PSI memberikan “penghargaan” bertajuk Kebohongan Award untuk Prabowo Subianto, Sandiaga Uno serta Andi Arief karena dianggap menyebarkan kebohongan. Di balik penghargaan tersebut, jelas terlihat PSI memanfaatkan semua momentum politik dan memaksimalkannya untuk meraih sebesar-besarnya dukungan publik demi lolos ke Senayan. Kebohongan Award membuat PSI berpotensi meraih top awareness publik, bahkan merebut basis massa pendukung Jokowi dari partai-partai lain dalam koalisi sang petahana. Strategi yang jitu?
PinterPolitik.com
“Brand is just a perception, and perception will match reality over time”.
:: Elon Musk ::
[dropcap]K[/dropcap]etua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dilaporkan ke polisi oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Grace dan 3 kader PSI – di antaranya Tsamara Amany, Raja Juli Antony dan Dara Adinda Kesuma Nasution – dianggap melakukan pelecehan terhadap pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, serta Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief terkait Kebohongan Award yang dikeluarkan oleh partai berlambang tangan menggenggam bunga mawar itu.
PSI sebelumnya memang mengeluarkan penghargaan dalam tajuk Kebohongan Award sebagai bentuk kritik dan – mungkin juga – serangan politik bagi kubu Prabowo-Sandi lewat hal yang “nyeleneh” tersebut.
Partai-partai nasionalis di kubu Jokowi, seperti Hanura, Nasdem, PKPI dan Perindo, bahkan termasuk PDIP, jelas harus melihat strategi politik PSI ini secara lebih hati-hati. Bukan tidak mungkin para pemilihnya akan berpindah ke PSI. Share on XPrabowo misalnya mendapatkan penghargaan tersebut karena dianggap melakukan kebohongan lewat kata-katanya tentang selang cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang dipakai oleh lebih dari 40 pasien. Bahkan, menurut Tsamara Amany, kebohongan Prabowo merupakan yang paling “lebay” karena pihak RSCM telah mengeluarkan bantahan terkait tuduhan itu.
Sementara, Sandiaga Uno dituduh berbohong terkait kasus pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang diklaimnya dibangun tanpa utang. Menurut Tsamara, belakangan diketahui bahwa perusahaan Sandi yang terlibat dalam pembangunan Tol tersebut juga menggunakan pendanaan dari pinjaman bank – yang menurutnya artinya berutang.
Sementara, penghargaan Kebohongan Award terakhir diberikan kepada Andi Arief. Mantan aktivis 1998 itu dianggap melakukan kebohongan terkait cuitannya tentang 7 kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan PSI sebelumnya meminta pihak kepolisian untuk menangkap Andi terkait kasus tersebut.
Sontak Kebohongan Award itu dianggap sebagai pelecehan oleh kubu Prabowo-Sandi. ACTA merupakan pihak yang melaporkan hal tersebut ke kepolisian karena tidak terima dengan hal yang mereka anggap menghina tersebut.
Namun, Dahnil Anzar Simanjuntak selaku jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menyebut pihaknya enggan menanggapi aksi PSI tersebut lebih jauh. Dalam cuitannya di akun Twitter resminya, Dahnil menyebut PSI sebagai “anak alay politik”, sehingga aksi-aksinya tidak perlu ditanggapi dan cukup ditertawai saja.
Anak alay politik yg lagi cari perhatian jangan ditanggapi serius, diketawain aja.?
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) January 4, 2019
Walaupun demikian, jika ditelusuri lebih dalam, apa yang dilakukan oleh PSI ini, pada titik tertentu, boleh dinilai sebagai hal yang justru jenius. Pasalnya PSI bisa memanfaatkan sensasi politik yang dibuat oleh kubu Prabowo-Sandi – terkait pernyataan-pernyataan yang disebut sebagai kebohongan tersebut – untuk mengejar keuntungan partai demi lolos ke parlemen.
Pertanyaannya adalah bagaimana hal tersebut bisa dilakukan dan apakah efektif?
“Anak Alay Politik” Mengejar Top Awareness
Jika melihat berbagai pernyataan dan aksi yang dilakukan oleh PSI dalam 6 bulan terakhir, jelas partai yang didirikan pada 16 November 2014 lalu itu tidak hanya sekedar mencari sensasi semata – hal yang oleh Dahnil disebut sebagai “anak alay politik” tersebut.
Pernyataan seperti penolakan terhadap Peraturan Daerah (Perda) berbasis agama – Perda Syariah dan Perda Injil – serta penolakan terhadap praktik poligami tidak sekedar dikeluarkan PSI sebagai sebuah sikap politik semata.
Namun, sesungguhnya hal ini adalah strategi marketing politik. Hal serupa juga bisa dijumpai dalam kampanye pro terhadap industri sawit – walau dalam kasus yang terakhir ini ada kepentingan lain yang diperjuangkan lewatnya, katakanlah yang berhubungan dengan penyandang dana dan yang sejenisnya. Tak ada yang tahu.
Yang jelas, sebagai partai baru yang oleh banyak pollster atau lembaga survei diprediksi tidak akan lolos ke parlemen pada Pemilu nanti, strategi marketing PSI lewat pernyataan-pernyataan yang cenderung “kontroversial” ini sedikit banyak berhasil mendukung tingkat keterpilihannya.
Hal ini terbukti dari survei Y-Publica pada awal Desember lalu yang menunjukkan peningkatan elektabilitas partai tersebut yang besarannya lebih dari 50 persen – dari 1 persen pada Oktober 2018 menjadi 2,6 persen pada Desember 2018.
Y-Publica juga menyebut efek viralnya penolakan Perda berbasis agama, membuat PSI mengalami kenaikan pemilih hingga 1-2 juta orang dalam rentang waktu yang cukup singkat. Bahkan beberapa lembaga survei lain menyebut PSI berpeluang besar menjadi partai baru yang akan lolos ke Senayan.
Elektabilitas PSI pun diprediksi akan terus meningkat seiring makin seringnya tokoh-tokoh partai tersebut menghiasi pemberitaan publik. Pada titik ini, jelas PSI sedang melakukan strategi marketing politik lewat berbagai kontroversi yang ditimbulkan, demi membangun brand awareness atau kesadaran publik akan keberadaan partainya.
Terkait konteks tersebut, Kakhaber Djakeli dan Tea Tshumburidze dari International Black Sea University, Georgia dalam tulisannya di Journal of Business, menyebutkan bahwa membangun brand awareness dalam politik adalah hal yang esensial demi meraih brand equity – istilah dalam marketing untuk menyebut “nilai jual” sebagai akibat pengetahuan publik akan nama brand tersebut.
Brand equity dalam politik adalah hal yang sangat penting – sama seperti dalam konteks bisnis – ketika membicarakan persaingan yang terjadi antarpartai yang dalam konteks Pemilu 2019 jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Pemilu 2014 lalu. Jika mampu memenangkan brand equity, PSI sangat mungkin menjadi partai yang dicari pemilih ketika membuka surat suara karena familiar dengan berbagai pemberitaan tentangnya.
Lebih lanjut, menurut Djakeli dan Tshumburidze, brand awareness bisa diraih dengan menggunakan strategi promosi berupa iklan, publisitas lewat pernyataan-pernyataan tertentu yang menarik publik, penggunaan sosial media, sponsorship, hingga mengadakan event-event yang menarik.
Persoalan positif atau negatifnya konten yang ditampilkan adalah urusan belakangan, yang terpenting adalah mengejar perhatian publik terlebih dahulu. Dalam konteks ini, jelas PSI sedang mengejar brand awareness dan brand equity tersebut.
Apa yang dilakukan oleh PSI ini sebetulnya telah banyak dilakukan oleh politisi maupun partai politik di banyak negara. Donald Trump adalah salah satu yang berhasil menggunakan strategi tersebut pada Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu.
Cristina Rivero dalam tulisannya di The Washington Post menyebutkan bahwa latar belakang Trump sebagai seorang pengusaha membuatnya sangat paham bagaimana cara membentuk brand awareness.
Salah satu hal yang dilakukan oleh Trump untuk membangun hal tersebut adalah dengan menggunakan pesan-pesan atau isu kampanye yang “ekstrem” – misalnya isu imigrasi, tembok perbatasan dengan Meksiko, serangan politik terhadap lawan, dan lain sebagainya – agar mampu membuat dirinya terlihat berbeda dibandingkan kandidat lain.
Trump juga menggunakan penampilan di hadapan publik sebagai strategi untuk menarik perhatian dan membangun brand awareness sekaligus brand equity. Ia selalu tampil dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial atau kritik-kritiknya terhadap lawan.
Dalam konteks PSI, bisa dibilang strategi politik ala Trump ini sedang digunakan. Walaupun Prabowo dianggap sebagai capres yang mengadopsi gaya kampanye politik Trump, namun dalam konteks membangun brand awareness, PSI juga menggunakan strategi serupa dan nyatanya upaya tersebut cukup berhasil mendongkrak brand equity partai tersebut.
Bandingkan apa yang dilakukan oleh PSI ini dengan partai-partai baru macam Partai Berkarya, Partai Garuda, atau Perindo yang punya modal kuat. Bahkan, kalau dibandingkan dengan partai-partai kelas menengah lama, PSI bisa dibilang mulai terlihat unggul. PPP, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI jelas mulai tertinggal dari PSI pada titik ini dalam hal brand politik.
Strategi Politik PSI, Gembosi Partai Pendukung Jokowi?
Strategi politik PSI ini memang akan menempatkan mereka head to head dengan Prabowo. Namun, sebetulnya bukan suara pendukung Prabowo-Sandi yang mereka incar, melainkan suara yang dari partai-partai pendukung Jokowi sendiri.
Hal ini memang terdengar aneh, namun itulah yang terjadi. Model kampanye yang membenturkan diri secara langung dengan lawan politiknya ini jelas akan dilihat oleh para pendukung Prabowo-Sandi sebagai hal yang “menyebalkan” bagi mereka. Ibaratnya, ada orang yang menantang mereka berkelahi. Masalahnya, yang menantang berkelahi ini adalah “anak kemarin sore” atau yang oleh Dahnil disebut sebagai “anak alay politik”.
PSI's Kebohongan Award is the best counter to Prabowo's misinformation campaign to date.
That's how we should respond to hoax agents: Call them out. Don't let them hide behind public's short memory.
Regardless the eventual victor, truth matters and we've to keep it that way.
— Nathanael Gratias (@nathanaelmu) January 5, 2019
Sementara, bagi pemilih dari partai-partai di koalisi Jokowi yang tidak begitu keras sikap politiknya terhadap Prabowo, akan melihat PSI sebagai “alternatif perlawanan”, apalagi jika sikap keras secara politik semacam ini adalah hal yang sesuai bagi para pemilih tersebut.
Partai-partai nasionalis di kubu Jokowi, seperti Hanura, Nasdem, PKPI dan Perindo – termasuk PDIP dan Golkar – jelas harus melihat strategi politik PSI ini secara lebih hati-hati. Bagaimanapun juga, saat ini semua partai di koalisi petahana sedang berlomba-lomba memenangkan efek ekor jas sosok Jokowi. Jika partai-partai tersebut hanya mengandalkan strategi kampanye konvensional, bukan tidak mungkin para pemilihnya akan berpindah ke PSI.
Selain itu, sikap politik PSI ini juga sangat mungkin akan menarik para pemilih mengambang yang belum menentukan pilihan politiknya, juga bagi para pemilih progresif pendukung Jokowi yang menganggap belum ada saluran politik lain di koalisi petahana yang sesuai dengan idealisme mereka. Artinya, ada keuntungan elektoral yang sangat besar yang bisa diraih PSI lewat aksi-aksi macam Kebohongan Award ini.
Pada akhirnya, publiklah yang akan menilai strategi politik PSI ini. Yang jelas, seperti kata Elon Musk di awal tulisan, brand hanyalah tentang membangun persepsi. Dan PSI sedang membangunnya. (S13)