Site icon PinterPolitik.com

Kejeniusan Jokowi Sedang Diuji?

Kejeniusan Jokowi Sedang Diuji?

Presiden Joko Widodo (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Di tengah kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, seperti minyak goreng dan BBM, wacana perpanjangan jabatan presiden nyatanya tetap menguat. Apakah wacana perpanjangan merupakan strategi jenius Jokowi untuk meredam perlawanan politik?


PinterPolitik.com

“I love a bit of political drama,” – David Tennant, aktor Skotlandia

Dalam teori kontrak sosial, entah itu dari sisi Thomas Hobbes maupun sisi John Locke, akar teorinya sama, yakni negara harus menjamin kehidupan dan keamanan warga negaranya. Itulah raison d’être hadirnya negara. Atas postulat ini, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar kerap menjadi pemicu gejolak sosial, hingga pergantian kursi kekuasaan.

Revolusi Prancis pada 1789-1799 dipicu oleh ketidaksetaraan sosial-ekonomi-politik yang meluas. Revolusi Roti pada akhir abad ke-20 dan pada 2011 dipicu lonjakan harga roti yang merupakan makanan pokok di Timur Tengah. Kemudian di Indonesia, turunnya Soeharto pada 1998 merupakan ekses dari perasaan tidak adil yang meluas dan memburuknya situasi ekonomi.

Melihat polanya, berbagai gerakan sosial-politik besar dalam sejarah merupakan buntut dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Menurut psikolog Abraham Maslow, kebutuhan dasar atau basic needs melingkupi kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan) dan rasa aman.

Diagram hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) dari Abraham Maslow (Sumber: Simply Psychology)

Atas postulat sejarah ini, berbagai ilmuwan politik, mulai dari Niccolò Machiavelli (1469-1527) hingga Francis Fukuyama (1952-sekarang), selalu menekankan pentingnya seorang penguasa menjaga kebutuhan dasar masyarakatnya. Tidak hanya untuk menghindari kudeta, melainkan juga untuk memperkuat soliditas dan legitimasi kekuasaan.

Melihat situasi Indonesia saat ini, alarm kuning dapat dikatakan telah menyala. Berbagai kebutuhan dasar telah naik, seperti minyak goreng dan BBM jenis Pertamax. Tidak berhenti di sana, kenaikan BBM jenis Pertalite dan gas LPG 3 kg juga disinyalir akan menyusul naik. 

Situasi ini bahkan membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan teguran terbuka kepada para menterinya. 

“Jangan sampai kita ini seperti biasanya dan tidak dianggap oleh masyarakat melakukan apa-apa. Tidak ada statement, tidak ada komunikasi harga minyak goreng sudah empat bulan, tidak ada penjelasan apa-apa, kenapa ini terjadi,” ungkap RI-1 dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 5 April.

Pertanyaannya tentu satu. Mampukah Presiden Jokowi menghindari eskalasi akibat kenaikan berbagai kebutuhan pokok tersebut? Dengan masa jabatan sekitar dua tahun lagi, apakah mantan Wali Kota Solo ini mampu turun takhta secara mulus dan meletakkan warisan politiknya? 

Kapal Mulai Digoyang?

Dalam artikel PinterPolitik pada 7 Juli 2021 yang berjudul Jokowi Mulai Ditinggalkan?, fenomena saat ini sebenarnya sudah diprediksi. Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS), sejak Reformasi 1998, presiden Indonesia dihantui oleh second-term curse atau kutukan periode kedua. 

Di periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gejolak sosial-ekonomi-politik silih berganti terjadi. Mulai dari kasus korupsi yang menyeret berbagai politisi Partai Demokrat, kenaikan berbagai kebutuhan pokok seperti beras dan BBM, hingga penurunan drastis citra SBY.  

Dari informasi yang penulis himpun, SBY menjadi lame duck president (presiden bebek lumpuh/tidak berpengaruh) pada tahun keempat di periode keduanya. Berbagai pihak yang awalnya mendekati dan menjadi benteng SBY perlahan menjauh dan pergi. Ini yang menyebabkan berbagai gejolak menghantam pemerintahan sang jenderal.

Dengan demikian, second-term curse bukanlah kutukan dalam artian magis seperti di film-film, melainkan sebuah fenomena politik, di mana seorang presiden telah kehilangan daya tawarnya. Ini adalah konsekuensi tidak terhindarkan dari politik transaksional yang terjadi di Indonesia.

Jika melakukan komparasi, apa yang terjadi saat ini mungkin adalah tanda-tanda kapal politik Presiden Jokowi mulai digoyang. Berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok adalah tanda nyata dari mulai munculnya kutukan periode kedua.

Namun, ada yang membedakan Presiden Jokowi dengan SBY. Kesimpulan ini penulis tarik dari tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul The Genius of Jokowi. Menurut Mahbubani, Presiden Jokowi memiliki keterampilan memimpin yang hebat, hingga dapat dikatakan jenius.

Salah satu bukti yang dipaparkan adalah keberhasilan Presiden Jokowi menyatukan Indonesia secara politik, setelah mengalami pembelahan politik ekstrem di Pilpres 2019. Menurut Mahbubani, Presiden AS Joe Biden bahkan belum bisa melakukannya karena mayoritas Republikan belum mengakui legitimasi kepemimpinan Biden.

Lantas, mengacu pada Mahbubani, apakah kejeniusan kepemimpinan Jokowi membuatnya terhindar dari kutukan periode kedua? 

Nahkoda yang Jenius?

Sebelum menjawabnya, kita perlu sedikit menengok penelitian menarik di Nanyang Technological University, Singapura, yang tengah mengembangkan noise-cancelling windows (jendela anti-kebisingan). Seperti namanya, penelitian ini mencoba menjawab masalah polusi suara yang menjadi momok di perkotaan besar.

Cara kerjanya sangat menarik. Setelah mempelajari cara kerja suara, ternyata diketahui, suara dapat dinetralisir dengan menciptakan anti-suara. Jendela yang dikembangkan akan menciptakan suara tandingan agar polusi suara dapat dinetralisir atau setidaknya direduksi. Cara kerja ini yang membuatnya bernama noise-cancelling atau pembatal kebisingan.

Yang menarik, cara kerja ini juga terlihat dalam aktivitas politik yang disebut dengan manajemen isu. Elizabeth Dougall dalam tulisannya Issues Management, menjelaskan manajemen isu sebagai proses strategis dan antisipatif untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik.

Karena perubahan tren dan isu dapat mengkristal menjadi masalah yang memberikan dampak destruktif, perlu diberikan respons yang tepat untuk mencegah kristalisasi masalah. Salah satu caranya adalah dengan melemparkan isu lain agar isu yang tengah dipergunjingkan tidak mengkristal. Secara sederhana, kita kerap menyebutnya sebagai pengalihan isu.

Nah, dalam interpretasi penulis, ada kemungkinan wacana perpanjangan jabatan dan/atau presiden tiga periode yang keluar secara berkala, merupakan bentuk manajemen isu. Setidaknya ada tiga variabel utama mengapa penulis berkesimpulan demikian.

Pertama, penulis menarik pijakan teoretis dari sintesis konsep dramaturgy Erving Goffman dan buku Clifford Geertz yang berjudul Negara Teater. Seperti teater yang menampilkan panggung depan dan panggung belakang, politik Indonesia juga memainkan pembagian peran seperti itu. 

Panggung belakang adalah realitas politik, sementara panggung depan adalah realitas yang telah disortir atau yang telah dipilah untuk ditampilkan kepada audiens, yakni kita semua.

Kedua, mengacu pada isu perpanjangan jabatan atau tiga periode yang benar-benar tidak populis, sulit membayangkan wacana ini akan tereksekusi. Apalagi, partai politik besar seperti PDIP dan NasDem dengan terbuka memberikan penolakan.

Ketiga, yang mengeluarkan wacana ini justru adalah para menteri kabinet Presiden Jokowi. Ada nama Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. 

Sekarang, kita akan menggabungkan ketiga variabel tersebut. Mengacu pada variabel kedua bahwa secara hitung-hitungan politik wacana ini sulit terlaksana, tentu ganjil melihat mengapa sosok besar seperti Bahlil, Airlangga, dan Luhut mengeluarkan secara berkala wacana ini.

Oleh karenanya, seperti postulat Goffman dan Geertz, jangan-jangan ini adalah pertunjukan teater. Wacana perpanjangan atau tiga periode merupakan panggung depan yang sengaja ditampilkan untuk menghibur audiens.

Nah, jika dikaitkan dengan kutukan periode kedua, panggung depan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu krusial seperti kenaikan harga kebutuhan pokok. Dan jika melihat faktanya, publik memang lebih disibukkan membahas perpanjangan atau tiga periode daripada masalah sosial-ekonomi yang terjadi.

Atas temuan ini, penulis menduga, bukan tidak mungkin wacana perpanjangan atau tiga periode adalah noise-cancelling atau manajemen isu. Agar isu kenaikan harga kebutuhan pokok tidak mengkristal menjadi masalah, maka perlu diberikan isu tandingan untuk mendistraksi fokus masyarakat.

Jika benar demikian bahwa Presiden Jokowi tengah memainkan teater politik, maka ini mengafirmasi tulisan Mahbubani yang menyebut RI-1 adalah pemimpin jenius. Mantan Wali Kota Solo ini tengah berusaha menghindari kutukan periode kedua. Ia ingin mengakhiri jabatannya secara mulus (soft landing) dan meletakkan warisan politik yang baik.

Well, sebagai penutup, perlu untuk digarisbawahi bahwa tulisan ini hanyalah interpretasi semata. Tulisan ini tidak mengklaim kebenaran (truth), melainkan sekadar memberi kemungkinan teoretis atas keruwetan fenomena politik yang tengah terjadi.

Seperti yang disebutkan filsuf Jerman, Ernst Cassirer, kita adalah Animal Symbolicum yang senantiasa menginterpretasi tanda dan simbol-simbol yang tertangkap. Mengutip sejarawan Yuval Noah Harari, kemampuan menginterpretasi, berfantasi, dan membuat fiksi, adalah pembeda utama manusia dari spesies lainnya.

Entah apa pun yang terjadi di luar sana, hanya Presiden Jokowi dan pihak-pihak terkait yang mengetahuinya. Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa menikmati panggung politik yang sudah, tengah, dan akan terjadi. (R53)

Exit mobile version