Isu kelompok radikalis yang disinyalir mulai marak di kampus-kampus, ternyata bukan isapan jempol. Kelompok tersebut bahkan sudah mulai mengendalikan sejumlah kebijakan di kampus.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]M[/dropcap]araknya penolakan akademisi mengenai rencana pengangkatan rektor ditangan Presiden, membuat peraturan tersebut urung dilanjutkan. Usulan ini sendiri bergulir lantaran adanya indikasi lembaga perguruan tinggi sebagai tempat bersemainya paham radikalisme sekaligus perekrutan kader atau pengikut paham yang mengancam kehidupan berbangsa karena berupaya mengganti ideologi negara.
Sebenarnya, alasan munculnya pemikiran agar pemilihan rektor melibatkan presiden adalah agar rektor yang terpilih tidak permisif terhadap gerakan radikalisme. Sehingga, walaupun rencana tersebut tidak dilanjutkan, namun tetap ditekankan bahwa pemilihan rektor harus mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Sehingga tidak ada rektor yang dapat mengakomodasi kepentingan kelompok radikal.
Menurut Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir, Perguruan Tinggi (PT) di wilayah Pulau Jawa dinilai rentan terpengaruh paham radikalisme. Potensi risiko, lanjutnya, terungkap merata mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, berdasarkan upaya pemetaan yang sedang dilakukan bersama dengan sejumlah lembaga.
Waspada kelompok radikal di kampus. Kenali cirinya! #MahasiswaLawanRadikalisme pic.twitter.com/ycDylg3zfM
— BNPT (@BNPTRI) May 5, 2017
“Ini harus dipetakan, kami bekerja sama dengan tim yang (antara lain) terdiri dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan sebagainya,” kata Nasir di Subang, Jawa Barat, Selasa (23 Mei) lalu. Karenanya, ia mendorong Badan Intelijen Negara (BIN) mencermati kondisi kampus di Indonesia secara lebih baik dan merata, terutama menyangkut potensi berkembangnya paham radikalisme.
Terkait perkembangan tersebut, sejumlah rektor PT pun telah mengalami pergantian. Seorang sumber mengatakan, pihak-pihak yang berafiliasi dengan gerakan radikalisme melakukan konsolidasi guna melanggengkan pengaruh mereka di kampus. (Baca: Dekan Dukung Teroris, Presiden Turun Tangan)
“Mereka yang berafiliasi dengan ormas radikal, secara diam-diam melakukan pendekatan ke beberapa pihak untuk mendorong calon rektor pilihan mereka. Ada sejumlah nama calon rektor yang diusung. Kelompok garis keras ini diam-diam berkonsolidasi agar kursi rektor jatuh ke calon yang mereka dukung,” terang sumber tersebut, Senin (5/6).
Ia menuturkan, kalau kelompok mereka ini terdiri dari sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni yang selama ini memegang peranan penting dan memiliki pengaruh di kampus. “Meski jumlahnya tidak banyak, tetapi keberadaan kelompok ini umumnya bisa mengendalikan sejumlah kebijakan di kampus mereka,” katanya.
Namun Ketua Forum Rektor Indonesia Suyatno mengatakan, kunci utama upaya memerangi radikalisme sebenarnya bagaimana pemerintah menciptakan keadilan. Pasalnya, radikalisme muncul tidak secara spontan. “Awalnya dari ketidakpuasan, sehingga melahirkan radikalisme. Ini umumnya menyerang pihak-pihak yang rentan seperti perguruan tinggi yang kekurangan sarana, prasarana, infrastruktur dan lainnya,” katanya.
Ia memandang, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong peningkatan kualitas PT yang tertinggal dan umumnya berada di kawasan terpencil atau wilayah perbatasan. Pemerintah diminta tidak lagi membeda-bedakan PT negeri dan swasta.
“Mereka yang lemah sangat rentan disusupi radikalisme dan ini perlu menjadi perhatian pemerintah. Sedangkan kami perguruan-perguruan tinggi sudah menjalankan kewajiban kami untuk memerangi radikalisme lewat pendidikan berkarakter dan mendorong nasionalisme,” pungkasnya.
(Suara Pembaruan)