Berhadapan dengan teror dan kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) yang dinilai ‘gagal’, turut menguak fakta bila keberadaan perempuan di dalam lembaga tersebut masih sangatlah minim.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]ukan rahasia lagi bila bekerja di dunia intel perlu komitmen dan dedikasi yang tinggi. Pekerjaan ini selain butuh ketajaman analisa, juga membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang kuat sebab kapan pun bisa berhadapan dengan risiko kematian.
Itulah alasan yang pernah dikemukakan oleh Kepala Sub Direktorat II Ekonomi, Direktorat Intelijen keamanan Polda Metro Jaya, AKBP Titik Valentina, mengenai risiko bekerja di dunia intelijen. Titik sendiri adalah satu dari sedikit perempuan yang berkiprah di dunia intelijen. Perempuan yang pernah menjajal peran sebagai wartawan hingga tukang sapu ini, mengamini bahwa keberadaan perempuan di dunia intel sangatlah minim, di BIN saja, dari 3000 pekerja yang ada, perempuan hanya berjumlah 30-40 orang.
Dari sini, stereotip bahwa lembaga intelijen merupakan lembaga yang maskulin dan merupakan ‘ranah’ laki-laki menjadi semakin kuat. Sekalipun ada perempuan yang punya kinerja bagus di dalamnya, tak banyak pula yang mengekspos.
Persepsi yang mengitari lembaga inteljen ini, selaras dengan apa yang pernah disebutkan oleh Joan Acker dalam Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory of Gendered Organization. Acker menolak dalil yang menyebut bahwa suatu lembaga atau pekerjaan bersifat netral. Menurutnya, sebuah lembaga atau pekerjaan tertentu masih menyimpan imaji tubuh laki-laki dan maskulinitas, sehingga membuat perempuan dalam posisi marjinal atau terpinggirkan. Dengan adanya sifat gendered organization ini, memunculkan pula ranah pekerjaan yang dianggap hanya cocok untuk perempuan atau laki-laki (segregasi). Hal inilah yang terjadi dalam dunia intel.
Dalam dunia intel, tentu saja siapapun bisa memasukinya, tetapi hal yang jauh lebih berat harus dipikul perempuan karena komitmen dan dedikasi yang tinggi, bertentangan dengan ‘kodrat’ perempuan yang dianggap harus berada di ranah domestik.
Bila menyebut tokoh perempuan di dunia intelijen, nama yang paling populer adalah Mata Hari. Ia adalah mata-mata sekaligus penari striptis di masa pra-kemerdekaan. Dirinya juga punya darah indonesia yang berasal dari ayahnya. Ia meninggal dieksekusi karena dianggap membocorkan informasi kepada Jerman dan bertanggung jawab atas kematian ratusan tentara Prancis. Karena sangat populer, ia menjadi inspirasi pembuat film. Bahkan narasi atau penggambaran mata-mata cantik nan seksi ala Mata Hari, diglorifikasi oleh Hollywood sampai hari ini.
Sementara bila melihat tokoh BIN atau pengamat intelijen asal Indonesia masa kini, penggambarannya sungguh berbeda dengan apa yang dipopulerkan oleh Hollywood atau sosok Mata Hari.
Selain Titik Valentina, perempuan yang berada di dunia intel lainnya adalah Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati. Susaningtyas atau yang akrab disapa Nuning ini, adalah mantan anggota DPR Komisi I Fraksi Hanura, sekaligus pengamat intelijen dan pertahanan negara. Nuning juga pernah terlihat mengkritik pernyataan Kepala Badan Siber Mayjen Djoko Setiadi, saat baru diangkat oleh Presiden Jokowi terkait pernyataan ‘hoax membangun’.
Selain Nuning, perempuan yang berkutat di bidang intelijen adalah Fajari Iriani, Connie Rahakundini, dan juga Stepi Anriani.
Minimnya keberadaan perempuan di lembaga intel, tak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat juga hanya memiliki 40 persen perempuan dalam lembaga intelnya. Tetapi satu hal yang ‘berbeda’, Presiden Donald Trump mencalonkan direktur CIA perempuan, Gina Haspel. Penunjukkan direktur perempuan ini adalah yang pertama kali dalam sejarah intelejen AS. Lantas, pertanda apa yang ditancapkan Haspel di dunia AS sehingga ia ditunjuk menjadi direktur CIA?
Gina Haspel, Direktur Pilihan Trump
Haspel sudah resmi menduduki jabatan sebagai Direktur CIA sejak 26 April 2018 lalu. Sebelumnya, yakni sejak 2017, ia menjabat sebagai wakil direktur mendampingi Mike Pompeo. Haspel tentu berterima kasih kepada Trump karena telah mencalonkannya, hal ini ia katakan di The Guardian. “Saya berterima kasih kepada Presiden Trump yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dicalonkan sebagai direktur CIA.”
Menariknya, saat sosok Haspel muncul, ia lantas menjadi sebuah paradoks tersendiri. Saat kekurangan sosok perempuan dipertanyakan dalam dunia intelijen, Haspel yang akhirnya mampu duduk sebagai orang nomor satu di CIA. Keberadaannya tentu mendapat sorotan dari publik AS, karena sepak terjangnya menghadapi tahanan dan pendirian penjara bawah tanah.
Saat acara konfirmasi atau confirmation hearing, Haspel terlihat dikonfrontasi oleh Kamala Harris, senator bagian California dan pengacara handal, apakah dirinya menjunjung moralitas dalam menjalankan tugasnya? Pertanyaan yang cukup dijawab “ya” atau “tidak” tersebut, dipelintir Haspel, hingga Harris akhirnya menyerah dan melanjutkan ke pertanyaan lain.
Pertanyaan Harris, sedikit banyak menggambarkan bagaimana sepak terjang ‘kotor’ nan ‘berdarah’ Gina Haspel, sudah menjadi rahasia publik. Haspel adalah salah satu tokoh penting di balik beroperasinya penjara-penjara rahasia penampung teroris selama pemerintahan George W. Bush.
Haspel bergabung dengan CIA pada tahun 1985 silam. Kariernya moncer, seiring banyaknya penjara rahasia di bawah kepresidenan Bush Junior. Seperti yang dilansir oleh New Yorker, mulai dari tahun 2003 – 2005, Haspel menduduki posisi sebagai senior CIA yang bertugas menangani program penahanan puluhan orang terduga teroris.
Haspel juga dilaporkan berada di sebuah penjara rahasia di Thailand pada 2002. Di penjara tersebut, dua tersangka Al Qaeda, Abu Zubaydah dan Abd al-Rahm al Nashiri dipenjara dan diinterogasi CIA secara sadis layaknya tiap orang yang diciduk dengan tuduhan teroris.
Salah satu praktik paling brutal yang dilakukan di tempat tersebut, adalah waterboarding. Waterboarding adalah teknik ‘penyiksaan’ yang dilakukan dengan menutup kepala tahanan dengan lap dan diguyur air, sehingga tahanan akan merasa seperti tenggelam. Abu Zubaydah dan Abd al Rahm disiksa dengan waterboarding selama sebulan penuh. Sayangnya interogasi tersebut buntu dan berakhir sia-sia, karena Zubaydah ternyata tak punya hubungan sama sekali dengan Al Qaeda.
Keberadaan Haspel makin menjadi polemik saat namanya muncul dalam komunikasi internal CIA, terkait perintah penghancuran rekaman-rekaman video interogasi di berbagai penjara rahasia pada 2005 silam. Barack Obama dan Bush Junior, merupakan dua Presiden AS yang melindungi Haspel dengan jaminan bahwa siapapun yang terlibat program interogasi CIA tidak akan dituntut secara hukum.
Presiden Trump, yang awalnya punya sumpah untuk membatalkan keputusan Obama dan Bush tersebut, saat ini malah jadi aktor yang menjadikannya orang nomor satu di CIA. Padahal Mike Pence, wakil Presiden AS, jelas-jelas menunjukkan reaksi negatifnya karena dirinya punya pengalaman disiksa saat Perang Vietnam.
Terlepas dari apa yang dilakukan Haspel, CIA sendiri sebetulnya sudah lama masyhur dengan kerja-kerja ‘kotor’-nya, termasuk keterlibatan dalam banyak pergantian rezim selama dan setelah Perang Dingin. Di sisi lain, paradoks kemunculan sosok perempuan di CIA menjadi sebuah terobosan sekaligus kontroversi.
Perempuan dalam Intelijen Tidak Pergi
Pekerjaan penuh risiko dan kekerasan dalam dunia intelijen, setidaknya seperti apa yang terjadi pada Gina Haspel, kerap diasosiasikan sebagai pekerjaan yang tidak cocok untuk perempuan. Dalam teori social construction of gender, budaya dan masyarakat menciptakan peran gender yang dianggap ideal bagi perempuan atau laki-laki. Perempuan dikaitkan dengan pekerjaan yang lembut dan mengayomi, sementara laki-laki lekat dengan konstruksi pekerjaan yang penuh tantangan dan risiko.
Konstruksi demikian, menguatkan stereotip sebuah pekerjaan, sehingga bila perempuan berkecimpung di dunia yang didominasi oleh laki-laki atau sebaliknya, mereka akan sulit untuk dianggap setara. Cerita mengenai pahit berada di dunia intel Indonesia bagi perempuan tak banyak yang bisa diekspos.
Tetapi di AS, seorang mantan agen CIA, Patty, bercerita bahwa saat perempuan sudah masuk dalam dunia intel, mereka harus berjibaku untuk bisa diakui secara setara. Patty menambahkan, perempuan dalam bidang intel tidak hanya duduk di posisi yang sama karena tidak bekerja keras dan tidak mengambil kesempatan, tetapi karena perempuan tidak sering diberikan kepercayaan hanya karena mereka ‘perempuan’.
Patty juga berkata bahwa mereka mengambil risiko dan pengorbanan untuk bertugas, mereka tak pergi kemana-mana (melarikan diri) dan tetap mengambil kerja tersebut. Tetapi, kesenjangan dan bias yang membuat perempuan di CIA tak bisa bergerak banyak dibandingkan dengan kawan laki-lakinya.
Dengan demikian, dalam titik tertentu, bisa saja perempuan AS dan Indonesia yang bergelut di bidang intel sebenarnya menemui ketimpangan yang sama, tetapi hal tersebut memang tak banyak diketahui. Karena sifat gendered organization yang menempatkan ranah intelijen sebagai ranahnya laki-laki, tempat tersebut menjadi kurang ramah bagi perempuan. Menempati posisi tinggi dalam ranah pekerjaan yang dianggap “maskulin” pun, belum tentu membuat posisi perempuan aman karena masih harus dicap egois atau bahkan bengis.
Jangan sampai apa yang dikatakan oleh Lois Wyse, penulis buku dan kolumnis AS, menjadi semakin lumrah, yakni laki-laki harus minta maaf karena kelemahannya, sementara perempuan malah harus minta maaf atas kelebihannya. (A27)