Dengarkan artikel ini:
PDIP tampaknya sedang kebingungan dalam memilih calon kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, khususnya di Jakarta. Mungkinkah ini pertanda kejatuhan PDIP sudah semakin di depan mata?
“The enemy without may be fought with swords. The enemy within is more insidious” – Larys Strong, House of the Dragon (2022-sekarang)
Tidak ada yang bisa menandingi keluarga bangsawan Targaryen dalam segala aspek kekuatan. Bagaimana tidak? Merekalah satu-satunya keluarga yang dialiri oleh ‘darah api’ yang bisa mengontrol para naga.
Semua keluarga bangsawan lainnya tidak punya pilihan lain selain tunduk kepada Targaryen, baik itu keluarga Stark yang menguasai wilayah utara Westeros maupun keluarga Lannister yang memiliki kekayaan yang melimpah.
Selama dua abad lebih, para Targaryen akhirnya dinobatkan sebagai keluarga yang ditakdirkan untuk menjadi raja dan ratu bagi Westeros. Dengan naga-naganya, mereka bisa menyatukan Westeros yang begitu luas,
Setidaknya, alur itulah yang disajikan dalam Game of Thrones (2011-2019) dan House of the Dragon (2022-sekarang). Serial-serial televisi yang mengacu pada buku-buku karya George R.R. Martin, seperti A Song of Ice and Fire (1996), ini menceritakan bagaimana dinamika perpolitikan Westeros berjalan.
Alur ini bisa dibilang mirip dengan dinamika politik Indonesia. Bila Targaryen bisa berkuasa selama dua abad, PDIP kini telah menjadi partai penguasa selama dua periode pemerintahan, yakni pada 2014-2019 dan 2019-2024.
Namun, layaknya Targaryen yang dominasinya harus berakhir, PDIP-pun tampaknya mulai mengarah ke arah yang sama. Bila kekuasaan Targaryen dijatuhkan oleh perebutan takhta oleh keluarga-keluarga bangsawan lannya, PDIP tampak mulai kehilangan taring menjelang akhir masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin pada tahun 2024 ini.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, mulai terjegal kasus yang berkaitan dengan kasus suap Harun Masiku. Tidak hanya Hasto, sejumlah menteri yang disebut condong ke PDIP juga dikabarkan terancam reshuffle, seperti Arifin Tasrif yang menjabat sebagai menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Lantas, mungkinkah ini menjadi awal dari kejatuhan house of the bulls, seperti Targaryen yang disebut sebagai house of the dragons? Mengapa ini bisa menjadi akhir bagi dominasi PDIP bila situasi politik ke depan tidak berubah banyak?
‘Banteng-banteng’ PDIP Jadi Sekadar ‘Kambing’?
Bila membayangkan seekor naga, pasti terbayang monster reptil raksasa yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Ini jelas mengapa Targaryen bisa menaklukkan Westeros dengan muda ketika keluarga-keluarga bangsawan lainnya hanya bisa menunggangi kuda, bukan naga.
Namun, semua berubah setelah naga-naga raksasa Targaryen tidak segarang sebelumnya. Bahkan, dikisahkan bahwa naga-naga itu hanya seukuran kucing sebelum akhirnya punah setelah kekuasaan Raja Aegon II.
Semenjak itulah, Targaryen akhirnya makin kehilangan taringnya. Pemberontakan terjadi di berbagai penjuru Westeros, hingga akhirnya mereka dilengserkan dari Takhta Baja yang telah mereka duduki selama berabad-abad oleh koalisi keluarga Baratheon, keluarga Stark, keluarga Lannister, dan seterusnya.
Bila dianalogikan pada dinamika politik Indonesia, PDIP bisa dibilang bisa mendominasi karena memiliki kader-kader yang populer. Mudahnya, bila Targaryen memiliki naga, mereka memiliki para kadernya sebagai ‘banteng’ andalan partai.
Mengacu pada buku Sidney Tarrow yang berjudul Power in Movement, terdapat instrumen-instrumen politik yang bisa digunakan untuk emmobilisasi gerakan atau dukungan. Para ‘banteng’ inilah yang akhirnya dulunya berhasil mengantarkan PDIP pada dominasi politiknya.
Bila ditarik hingga satu dekade ke belakang, PDIP memiliki ‘banteng-banteng’ yang menjanjikan. Jokowi yang dulu menjabat sebagai wali kota Solo, misalnya, menjadi populer dan berhasil menaikkan dominasi PDIP, baik di Jawa Tengah (Jateng), di Jakarta, maupun di tingkat nasional.
Bukan hanya Jokowi, PDIP juga memiliki sejumlah ‘banteng’ di berbagai daerah lainnya. Di Jakarta, misalnya, PDIP memiliki kader Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok yang dulu sempat populer.
Di Surabaya, sebelumnya terdapat Tri Rismaharini (Risma) yang sempat menjabat sebagai wali kota Surabaya. Selain Risma, PDIP juga ada Abdullah Azwar Anas yang dulu sempat menjabat sebagai bupati Banyuwangi.
Namun, kini, banyak dari para ‘banteng’ ini mulai kehilangan momentum politik mereka. Banyak dari mereka bahkan tidak memiliki popularitas atau elektabilitas seperti dahulu.
Ahok, misalnya, dinilai memiliki elektabilitas yang lebih rendah dibandingkan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024. Kemudian, Risma juga dinilai masih belum bisa menyaingi elektabilitas Khofifah Indar Parawansa di Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2024.
Lantas, mengapa para ‘banteng’ ini tidak bisa kembali atau mempertahankan dominasi PDIP setelah tahun politik 2024? Mengapa ini bisa jadi akhir kejayaan partai berlambang kepala banteng moncong putih ini?
PDIP dan Dance of the Bantengs
Targaryen tidak begitu saja kehilangan naga-naganya, melainkan melalui sebuah konflik yang akhirnya melemahkan mereka sendiri. Semua bermula dari perang saudara di antara para Targaryen sendiri, yakni antara Aegon II dan Rhaenyra, sebuah masa yang disebut sebagai Dance of the Dragons.
Keduanya sama-sama mengklaim sebagai pewaris sah Takhta Baja sepeninggal Raja Viserys I. Para Targaryen-pun saling berperang dengan menggunakan naga mereka masing-masing, hingga akhirnya naga-naga besar terakhir mati dalam perang.
Uniknya, kisah kejatuhan dinasti atau kerajaan kerap kali dimulai dengan perang saudara. Di Nusantara sendiri, misalnya, terjadi perang saudara yang disebut sebagai Perang Paregreg di akhir era Kerajaan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk di antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana.
Bukan tidak mungkin, kejatuhan yang sama juga bisa terjadi pada “kerajaan” PDIP. Pasalnya, ‘perang saudara’ bisa dibilang tengah terjadi sejak kontestasi Pilpres 2024 lalu.
Presiden Jokowi, misalnya, memilih untuk mendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bukan diusung oleh PDIP. Ini juga memunculkan sejumlah reaksi dari internal PDIP sendiri, termasuk dari sang ketua umum (ketum), Megawati Soekarnoputri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh luas di PDIP. Bahkan, sejumlah kader PDIP mengikuti jejak Jokowi dan memutuskan untuk keluar dari partai, misal Budiman Sudjatmiko.
Bukan tidak mungkin, ini akhirnya membuat PDIP melemah dan kehilangan fokus. Bahkan, ini bisa juga melemahkan otoritas Megawati sebagai pusat kekuatan utama di PDIP.
Mengacu ke buku Giovanni Sartori yang berjudul Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, partai sebenarnya bisa berjalan selama faksi-faksi di dalamnya tidak mengancam pusat kekuatan. Apalagi, sejak lahir, sejumlah faksi-pun telah eksis di PDIP, entah itu faksi yang mendukung trah Soekarno maupun faksi ‘Parkindo’ yang cenderung mendukung kader-kader non-trah.
Namun, naiknya Jokowi sebagai presiden justru melahirkan pusat kekuatan baru dalam internal PDIP sendiri. Alhasil, pusat kekuatan lama malah mendapatkan penantang baru, melemahkan mesin partai itu sendiri.
Mungkin, inilah konsekuensi yang dihadapi di tengah Dance of the Bantengs. Akankah ini menjadi tanda kejatuhan PDIP dan punahnya para ‘banteng’ yang garang? Menarik untuk ditunggu kelanjutan kisah ‘House of the Bulls’ ini. (A43)