Tim Gabungan Pemeriksa Perlintasan Keimigrasian untuk Harun Masuki mengungkapkan fakta bahwa data sebanyak 120.661 perlintasan orang ternyata juga tidak masuk ke Ditjen Imigrasi Kemhumkan. Tidak hanya membuat data kedatangan Harun Masiku terlambat diketahui, hal ini juga menimbulkan berbagai kekhawatiran terkait bagaimana jika terdapat pelaku kriminal, seperti teroris telah masuk di Indonesia tanpa diketahui. Atas itu pula, seruan untuk memecat Menkumham, Yasonna Laoly kembali menggema.
PinterPolitik.com
Harun Masiku nampaknya tengah bersantai saat ini sembari membaca koran dan menyeruput cokelat panas. Bagaimana tidak, atas berbagai isu politik yang terus berseliweran semenjak kasusnya bergulir, pemberitaan tentang tersangka kunci atas kasus suap yang melibatkan partai paling berkuasa saat ini, PDIP dengan KPU tersebut hilang bak ditelan bumi.
Namun, di tengah menurunnya atensi publik terkait kasusnya, syukurnya masih terdapat pihak yang konsisten mengulik sosok misterius tersebut. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) misalnya, menggelar sayembara berhadiah 2 unit iPhone 11 untuk masyarakat yang membagikan informasi mengenai keberadaan Harun Masiku.
Perhatian MAKI tersebut memang sangat berasalan. Pasalnya, begitu aneh bagi publik bahwa Harun Masiku yang telah diketahui berada di dalam negeri justru sampai sekarang belum ditemukan. Tidak hanya itu, kasus yang menderanya juga memiliki implikasi politik yang tinggi karena disebut dapat menyeret petinggi PDIP, seperti Hasto Kristiyanto.
Getirnya, imbas dari kasus Harun Masiku nampaknya tidak hanya menjadi persoalan politik dan penegakan hukum semata, melainkan juga melibatkan persoalan serius lainnya, terutama terkait keamanan negara.
Bagaimana tidak, dalam temuan Tim Gabungan Pemeriksa Perlintasan Keimigrasian untuk Harun Masuki, diungkapkan bahwa sejak tanggal 23 Desember 2019 sampai dengan 10 Januari 2020, terdapat 120.661 data perlintasan orang dari Terminal 2F Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang tidak terkirim ke server lokal dan server Pusdakim Ditjen Imigrasi, termasuk di dalamnya data perlintasan Harun Masiku.
Hal tersebut disebut terjadi karena adanya kesalahan konfigurasi ketika melakukan upgrade aplikasi pada 23 Desember 2019 lalu.
Di luar persoalan teknis semacam itu, tidak masuknya data 120 ribu perlintasan orang tersebut tentu saja sangat berbahaya bagi keamanan negara, menimbang pada adanya potensi kriminal bisa saja masuk ke Indonesia.
Atas itu pula, seruan agar Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly selaku pihak yang menaungi Ditjen Imigrasi untuk mundur dari jabatannya kembali mengemuka.
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar misalnya, ia bahkan menyerukan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memecat Yasonna karena dinilai sudah tidak lagi konsentrasi dalam menjalankan tugasnya, serta kerap mencampuradukkan kepentingan partai dengan kepentingan negara dan kepentingan umum.
Tentu pertanyaannya, akankah Presiden Jokowi akan memecat atau memberhentikan Yasonna?
Potensi Masalah Besar?
David BaMaung dalam tulisannya Airport Security Threats: Combating the Enemy Within, menyebutkan bahwa sejak terjadinya serangan teroris 11 September (9/11) di Amerika Serikat (AS) pada 2001 lalu, telah membuat perombakan besar dalam hal keamanaan di bandara.
Alasannya sederhana, karena peristiwa tersebut menunjukkan bahwa bandara adalah gerbang pertama bagi ancaman pertahanan, seperti terorisme.
Senada, Barbara Peterson dalam tulisannya How Airport Security Has Changed Since 9/11, bahkan menyebutkan bahwa peristiwa tersebut telah membuat AS sampai mengalokasikan dana sekitar US$ 100 miliar atau Rp 1.381 triliun untuk keamaan bandara.
Menurut Peterson, tujuan utama dari perombakan keamanan tersebut adalah untuk mendeteksi para pendatang yang mungkin membutuhkan pengawasan lebih lanjut.
Konteks yang disebutkan Peterson tersebut tentu sangat penting. Atas itu pula, tentu sangat wajar apabila timbul kekhawatiran bahwa dari 120 ribu perlintasan orang tersebut, terdapat pihak yang patut mendapatkan pengawasan lebih lanjut.
Hal serupa juga pernah disorot oleh Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 28 Januari 2020 lalu. Ia menyebutkan kasus Harun Masiku menunjukkan adanya sistem keimigrasian yang jebol. Hal tersebut adalah masalah serius karena adanya potensi kelompok teroris seperti ISIS dapat masuk ke Indonesia kala itu.
Mengacu pada raison d’etre atau alasan keberadaan suatu negara, yakni sebagai “jaminan” rasa aman atau pelindung bagi warga negara, tentu saja akan timbul riak-riak di tengah masyarakat apabila negara dipandang tidak mampu untuk memenuhi hal tersebut.
Yasonna Masih Bertahan?
Menimbang pada besarnya potensi bahaya yang mungkin terjadi akibat tidak terdeteksinya 120 ribu perlintasan orang tersebut, tidak heran mengapa banyak pihak langsung meruncingkan masalah tersebut kepada Menkumham Yasonna Laoly.
Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah Presiden Jokowi akan memecat Yasonna sebagai menteri?
Jawaban pesimis atas hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, yang menyebutkan Presiden Jokowi tidak mungkin untuk memecat Yasonna.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena Yasonna adalah sosok rekomendasi PDIP. Di samping itu, Yasonna memiliki jasa kepada Presiden Jokowi karena berperan dalam memecah Partai Golkar menjadi kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksonono – yang berujung pada berlabuhnya partai itu ke koalisinya. Bahkan, menurutnya, berhasilnya revisi UU KPK juga berkat Yasonna.
Getirnya, hal tersebut seperti benar. Pasalnya, kendati Yasonna disorot karena menimbulkan berbagai gejolak politik bahkan dinilai berkinerja buruk sejak menjadi menteri di periode pertama Presiden Jokowi, alumnus North Carolina University tersebut nyatanya tidak kunjung dipecat.
Padahal, Presiden Jokowi dikenal kerap melakukan pergantian menteri apabila dinilai memiliki kinerja yang tidak memuaskan.
Simpulan tersebut juga diperkuat oleh komentar bertendensi lumrah Presiden Jokowi dalam menyikapi Yasonna yang tergabung ke dalam Tim Hukum PDIP. Tandasnya singkat: “Pak Yasonna juga pengurus partai”.
Kornelius Purba dalam tulisannya How History will Eventually Write Megawati, memberikan pernyataan yang mengafirmasi penekanan Ujang Komarudin bahwa Jokowi mungkin adalah presiden yang sah secara hukum (de jure), namun secara de facto atau kenyataannya, Megawati-lah yang menjadi pemimpinnya.
Artinya, faktor Yasonna adalah rekomendasi dari PDIP tentu menjadi penentu utama mengapa ia tetap dipertahankan.
Terlebih lagi, Yasonna dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Hal tersebut misalnya terlihat ketika Megawati justru menyodorkan nama Yasonna sebagai calon menteri pada 2014 lalu kendati berbagai pihak menyorot buruk kinerjanya selama menjadi anggota DPR.
Tidak hanya itu, Yasonna juga dinilai sebagai salah satu sosok yang disebut berperan dalam mengatur pra-peradilan Budi Gunawan (BG) ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ketika dicalonkan sebagai Kapolri pada 2015 lalu.
Dugaan tersebut bertolak dari viralnya surat kaleng yang menyebutkan Yasonna adalah salah satu pihak yang telah mengatur praperadilan BG.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Budi Gunawan memiliki kedekatan khusus dengan Megawati semenjak Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut menjadi ajudan putri Soekarno tersebut sewaktu menjadi presiden.
Pada akhirnya, pertanyaan mengenai apakah Presiden Jokowi akan memecat Yasonna sepertinya bergantung atas keberanian mantan Wali Kota Solo tersebut untuk mendepak orang kepercayaan Megawati dari Istana. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.