Site icon PinterPolitik.com

Kembalinya Habib Rizieq Perkuat Oposisi?

Kembalinya Habib Rizieq Perkuat Oposisi

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab. (Foto: Kastara)

Kabar kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Indonesia pada pekan depan seketika menimbulkan perhatian masif tersendiri yang dinilai berbeda dari sebelumnya. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Adakah dampak politik tertentu dari agenda kepulangan Habib Rizieq kali ini?


PinterPolitik.com

Tengah pekan ini, sebuah rilis disampaikan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab bahwa dirinya akan kembali ke Indonesia pada 10 November mendatang.

Dengan merinci rencana perjalanan, termasuk nomor pesawat yang akan digunakan, rilis tersebut sontak mendapat perhatian tersendiri mengingat telah enam kali rencana kepulangan Habib Rizieq dari Arab Saudi urung terlaksana.

Sejumlah tokoh dengan beragam berkomentar pun turut mengiringi rencana kepulangan tersebut. Mulai dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, hingga satu yang terbilang menarik yaitu dari sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Namun yang tak kalah menarik ialah atensi serta agenda sambutan dari kalangan Muslim tanah air itu sendiri atas kembalinya Habib Rizieq. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, misalnya, mengatakan bahwa kembalinya Habib Rizieq akan mendorong dan membangkitkan gairah umat Islam di tanah air.

Sementara semangat serupa datang dari internal kelompok yang lekat dengan Habib Rizieq selama ini, yakni Persaudaraan Alumni (PA) 212. Melalui ketua umumnya, Slamet Ma’arif, rangkaian agenda penyambutan dan iring-iringan dipastikan telah disiapkan, mulai dari bandara hingga ke Petamburan yang merupakan kediaman Habib Rizieq.

Elemen yang tergabung dalam Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat juga seolah tak mau ketinggalan dan berencana melakukan aksi massa besar yang bertajuk “Putihkan Jakarta”, khusus untuk menyambut Habib Rizieq.

Tak hanya itu, baliho bergambar Imam Besar FPI itu juga semakin jamak bertebaran di setiap sudut jalan pasca pengumuman kepulangannya tengah pekan ini.

Lantas, mengapa atensi serta reaksi semacam itu dapat terjadi? Dan apakah hal tersebut mengindikasikan makna tertentu yang dapat berdampak pada politik dan pemerintahan saat ini?

Isi Kekosongan “Common Leader”?

Sambutan semacam itu kiranya tak hanya berkaitan dengan posibilitas kepulangan yang besar dan tak seperti enam wacana sebelumnya yang batal. Hal lain mungkin terkait pula dengan relevansi sosok Habib Rizieq itu sendiri di tengah-tengah kondisi kalangan Muslim tanah air kekinian.

Dalam In the Path of God: Islam and Political Power, Daniel Pipes menyoroti konteks Islamic religious leaders atau pemimpin kelompok Muslim yang disebut memainkan berbagai peran penting dalam tatanan masyarakat, seperti teladan, guru, hakim, pemimpin komunitas, hingga memberikan panduan agama pada hal yang bersifat spesifik dan personal.

Amir Niazi dalam Islamic Religious Title menyebut, berbeda dengan negara Islam, di negara Muslim sekuler seperti Turki, Indonesia dan Bangladesh, Islamic religious leader umumnya diperankan dalam bentuk-bentuk non-formal.

Khusus berbicara mengenai Indonesia, hal tersebut secara tersirat dijabarkan Hamid Zarkasyi dalam The Rise of Islamic Religious-Political Movement in Indonesia, yang menyebutkan sejumlah nama seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Abu Bakar Baasyir, hingga Habib Rizieq sebagai Islamic religious leader dengan karakteristik aliran dan pengikutnya masing-masing.

Tak hanya bagi para pengikutnya, nama-nama itu disebut bahkan cukup berpengaruh terhadap situasi politik dan pemerintahan. Gus Dur menjadi penasbih utamanya saat berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia dengan kekuatannya sebagai Islamic religious leader.

Di setiap periode pun, selalu terdapat sosok Islamic religious leader di tanah air yang merupakan representasi kalangan Muslim dan acapkali dihormati oleh umat Islam secara umum.

Pasca era Gus Dur, sosok Ma’ruf Amin disebut memainkan peran paling prominen atas titel tersebut. Terbukti saat kasus penistaan agama yang menyeret Ahok pada 2017 silam, Ma’ruf Amin-lah yang dinilai sangat sentral perannya dalam dinamika kasus tersebut, tentu dengan kapasitasnya sebagai representasi Islamic religious leader.

Setelah Ma’ruf Amin bergabung dengan pemerintah, sayangnya titel tersebut seolah perlahan terkikis dari sosoknya akibat tendensi hanya berperan sebagai simbol semata di Istana.

Muaranya, kini kalangan Muslim tanah air seolah mengalami kekosongan sosok Islamic religious leader prominen yang dapat mewakili suara mereka, termasuk dalam politik dan pemerintahan.

Apalagi pada kasus belakangan, yakni dinamika Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), peran tokoh dan organisasi Islam seperti NU hingga Muhammadiyah tampak tak diindahkan pemerintah saat memberikan berbagai masukan dan kritikan.

Karenanya, kepulangan sosok Habib Rizieq yang disambut dengan antusiasme begitu masif, mungkin saja akibat munculnya kembali harapan akan sosok yang dapat mengisi kekosongan Islamic religious leader atau bahkan “common leader” itu, utamanya bagi kalangan Muslim di tengah berbagai problematika yang ada saat ini.

Dengan berbagai kontroversi yang ada, Habib Rizieq sendiri nyataya bukan sosok sembarangan. Rizieq dikatakan merupakan subjek penting hasil proyek dakwah Arab Saudi di Indonesia, mengacu pada latar belakang pendidikannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) dan King Saud University.

Karenanya, meski kabar negatif menaungi eksistensi Habib Rizieq di “pengasingan”, Arab Saudi dinilai tetap menjadi tempat yang nyaman bagi Rizieq. Dan akan terbukti jika memang pekan depan dirinya benar-benar pulang ke tanah air tanpa kendala apapun.

Selain itu, publik tentu masih ingat pula bagaimana peran Habib Rizieq saat kasus penistaan agama yang menyeret Ahok. Selain sukses memaksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun gunung secara langsung untuk bereaksi, melalui aksi 411 dan 212 dirinya dianggap berhasil mengintegarsikan FPI dan basis golongan lain yang kemudian dipersatukan dalam tajuk PA 212.

Dan bisa dikatakan, saat ini belum ada pemimpin kalangan Muslim dengan daya tarik, karisma, skill, dan kapabilitas menghimpun massa yang mumpuni selain Habib Rizieq di Indonesia.

Karenanya, berbagai variabel itulah yang menjadikan comeback Habib Rizieq menjadi begitu dinantikan dan mendapat sambutan yang dapat dikatakan cukup “istimewa”.

Lalu, adakah dampak politik tertentu setelah Habib Rizieq kembali?

Seimbangkan Ketimpangan Politik?

Menko Polhukam Mahfud MD telah angkat bicara mengenai rencana kepulangan Habib Rizieq ke Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut bahwa pemerintah tidak memiliki kekhawatiran apapun atas kepulangan Habib Rizieq.

Mahfud menambahkan bahwa kepulangan Habib Rizieq tidak seperti pemimpin Syiah Iran, Ayatullah Khomeini yang membawa dampak besar bagi negara dan bangsa.

Secara normatif pernyataan tersebut memang cukup proporsional. Akan tetapi, mungkin saja sikap tersebut justru mengindikasikan sebaliknya. Presumsi ini sendiri mengacu pada tulisan Sydney Jones di The Lowy Institute yang menyebut bahwa kelompok Islam seperti FPI – yang notabene dipimpin Habib Rizieq – menjadi segmen yang akan sulit “ditindak” manuvernya oleh pemerintah karena konsekuensi Islamic backlash atau perlawanan balik yang riskan bagi kondusivitas politik dan keamanan.

Habib Rizieq sendiri seperti yang jamak diketahui kerap menyampaikan narasi dan seruan yang berseberangan dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Pun dengan agenda Revolusi Akhlak yang mengiringi kepulangannya ke tanah air mendatang.

Ian Wilson dalam Making Enemies Out of Friends menyebut bahwa di Indonesia, kekecewaan terhadap pemerintah selalu membuka kesempatan bagi manuver kelompok Islam garis keras. Dan yang dimaksud Wilson tak lain ialah FPI besutan Habib Rizieq.

Mengacu pada dinamika isu terkini yang memang lebih banyak menampilkan kekecewaan terhadap pemerintah, kembalinya Habib Rizieq sendiri juga dinilai akan memengaruhi konstelasi politik domestik pada dimensi tersebut.

Hal ini seperti yang turut dianalisa oleh pengamat intelijen, Stanislaus Riyanta yang menyebut kehadiran Habib Rizieq akan memperkuat narasi yang selama ini dibangun oleh sosok-sosok seperti Din Syamsuddin hingga Gatot Nurmantyo.

Lebih lanjut, menurutnya Habib Rizieq juga akan semakin menambah kekuatan Islam dan kelompok nasionalis yang tidak sejalan dengan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Stanislaus menyebut hal ini bukanlah sesuatu yang negatif dan justru dapat menyeimbangkan kekuatan politik selama ini yang cenderung tak imbang.

Terlepas dari kontroversi sosok Habib Rizieq secara personal, proyeksi positif tersebut memang cukup diharapkan sejumlah pihak saat ini. Sepanjang nilai persatuan dan toleransi tetap dijunjung tinggi.

Dan jika hal tersebut dapat dicitrakan dengan baik, bukan tidak mungkin peran Habib Rizieq juga akan cukup esensial sebagai kunci dalam dinamika politik dan kontestasi elektoral level tertinggi ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version