiao Qian, Menlu langsung memberikan keterangan pers terkait tindakan pelarungan tersebut.

Tentunya, pemanggilan yang dilakukan oleh Menlu Retno tersebut tak dapat memuaskan banyak pihak. Migrant CARE misalnya menilai bahwa pertemuan tersebut tak membahas persoalan pokok mengenai perlindungan dan pemenuhan hak-hak para ABK.

Namun, uniknya, persoalan perbudakan ABK asal Indonesia ini tak hanya sekali saja terjadi. Pada tahun 2019 lalu misalnya, isu yang mirip pernah mencuat di media dengan melibatkan beberapa ABK WNI di kapal Zhong Ju 18.

Lantas, bila persoalan ini bukanlah hal baru, mengapa pemerintah Indonesia belum juga menyelesaikan persoalan ini dengan Tiongkok? Kira-kira, mampukah Indonesia?

Lemahnya Diplomasi Indonesia?

Dalam berdiplomasi, setiap negara memiliki modal tertentu untuk mencapai kepentingannya. Kepentingan sebuah negara dapat mencakup kebijakan yang diambil oleh negara lain.

Ketika pemerintah Indonesia memberikan sinyal diplomatis kepada Malaysia dan Filipina melalui pemanggilan duta-duta besar yang membahas soal penculikan nelayan WNI misalnya, pemerintah pastinya mengharapkan perubahan kebijakan yang dapat dilakukan oleh dua negara tersebut.

Salah satu kepentingan yang ingin dicapai ialah agar pemerintah Malaysia dan Filipina dapat meningkatkan keamanan laut di wilayah perairan sekitar Sabah – di mana sejumlah nelayan WNI diculik.

Berkaca dari pemanggilan kedua dubes tersebut, pemerintah Indonesia mungkin juga memiliki kepentingan dan ekspektasi tertentu terhadap pemerintah Tiongkok setelah Menlu Retno bertemu dengan Dubes Xiao Qian beberapa waktu lalu.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Boleh jadi, pemerintah Indonesia tak hanya ingin mendapatkan informasi terkait sesuai hukum atau tidaknya pelarungan yang dilakukan oleh kapal-kapal Tiongkok. Pasalnya, Menlu Retno sendiri telah menyatakan bahwa Tiongkok akan melakukan investigasi terkait dugaan perbudakan tersebut.

Meski begitu, dalam diplomasi, kepentingan bukanlah satu-satunya unsur utama. Pemerintah Indonesia bisa jadi membutuhkan unsur lain, yakni power (kekuatan).

David A. Baldwin dalam tulisannya yang berjudul Power and International Relations – dengan mengutip Robert A. Dahl – menjelaskan bahwa power dalam hubungan internasional dapat didefinisikan sebagai kemampuan negara A dalam membuat negara B melalukan hal yang sebenarnya tak akan dilakukan oleh B.

Dalam hal ini, Indonesia bisa jadi membutuhkan power pada tingkat tertentu agar Tiongkok mau melakukan sesuatu yang diinginkan oleh Indonesia. Guna memengaruhi negara lain, Baldwin menjelaskan bahwa sebuah negara bisa saja perlu memerhatikan beberapa dimensi dari power itu sendiri.

Salah satu dimensi yang disebutkan oleh Baldwin adalah weight (beban). Dimensi satu ini berbicara mengenai kemungkinan akan terpengaruhnya perilaku negara B oleh negara A. Artinya, negara yang memiliki kekuatan yang lebih besar menjadi lebih mampu dalam memengaruhi perilaku negara lain.

Lantas, apakah mungkin pemerintah Indonesia mampu memengaruhi perilaku Tiongkok dalam isu perbudakan ini?

Bisa jadi, pemerintah Tiongkok belum tentu mau mengikuti kemauan Indonesia. Pasalnya, secara beban power, Indonesia bisa jadi terpaut jauh dalam beberapa indikator power (seperti kekuatan militer dan ekonomi).

Dalam persoalan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Laut Natuna Utara – atau Laut China Selatan – misalnya, pemerintah Indonesia juga telah memanggil Dubes Tiongkok. Namun, persoalan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia tampaknya tetap terjadi meski sekarang dunia tengah disibukkan oleh pandemi virus Corona (Covid-19).

Berkaca dari hal ini, bukan tidak mungkin Kemlu bakal menghadapi aral yang serupa dalam upayanya untuk menyelesaikan persoalan perbudakan terhadap ABK WNI yang terjadi di kapal-kapal Tiongkok.

Meski begitu, pemerintah Indonesia mungkin masih bisa berharap akan perilaku Tiongkok perihal persoalan ABK WNI. Pasalnya, menurut Baldwin, power setiap negara bisa juga berbeda-beda dalam setiap isu (scope).

Mungkin saja, Indonesia dapat didengarkan oleh Tiongkok dalam isu-isu di luar Laut Natuna Utara – atau Laut China Selatan. Ya, mari kita saksikan saja bagaimana kelanjutan upaya pemerintah Indonesia – khususnya Kemlu – dalam menyelesaikan persoalan dan polemik perbudakan ABK WNI ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?