Site icon PinterPolitik.com

Kejutan, KASAL Jokowi dari Marinir?

jokowi yudo

Presiden Joko Widodo saat melantik Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI pada 19 Desember lalu. (Foto: Sekretariat Kabinet RI)

Suksesor Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) masih menunggu keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sepanjang sejarahnya, posisi tertinggi di matra laut itu belum pernah dijabat oleh perwira tinggi dari Korps Marinir. Lalu, sejauh mana peluang Jenderal Marinir untuk memimpin TNI AL? 


PinterPolitik.com

Posisi Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) masih lowong pasca Laksamana Yudo Margono ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Panglima TNI. Sejumlah nama mencuat sebagai suksesor Laksamana Yudo dan nama perwira tinggi yang berasal dari Korps Marinir boleh jadi akan mengampu posisi itu untuk pertama kalinya. 

Tercatat, ada dua dari sembilan nama calon KASAL bintang tiga yang berasal dari kesatuan baret ungu TNI-AL. Mereka adalah Letnan Jenderal (Letjen) TNI (Mar) Suhartono (56 tahun) abiturien AAL 1988 yang saat ini menjabat sebagai Komandan Kodiklatal, dan Letjen TNI (Mar) Bambang Suswantono (57 tahun) abiturien AAL 1987 yang saat ini menjabat sebagai Irjen TNI. 

Sementara itu, tujuh calon KASAL yang berasal dari korps non-Marinir antara lain Laksamana Madya (Laksdya) TNI Ahmadi Heri Purwono (AAL 1988, 57 tahun, Wakasal), Laksdya TNI Heru Kusmanto (AAL 1988, 56 tahun, Pangkoarmada RI), Laksdya TNI Nurhidayat (AAL 1988, 56 tahun, Komanadan Pushidrosal), Laksdya TNI Muhammad Ali (AAL 1989, 55 tahun, Pangkogabwilhan I), Laksdya TNI Aan Kurnia (AAL 1987, 57 tahun, Kepala Bakamla RI), Laksdya TNI Harjo Susmoro (AAL 1987, 57 tahun, Sekjen Wantannas), dan Laksdya TNI Amarulla Octavian (AAL 1987, 57 tahun, Rektor Unhan). 

Angin segar sendiri sebenarnya bisa saja membuat perwira tinggi Korps Marinir menjabat pucuk pimpinan strategis mengingat tren fairness belakangan ini sedang mengemuka dalam “politik pertahanan”. 

Tak hanya penunjukan Laksamana Yudo yang seolah memenuhi prinsip fairness itu dalam rotasi jabatan elite angkatan bersenjata. Kepercayaan yang berlandaskan fairness juga tampak diberikan kepada Marsekal Pertama (Marsma) TNI Wahyu Hidayat Sudjatmiko sebagai Komandan Paspamres. 

Marsma Wahyu yang berasal dari Korps Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU memegang kehormatan istimewa karena menjadi orang pertama dari matra udara sebagai pimpinan satuan yang dahulu bernama Resimen Tjakrabirawa itu. 

Hak prerogatif Presiden Jokowi kini sedang dinantikan, apakah beliau akan menjadi RI-1 pertama yang menempatkan Jenderal Marinir di posisi tertinggi matra laut? 

Tren Jokowi? 

Bukan tanpa alasan perwira Marinir memiliki peluang lebih sebagai KASAL. Tak hanya karena tren fairness semata, Presiden Jokowi selama ini dikenal kerap menempatkan serdadu terbaik kepercayaannya di pos esensial. 

Mulai dari deretan purnawirawan di kementerian dan lembaga, hingga mantan kolega pimpinan kecabangan militer plus kepolisian di wilayah yang pernah dijabatnya saat ini hampir semuanya menempati pos strategis. 

Sebut saja nama Panglima TNI ke-20 Marsekal (Purn.) Hadi Tjahjanto, hingga kepercayaan menempatkan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri yang disebut merupakan “perwira Solo”. 

Belum lagi dengan penunjukan Jenderal Andika Perkasa sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) sebelum kemudian menjadi Panglima TNI yang kerap dinilai terdapat faktor “perwira Istana” sebagai penguatnya. 

Secara filosofis, pemberian posisi strategis kepada orang kepercayaan Presiden Jokowi tampaknya memiliki korelasi sebagaimana disiratkan Nicollo Machiavelli dalam publikasinya yang berjudul Il Principe

Di dalam karya yang dipublikasikan pada tahun 1532 itu dijelaskan keberadaan orang-orang kepercayaan di lingkar kekuasaan cukup penting agar seorang penguasa dapat melakukan kendali dan melaksanakan kebijakan dengan lebih mudah. 

Serupa dengan Jenderal Andika, dua perwira Korps Marinir dalam bursa calon KASAL, yakni Letjen Suhartono dan Letjen Bambang Suswantono merupakan mantan Komandan Paspampres di era kepemimpinan Jokowi. 

Merujuk pada tren, variabel, dan korelasi itu pula dapat dikatakan peluang terciptanya sejarah KSAL pertama dijabat dari perwira tinggi Korps Marinir tampak terbuka cukup lebar. 

Akan tetapi, analisis turut mengemuka dari anggota tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik yang juga pengamat militer Khairul Fahmi. Meskipun chemistry dianggap penting dan peluang KASAL dijabat oleh perwira tinggi Marinir terbuka, kebutuhan organisasi dinilai perlu menjadi pertimbangan utama. 

Menurutnya, pengisian jabatan KASAL terkait dengan kebutuhan pembinaan kekuatan, kesiapan operasional, pengembangan postur, doktrin, dan strategi, serta operasi matra laut. 

Selain itu, matra laut juga memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan, misalnya penunjukan KASAD yang pernah dijabat oleh perwira tinggi dari korps non-infanteri. 

Lalu, apa perbedaan itu? Dan apakah peluang perwira dari korps Marinir menjadi berkurang? 

Pertimbangan Urgensi? 

Perlu ditekankan bahwa analisis ini bukan untuk memantik persaingan di internal matra laut. Akan tetapi, lebih kepada melakukan interpretasi atas skenario-skenario keputusan dan hak prerogatif Presiden Jokowi sebagai sebuah kebijakan yang tak bisa dipungkiri memiliki tendensi politis. 

Kembali, penunjukan pimpinan angkatan laut memiliki perbedaan sebagaimana angkatan udara dalam posisi kepala staf. Seorang perwira Angkatan Udara (AU) Amerika Serikat (AS) Michael D. Mote menyiratkan hal itu dalam jurnalnya yang berjudul The Air-Sea Battle Concept: Implications for the National Defense Narrative

Mote menjelaskan konsep perang laut dan udara bertumpu pada kekuatan alutsista satuan pemukul, dalam hal ini kapal perang, kapal selam, pesawat tempur, pesawat pembom, dan sebagainya. 

Pengalaman dan pemahaman mengendalikan operasi menggunakan alutsista satuan pemukul itu kemudian menjadi portofolio yang dianggap mutlak dimiliki level pimpinan masing-masing matra dalam sebuah konsep lebih besar yang disebut pertahanan nasional. 

Analisis Mote selaras dengan yang dikemukakan Fahmi bahwa sebagaimana Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) yang lumrah diberikan kepada korps penerbang, posisi KASAL “secara tradisi” juga selalu diberikan kepada korps pelaut. 

Meskipun beberapa kali perwira dari Korps Marinir masuk bursa pencalonan KASAL, seperti Letjen TNI (Mar) RM Trusno dan Mayjen TNI (Mar) Bambang Suswantono pada tahun 2018 lalu, penunjukan secara konkret sampai saat ini masih belum pernah sekalipun terwujud. 

Secara teknis, Fahmi mengatakan, kendati perwira Marinir memiliki kemampuan menyelenggarakan operasi amfibi, pendaratan, dan pertahanan pantai, serta bahkan bisa menjadi komandan pangkalan utama, namun tidak kiranya untuk mengampu posisi panglima armada. 

Itu dikarenakan, komando armada sebagai satuan dengan alutsista pemukul harus mengendalikan dan mengintegrasikan empat bentuk operasi laut, yakni operasi permukaan, operasi bawah permukaan, operasi udara (penerbang TNI-AL), dan pendaratan. 

Komando armada sendiri merupakan jantung utama dari esensi keberadaan matra laut di angkatan bersenjata berbagai negara di dunia. 

Akan tetapi, di titik ini yang menjadi menarik adalah keputusan penunjukan KASAL suksesor Laksamana Yudo tidak mutlak karena akan kembali kepada sidang Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti), masukan dari KASAL sebelumnya, plus keputusan Presiden Jokowi.  

Poin terakhir yang kiranya akan sangat menentukan. Sebab, terdapat faktor X yang bisa saja tak terduga serta berlandaskan apa yang disiratkan Machiavelli sebagaimana dijelaskan di atas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Exit mobile version