Site icon PinterPolitik.com

Kecemerlangan Karier Politik via “Jalur Ajudan”? 

bg megawati

Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri bersama ajudannya saat itu Kombes Pol. Budi Gunawan sebelum memulai rapat kabinet di Jakarta pada hari Kamis, 28 Febuari 2002. (Foto: Tempo/ Bernard Chaniago)

Eksistensi ajudan Presiden Soekarno dan merupakan politisi PDIP, yakni Sidarto Danusubroto yang belakangan kerap tampil bersuara agaknya memantik satu diskursus menarik mengenai karier politik seorang “ajudan” Presiden RI. 


PinterPolitik.com 

Bersamaan dengan gegap-gempita Bulan Bung Karno yang dirayakan PDIP pekan lalu, signifikansi seorang ajudan Presiden RI tampak menarik untuk dianalisis. Itu setelah Sidarto Danusubroto – ajudan Presiden Soekarno – menjadi pivot nama ajudan yang belakangan mengemuka dan terlihat cukup sukses berkiprah di dunia politik. 

Berlatarbelakang Polri berpangkat terakhir Inspektur Jenderal, Sidarto merupakan ajudan Presiden Soekarno di detik-detik kejatuhannya pada tahun 1967 hingga 1968. 

Selain memiliki kesamaan bulan lahir dengan Soekarno, nama Sidarto – yang merupakan politisi senior PDIP – belakangan ini jamak muncul karena turut aktif menyuarakan pencapresan Ganjar Pranowo dan gagasan merebut Kota Depok di tengah isu pencalonan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep sebagai wali kota. 

Nama Sidarto sebenarnya sempat meredup di dekade terakhir pemerintahan Orde Baru (Orba). Namun, dirinya kembali muncul dengan memutuskan berkarier di politik pasca purna tugas bersama PDIP besutan anak dari sosok yang pernah dikawalnya, yakni Megawati Soekarnoputri. 

Menemani Soekarno di detik-detik terakhir kekuasan, Sidarto seolah mendapat kredit atas jasanya itu dari Megawati. Setelah berhasil menjadi anggota DPR sejak 1999 hingga 2013, dirinya kemudian dipercaya menggantikan Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR RI pada tahun 2013 hingga 2014. 

Mantan Kapolda Jawa Barat (Jabar) itu lalu masuk ke lingkar Istana untuk menduduki posisi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sejak 2015 hingga 2024 mendatang. 

Lantas, kesuksesannya di dunia politik membuka ruang interpretasi mengenai signifikansi seorang ajudan Presiden RI serta korelasi dengan karier politiknya setelah purna tugas. 

Saat ini, ajudan Presiden RI diisi oleh perwira aktif berpangkat kolonel dan komisaris besar (kombes) dari unsur tiga matra TNI plus Polri ditambah dengan asisten ajudan yang merupakan perwira pertama, juga dari TNI-Polri. 

Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno adalah mantan ajudan Presiden ke-2 RI Soeharto (1974-1978) yang sejauh ini memiliki karier politik paling cemerlang. 

Menariknya, Try berhasil menjadi Wakil Presiden (Wapres) pada tahun 1993-1998 dari sosok yang pernah dikawalnya, yakni sang Smiling General Soeharto. 

Dengan social capital inheren sebagai anggota TNI-Polri dan dekat dengan kekuasaan, mengapa posisi ajudan Presiden RI seolah menjadi ekstra golden ticket karier politik bagi mereka yang pernah mengampunya? 

Tergantung Momentum Penguasa? 

Seperti menjadi kultur tersendiri dalam sistem birokrasi eksekutif Indonesia, ajudan menjadi jabatan prestisius dikarenakan segala benefit yang dapat direngkuhnya. 

Menurut Mayjen TNI (Purn.) Tubagus (TB) Hasanuddin yang merupakan aide-de-camp Presiden ke-3 RI BJ Habibie, ajudan merupakan jabatan yang diperebutkan karena begitu eksklusif, banyak rezeki, serta proyeksi jabatan strategis. 

Kecenderungan itu sebenarnya mudah dipahami karena berlandaskan logika yang cukup sederhana. 

Saat seseorang dengan kapabilitas tertentu telah dipercaya penguasa dan membentuk semacam simbiosis bagi kekuasaan, memberikan kepercayaan baginya di kemudian hari dalam jabatan tertentu boleh dikatakan dapat memberikan keuntungan tersendiri. 

Di samping kemampuan teknis, bekerja dengan orang kepercayaan akan lebih mudah dibandingkan harus menempatkan orang baru, terutama dalam upaya mempertahankan kekuasaan. 

Esensi itu sendiri datang dari sosok Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa yang menjadi persembahannya kepada Lorenzo de’ Medici. 

Buku tersebut memberikan beberapa petunjuk bagaimana para raja harus memerintah, memahami sepenuhnya sifat dan ciri rakyat, bagaimana seseorang harus menjadi raja, dan untuk memahami sepenuhnya ciri dan sifat raja-raja. 

Melalui Il Principe, Machiavelli berharap de’ Medici  menjadi raja yang dapat mencapai puncak kemuliaan. 

Meski demikian, buku itu kemudian dinobatkan sebagai “Buku Pedoman Para Diktator” oleh Michael H. Hart. 

Itu dikarenakan, dalam perkembangannya, terdapat beberapa penguasa yang menafsirkan buku itu hingga titik ekstrem, seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini. Dalam dimensi ini, karya Machiavelli kemudian justru disebut tutorial bagaimana pengkhianatan politik dilakukan dengan siasat yang jahat dan berliku-liku. 

Dalam pembahasan mengenai “Kerajaan Warisan”, Machiavelli menjelaskan penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru, akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga. 

Machiavelli mencontohkan hal ini pada kasus Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510. 

Menurutnya, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan dari dahulu kala. Oleh karenanya, ini membuat friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi. 

Sementara itu, dalam pembahasan mengenai “Kerajaan-Kerajaan Campuran”, Machiavelli bahkan menjelaskan hal yang cukup kejam. Dikatakan, penguasa baru  yang berhasil menduduki daerah-daerah jajahan dan berharap mempertahankan kekuasaannya, maka ia harus memusnahkan semua keturunan penguasa lama. 

Jika itu tidak dilakukan, para keturunan penguasa lama yang menaruh dendam disebut pasti merencanakan perebutan kekuasaan. 

Kendati Il Principe ditulis Machiavelli pada tahun 1513, di mana pemerintahan masih berbentuk kerajaan, esensi mempercayakan “orang dekat” nyatanya masih berlaku dan ditemukan relevansinya sampai saat ini – dan mungkin sampai seterusnya. 

Selain menempatkan orang kepercayaan saat masih menjabat, demi tetap mempertahankan kekuasaan meskipun sudah tidak lagi bercokol di kursi kekuasaan – maupun berharap “investasi” jejaring kekuasaan di kemudian hari – penguasa kerap menempatkan orang-orang kepercayaannya agar masih dapat melakukan kontrol, mengintervensi kebijakan, atau mendapat dukungan. 

Begitu pula dengan takdir karier para ajudan presiden dan mantan presiden RI, terutama pasca purna pengabdian. 

Dibandingkan matra lain, matra darat menjadi yang paling banyak menyumbang nama eks ajudan yang memiliki karier politik maupun pemerintahan cukup cemerlang. Selain Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno, terdapat nama Wiranto – ajudan Presiden Soeharto yang bahkan hampir menjadi presiden saat mengikuti Pilpres 2004. 

Juga ada nama Mayjen TNI (Purn.) TB Hasanuddin yang kini menjadi politisi senior PDIP dan mengabdi di DPR RI sejak tahun 2009. Pun dengan mendiang Pramono Edhie Wibowo – ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri – yang berkiprah di Partai Demokrat. 

Dari unsur Polri, terdapat nama Jenderal Pol. (Purn.) Sutanto – eks ajudan Presiden ke-2 RI Soeharto – dan Jenderal Pol. (Purn.) Budi Gunawan – ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri – yang dipercaya menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). 

Nama terakhir bahkan menjadi Kepala BIN terlama sepanjang sejarah dan diperkirakan akan memiliki kursi istimewa andaikan memiliki ambisi politik dan bergabung dengan PDIP. Pun dengan berkaca pada kinerjanya yang dianggap menjadi instrumen pemersatu Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) pasca Pilpres 2019. 

Dalam karier profesional pun ajudan presiden yang masih aktif memiliki karier yang tergolong cemerlang dibandingkan rekan sejawatnya. Sebut saja dua eks ajudan Presiden Jokowi yakni, Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Widi Prasetijono dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo. 

Sementara itu, asisten ajudan Presiden Jokowi yang berpangkat perwira pertama juga tampak memiliki kesamaan. Seperti para seniornya, golden ticket dan proyeksi karier profesional dan karier pasca purna tugas cemerlang kiranya telah mereka genggam. 

Memang, di awal, mereka mendapatkan posisi ajudan maupun asisten ajudan juga berdasarkan kebutuhan maupun kemampuan. Banyak di antara mereka adalah pasukan khusus dengan kemampuan yang cukup ideal untuk menjadi pengawal seorang pemimpin negara. 

Tinggal faktor lain, yakni ambisi personal masing-masing serdadu dan keberpihakan plus momentum kekuasaan yang kiranya juga menjadi penentu. 

Akan tetapi, jika ditelisik lebih lanjut, posisi ajudan dengan kualifikasi dan kemampuan istimewa sempat mendapat kritik karena dianggap bisa turut membangun kesatuan mereka lebih dahulu dibanding “hanya” menjadi ajudan dengan tugas cenderung protokoler-administratif. 

Kearifan Birokrasi Lokal? 

Chappy Hakim buku berjudul Pertahanan Indonesia: Angkatan Perang Negara Kepulauan pernah membahas mengenai penugasan perwira sebagai ajudan dengan mengutip pendapat menarik dari Menhankam/Pangab Jenderal (Purn.) M. Jusuf.  

Walaupun tidak secara langsung menyoroti penugasan ajudan presiden dan wapres, dalam kaitan regenerasi, pada akhir Januari 1980 M. Jusuf pada akhir Januari 1980 memerintahkan kepada seluruh Kepala Staf Angkatan dan Kapolri agar menarik perwira-perwira muda lulusan AKABRI dari pangkat letnan dua, letnan satu, kapten, dan mayor yang kini bertugas sebagai ajudan dan mengembalikan mereka ke induk pasukannya. 

Menurutnya, mereka disekolahkan di AKABRI bukan untuk menjadi ajudan melainkan justru untuk menduduki jabatan-jabatan di satuan-satuan lapangan. 

Disebutkan pula, ajudan dari sisi profesional militer jelas tertinggal. Namun, ada nilai tambah yang mereka peroleh dan justru menjadi faktor yang lebih memudahkan mereka dalam menduduki jabatan-jabatan yang bersifat politis. 

Sebagai komparasi di Perancis, misalnya, ajudan bukanlah prajurit tempur, tetapi yang memiliki kemampuan di bidang ekonomi maupun sosial. Selepas menjabat ajudan, mereka akan meneruskan karier di kesatuan yang sesuai kompetensinya itu. 

Di Amerika Serikat (AS), presiden memiliki enam ajudan dari masing-masing matra kemiliteran berpangkat mayor atau letnan kolonel. 

Selain enam ajudan permanen, ada sekitar 40-45 ajudan yang bersifat sosial di Gedung Putih yang berpangkat letnan hingga mayor. Penunjukan mereka bersifat sementara dan paruh waktu. 

Kendati demikian, sekali lagi, posisi ajudan presiden di Indonesia sendiri tak bisa dilepaskan dari konteks kultur birokrasi politik dan pemerintahan yang terbangun sejak posisi tersebut pertama kali eksis. 

Kendati secara profesionalitas cukup disayangkan, secara regulasi dan norma, tak ada yang keliru dengan komposisi all-star ajudan presiden RI dan bukti serta proyeksi karier apik mereka. 

Menarik untuk melihat kiprah para perwira ajudan RI-1 itu di kemudian hari, bersamaan dengan dinamika politik dan pemerintahan tanah air ke depannya. (J61) 

Exit mobile version