HomeNalar PolitikKehebatan Snowden Ilhami Veronica Koman?

Kehebatan Snowden Ilhami Veronica Koman?

Semakin terkuaknya sisi minor kebijakan pemerintah – baik soal Papua, maupun yang terbaru mengenai polemik LPDP – membuat tindak tanduk aktivis HAM, Veronica Koman tampaknya dapat disandingkan dengan manuver eks pegawai badan intelijen Amerika Serikat (AS) CIA, Edward Snowden saat “menyadarkan” publik negeri Paman Sam terhadap pemerintahnya. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Dua atau tiga tahun lalu sosok aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua Veronica Koman mungkin bukanlah siapa-siapa. Ya, pada periode tersebut Vero sedang menunaikan tanggung jawab studi Magister bidang Hukum di Australian National University atas beasiswa yang dberikan pemerintah Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Namun demikian, ilmu yang Vero dapatkan dari studi tersebut jualah yang membuat hubungannya dengan LPDP justru berubah menjadi polemik, ketika belakangan ini pihak LPDP meminta Vero mengembalikan secara penuh biaya yang telah ditanggung negara atas studinya.

Sebagaimana publik ketahui, aktivitas advokasi Vero terhadap isu Papua ditengarai menjadi biang keladi intrik antara negara dengan salah satu warganya itu. Vero dianggap tidak menunaikan kesepakatan kontrak beasiswa untuk kembali dan berkontribusi bagi Indonesia sebagai bagian dari komitmen beasiswa yang telah diberikan.

Polemik seketika muncul. LPDP kemudian mulai dikritisi publik secara terbuka terkait frasa kontribusi maupun pengabdian bagi negara dalam program tersebut terkesan abstrak, ketika sebagian kalangan menganggap kontribusi Vero dengan advokasinya terhadap berbagai isu HAM di Papua selama ini tidak diakui negara.

Selain itu, polemik tersebut pada saat yang sama dinilai turut membuat substansi yang dibawa oleh Vero, yaitu tendensi pengabaian HAM negara terhadap Papua semakin menemukan relevansinya.

Namun pertanyaan terkait narasi pembuka analisa ini agaknya menjadi menarik, yakni mengapa Vero menjadi sosok yang memiliki level signifikansi isu high politics yang sedemikian besarnya, ketika dua atau tiga tahun lalu ia bukanlah siapa-siapa?

Snowden Menginspirasi Vero?

Meski di awal kemunculannya Veronica Koman jamak ditafsirkan dengan kesan kontroversial, namun seiring berjalannya waktu, dinamika isu mengenai Papua yang dibawa Vero dinilai semakin menemukan relevansinya dengan rasionalisasi publik.

Ekspresinya tak hanya sempat didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan kini sosoknya justru mendapatkan simpati dari sejumlah kalangan di tanah air, dan dukungan kepadanya atas polemik LPDP menjadi pengejawantahan teranyar.

Tak berlebihan kiranya jika ketenaran dan pengaruh Vero saat ini mengingatkan kita pada sosok eks pegawai badan intelijen Amerika Serikat (AS) Central Intelligence Agency (CIA) Edward Snowden.

Snowden muncul sebagai seorang whistleblower – pelapor pelanggaran – yang menggemparkan dunia karena menguak rahasia bahwa pemerintah AS terus memata-matai setiap orang, baik dalam maupun di luar negeri, dengan berbagai cara. Seiring dengan AS yang terus memburu keberadaannya, berbagai pengungkapan “kelicikan” pemerintah AS lainnya dari Snowden semakin menciptakan tendensi minor yang turut diyakini publik, bahkan negara lain, atas pelanggaran privasi masif yang dilakukan pemerintah negeri Paman Sam.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Dalam sebuah tulisan di The Intercept, jurnalis investigatif terkemuka AS, Jeremy Schahill menilai bahwa manuver whistleblowing Edward Snowden turut berperan menciptakan progresivitas bagi kultur kolektif kritis publik AS yang lebih tajam akan pentingnya akuntabilitas pemerintah serta isu lainnya secara umum.

Serupa tapi tak sama dengan Snowden, Veronica Koman juga dinilai turut berhasil mengambil peran dalam membangun kultur kolektif kritis publik tanah air, khususnya pada isu Papua. Momentum isu rasisme Papua di Surabaya dan Malang pada medio 2019 silam menjadi panggung sempurna yang sukses diartikulasikan Vero dalam mengangkat manuver advokasinya selama ini, yang turut melambungkan pula reputasi dirinya secara personal.

Walaupun pada awalnya mendapat sentimen minor atas adanya preseden provokatif dan separatisme, Vero kini justru mendapatkan sorotan bernada positif dari sejumlah kalangan di republik yang tersadarkan akan nihilnya peran efektif negara bagi kesejahteraan dan keadilan di bumi cendrawasih.

Selain itu, similaritas Snowden dan Vero ialah keduanya sama-sama sedang dalam pengasingan di negara lain saat ini karena “diburu” oleh penegak hukum tanah kelahirannya akibat aktivisme yang dilakukan.

Lebih lanjut, konstruksi kultur kolektif kritis publik atas substansi persoalan Papua dan ketidakadilan yang tak terselesaikan itulah yang menjadikan manuver yang Vero lakukan semakin memiliki signifikansi tersendiri, baik bagi publik maupun pemerintah.

Lantas, mengapa pemerintah Indonesia justru merespon Vero dengan tendensi konfliktual – dalam hal ini jeratan hukum – dibandingkan dengan upaya konsolidatif untuk mencari jalan keluar terbaik atas narasi yang telah mengemuka?

Keamanan Nasional vs Keadilan Nasional

Pada kasus Snowden dan Vero, pemerintah kedua negara tampaknya sama-sama menjadikan keamanan dan stabilitas nasional sebagai justifikasi dalam melawan narasi hakikat hak asasi yang substansial.

Richard Aldrich dan Christopher Moran dalam ‘Delayed Disclosure’: National Security, Whistle-Blowers and the Nature of Secrecy mengutip moral panic theory dari Stanley Cohen untuk menggambarkan bagaimana pemerintah AS terkesan tidak substansial dalam merespon pengungkapan Snowden.

Moral panic theory sendiri merupakan sebuah penciptaan narasi yang mendorong kekhawatiran dampak negatif atas sebuah konteks tertentu, namun tidak secara substansial menjawab dampak tersebut secara keseluruhan.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Robert Amsterdam dalam Edward Snowden and the Strategy of Tension mengatakan bahwa moral panic tersebut digunakan oleh pemerintah AS untuk menjawab pengungkapan Snowden dengan mengedepankan narasi bahwa surveillance atau pengawasan negara digunakan sebagai metode demi mengantisipasi ancaman keamanan nasional yang tak terbayangkan.

Singkatnya, pemerintah AS hanya mengedepankan pentingnya keamanan nasional tanpa menjawab konteks bagaimana hak perlindungan aspek privat warga AS dijamin oleh negara.

Adanya tendensi moral panic yang sama dinilai juga terjadi pula pada pemerintah Indonesia ketika merespon manuver Vero atas isu Papua hanya sebatas mengantisipasi ancaman terhadap keamanan serta kedaulatan nasional dari potensi separatisme.

Substansi mengenai eksistensi kekerasan, pemenuhan kesejahteraan, hingga supremasi hak asasi yang setara dengan masyarakat Indonesia lainnya seolah luput dari diskursus secara keseluruhan.

Bahkan belakangan, isu LPDP yang menjegal Veronica Koman dinilai menasbihkan kesan moral panic pemerintah seperti yang disebutkan Aldrich dan Moran, serta Amsterdam sebelumnya.

Meskipun terdapat garis batas yang dapat dipisahkan dari narasi-narasi yang kontraproduktif seperti separatisme, isu Papua tampaknya masih belum direspon dengan kesungguhan yang hakiki oleh pemerintah sampai sejauh ini.

Oleh karenanya, sosok seperti Vero masih terus berekspresi khususnya dalam mengadvokasi hak-hak masyarakat di Papua. Dan pada saat yang sama, resonansi dukungan publik terhadap esensi aktivisme Vero pun tampaknya akan terus meningkat jika tidak ada langkah luar biasa dari pemerintah atas Papua.

Peningkatan persepsi minor tersebut semestinya wajib ditanggapi dengan kebijakan konkret yang tepat. Pasalnya, problematika terkait Papua telah berlarut-larut terjadi dan menimbulkan dampak multi aspek serius yang meski tak terlihat, klimaksnya akan sangat destruktif bagi kondisi kehidupan di tanah mutiara hitam.

Masih jamaknya berbagai kasus kekerasan, baik yang membawa motif separatisme maupun tidak, menjadi gambaran bahwa jalan keluar persoalan pelik hak asasi serta kesejahteraan di Papua masih jauh panggang dari api.

Pada konteks Veronica Koman, pendekatan berbeda agaknya harus “dimainkan” oleh pemerintah karena seperti halnya Snowden, konstruksi kultur kolektif kritis yang diciptakan alumni Australian National University itu yang tampaknya semakin mendapatkan rekognisi positif dari publik.

Bukan untuk mendapatkan hasil akhir siapa yang menang dalam diskursus ini, tetapi semata-mata demi substansi persoalan Papua yang diharapkan dapat menemukan jalan keluar terbaik bagi akses keadilan akan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Itulah harapan kita bersama. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).