Site icon PinterPolitik.com

Keliru Jika Hanya Sindir Prabowo?

Keliru Jika Hanya Sindir Prabowo

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. (Foto: Antara)

Gerakan penggalangan dana demi membeli kapal selam baru pasca tragedi Nanggala 402 juga dilakukan kelompok masyarakat Masjid Jogokariyan di Yogyakarta. Lantas mungkinkah gerakan itu adalah cerminan pamungkas dari minornya kinerja pemerintah di bidang pertahanan yang diampu Prabowo Subianto?


PinterPolitik.com

Di tengah adanya sorotan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto karena dianggap kurang cakap mengelola anggaran pertahanan pasca tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402, kini muncul satu kehebohan tersendiri.

Kehebohan itu datang dari reaksi terhadap ide penggalangan dana untuk pembelian kapal selam anyar yang sedang hangat dibicarakan dalam dua hari terakhir. Hampir bersamaan dengan gagasan yang dimunculkan ustaz kondang Abdul Somad, kelompok masyarakat dari Masjid Jogokariyan Yogyakarta pun menginisiasi hal serupa.

Bahkan, di hari pertama urunan yang digalakkan masjid bersejarah yang terletak di Jalan Jogokariyan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta ini, berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp 365 juta.

Khusus melihat entitas penggalang dana yakni Masjid Jogokariyan, sebenarnya bukan kali ini saja inisiasinya menarik perhatian. Pada awal 2019 lalu misalnya, masjid tersebut juga pernah disorot karena memiliki program yang sangat unik.

Baca Juga: Mampu Prabowo Lawan “Mister M”?

Salah satunya adalah penggantian sandal dan juga sepeda motor apabila hilang di area masjid. Selain itu, saldo infak juga mesti nol rupiah, yang mana hal ini berangkat dari filosofi bahwa dana yang ada harus selalu digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Namun di samping sejumlah apresiasi, nada sumbang juga bermunculan dari gerakan pengumpulan dana pembelian kapal selam tersebut. Mulai dari yang pesimistis soal mekanisme pembelian alutsistanya, mempertanyakan peruntukannya apabila target tidak tercapai, hingga berbicara juga soal akuntabilitas.

Sedangkan jika dilihat dari proporsionalitas perspektif, gerakan penggalangan dana tersebut sesungguhnya positif dalam konteks eksisnya solidaritas masyarakat dan TNI. Ihwal yang juga dikemukakan oleh pakar militer yang juga eks Sekretaris Kabinet periode November 2014 hingga Agustus 2015, Andi Widjajanto.

Kendati begitu, Andi mengingatkan bahwa dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, tegas mengatur bahwa seluruh kebutuhan pertahanan dibiayai sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk pengadaan kapal selam.

Artinya, pembelian kapal selam tidak dimungkinkan bagi sumber anggaran di luar APBN atau off budget dan secara otomatis tidak dapat digunakan oleh TNI sebagai institusi resmi pertahanan negara.

Lantas pertanyaannya, mengapa gerakan penggalangan dana ini kemudian muncul? Mungkinkah gerakan ini justru memiliki makna tersendiri yang sebenarnya ditujukan untuk pihak tertentu, dalam hal ini Menhan Prabowo Subianto yang tengah disorot?

Sindiran Kultur Jawa?

Ide penggalangan dana untuk pembelian kapal selam baru menuai berbagai penafsiran. Ada yang melihatnya cukup positif sebagai bentuk solidaritas, namun ada juga yang mengartikannya sebagai bentuk sindiran bagi pemerintah.

Ya, jika dilihat dari sudut pandang tertentu, urunan tersebut agaknya memang cukup memungkinkan dianggap sebagai bentuk pesan khusus untuk para pemangku kepentingan dalam bidang pertahanan.

Terlebih jika dilihat dari perspektif budaya, hubungan antar rakyat dan penguasa, serta politik Jawa. Terdapat sebuah frasa dalam filosofi Jawa, yakni pasemonyang memiliki arti ekspresi penuh makna dan simbol tertentu sebagai sindiran halus.

Berangkat dari keengganan kultur masyarakat Jawa untuk menciptakan hubungan konfrontatif, pasemon kemudian muncul. Goenawan Mohamad dan John H. McGlynn dalam Pasemon: On Allusion and Illusions menjelaskan bahwa sebagai bagian dari tradisi budaya Jawa pasemon sesungguhnya bukan hanya perangkat komunikatif. Sebagai kiasan, sebuah pasemon bisa menjadi sebuah “simile” atau sebuah “analogi”, dan juga bisa menjadi ekspresi kiasan atau bahkan sindiran.

Tak hanya dalam lingkup interaksi masyarakat, pasemon juga eksis sebagai sindiran rakyat untuk para penguasa atau raja yang disebut sebagai pasemon praja.

Baca Juga: Sri Mulyani Tak Kasihan Prabowo?

Misalnya sebuah pasemon catur rana semune segara asat atau empat medan peperangan layaknya samudera kering. Itu dipakai untuk menilai kerajaan Jenggala, Kediri, Singosari dan Urawan yang dianggap gemar berperang sehingga banyak menghabiskan kekayaan negara untuk memenuhi nafsu perang tersebut.

Ada pula macan galak semune curiga kethul atau harimau buas layaknya senjata yang tumpul. Kalimat ini ditujukan untuk Prabu Brawijaya V, raja terakhir di Kerajaan Majapahit. Dengan pengaruhnya yang besar, Ia dinilai tidak mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Sebagai medium komunikasi, wujud pasemon sendiri juga tidak hanya terbatas pada tutur kalimat, tetapi juga seringkali bertransformasi menjadi ekspresi, gestur, hingga tindakan.

Karenanya, penggalangan dana demi pembelian kapal selam pengganti Nanggala 402 jika dimaknai dari sudut pandang budaya politik jawa bisa menjadi semacam sindiran pasemon praja bagi para penguasa, dalam hal ini pemangku kebijakan pertahanan.

Bukan Hanya untuk Prabowo?

Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 berbuntut kritik panjang terhadap pengelolaan anggaran alat utama sistem pertahanan (alutsista) di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang diampu Prabowo Subianto.

Koordinator Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis menilai, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista terlampau kecil.

Selain itu, Beni menekankan perlunya redefinisi Minimum Essential Force (MEF) untuk melihat prioritas yang lebih penting sehingga keluar suatu anggaran yang lebih masuk akal.

Bahkan kritik terbuka langsung pada Prabowo juga datang dari pernyataan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO). Dalam pernyataan organisasinya, HMI MPO menilai sang Menhan gagal mengelola anggaran pertahanan dan membangun alutsista modern dan perlu dievaluasi oleh publik.

Kritik kontekstual di atas agaknya menambah signifikansi mengapa pemerintah dalam hal ini Prabowo harus memperhatikan esensi atas penafsiran dari sudut pandang pasemon praja yang dijelaskan sebelumnya.

Mahendra Wijaya dalam Culture and Religion as The Media Political Commodification menyebut, sebagai sosok berlatar belakang Jawa, Prabowo kerap melakukan komodifikasi dan internalisasi budaya Jawa dalam berbagai kesempatan penampilan politik dan pemerintahannya.

Selain melalui busana, keris juga kerap dijadikan Prabowo sebagai simbol politik. Seperti ketika Prabowo memberikan senjata tradisional itu kepada Ketua Timses Pilpres 2019 lalu, mendiang Djoko Santoso, serta memberikan cindera mata kepada Menhan Inggris, Ben Wallace.

Baca Juga: Gemuk Anggaran, Sulit Peremajaan Alutsista?

Dalam Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa, Paul Stange menjelaskan bahwa hakikat mutlak pemimpin Jawa ideal ialah mengartikulasikan atau menjadi peng-emong ekspresi dan suara rakyat mereka. Oleh karena itu, sindiran halus rakyat tersebut memang sudah sepatutnya diperhatikan dan diterjemahkan menjadi perbaikan kebijakan pertahanan sesegera mungkin.

Akan tetapi, apakah tepat menyematkan interpretasi sindiran maupun kritik itu hanya kepada Prabowo seorang?

Agaknya tidak demikian. Ketika berbicara mengenai alokasi anggaran pertahanan yang memadai, pengamat pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie nyatanya tak hanya menyoroti pemerintah, namun juga terdapat peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di dalamnya.

Ya, wakil rakyat dalam hal ini memang memiliki andil besar dalam ketok palu anggaran pertahanan sebagai bagian dari belanja negara setiap tahunnya. Selain itu, dalam belanja pertahanan terdapat pula koordinasi yang tidak sederhana dengan pihak lain seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Lalu, apakah kiranya yang menjadi musabab hiruk pikuk seputar anggaran pertahanan ini?

Kekeliruan yang Kepalang Rumit?

Visi pertahanan sebuah negara selalu mempertimbangkan persepsi ancaman. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, anggapan ketiadaan ancaman potensial tampaknya kerap menjadi muasal kelengahan konsepsi kebijakan pertahanan.

Faktanya, untuk membentuk satuan tank, skuadron pesawat tempur, atau para awak kapal selam mumpuni, membutuhkan waktu dan tempaan yang seharusnya disokong alutsista yang memadai. Tentunya alutsista dengan kualitas terbaik dan wajib dilaksanakan secara berkesinambungan.

Selain itu, kerap terjadi pula logical fallacy, yakni false equivalence atau kekeliruan dalam membandingkan, ketika dihadapkan pada konteks mekanisme anggaran pertahanan dan pengadaan alutsista.

Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim dalam Pertahanan Indonesia: Angkatan perang negara kepulauan, menyoroti kekeliruan itu. Sulitnya mengalokasikan besaran dana untuk keperluan alutsista dan pemeliharaannya, memunculkan perbandingan-perbandingan yang tidak logis yang bahkan pada akhirnya kerap mempengaruhi secara tidak langsung porsi belanja pertahanan dan alutsista.

Seperti misalnya dengan melihat harga pesawat tempur atau kapal selam berbanderol ratusan juta dolar dibandingkan dengan harga pembangunan sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya.

Masih banyak sebenarnya kompleksitas isu dalam pertahanan Indonesia saat ini. Namun satu yang pasti, tragedi Nanggala 402 tampaknya telah memberikan hikmah luar biasa bagi urgensi perbaikan aspek pertahanan Indonesia yang wajib hukumnya untuk segera diperbaiki dan diselesaikan para pemangku kebijakan di negeri ini. (J61)

Baca Juga: Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version