Setelah resmi menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto nampak begitu aktif mengulik kebijakan pertahanan, khususnya untuk membeli kebutuhan alutsista dalam negeri. Namun, di tengah perubahan ancaman pertahanan yang tidak lagi berkutat pada ancaman tradisional atau perang karena pergeserannya menuju ancaman siber, tepatkah kebijakan Prabowo yang gencar membeli berbagai alutsista tersebut?
PinterPolitik.com
Dalam tulisan opininya di Jawa Pos yang berjudul Politik Alutsista Prabowo Subianto, Staf khusus Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antarlembaga Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak memaparkan poin bagus guna mendukung kebijakan Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto yang tengah gencar belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Paparnya, Prabowo memiliki beban tugas yang berat karena harus memenuhi 100 persen minimum essential forces (MEF) atau kekuatan pokok minimum Indonesia yang baru mencapai 74 persen.
Tidak hanya belum mencapai 100 persen, Dahnil juga mengutip data The Asia Power Indeks 2018 yang dirilis Lowy Institute, yang menyebutkan bahwa dalam bidang militer di Asia, Indonesia menempati urutan ke-13 di bawah Vietnam (urutan ke-11) dan Singapura (10). Sedangkan dalam data Global Firepower 2019 Indonesia bahkan menempati urutan ke-16.
Atas hal ini, membeli berbagai alutsista tentu saja menjadi suatu kebutuhan urgensial untuk memenuhi MEF tersebut. Bagusnya, kesadaran pemerintah dalam memenuhi hal tersebut terlihat jelas dengan adanya tren peningkatan anggaran pertahanan setiap tahunnya, yang pada 2010 hanya Rp 48,9 triliun menjadi Rp 131 triliun pada 2020.
Dengan anggaran yang besar, Prabowo terlihat kerap melakukan perjalanan ke luar negeri seperti ke Prancis dan Denmark untuk melakukan diplomasi pertahanan ataupun untuk memburu berbagai alutsista. Akan tetapi, dengan alasan kerahasiaan, Ketua Umum Partai Gerindra ini menolak untuk merinci alutsista apa saja yang akan dibeli.
Namun, di tengah geliat Prabowo dalam memburu alutsista, terdapat celetukan-celetukan yang memberi pandangan sinis terhadap langkah tersebut. Pasalnya, seperti yang diungkapkan oleh pemenang hadiah Novel, Norman Angell, globalisasi yang melahirkan ikatan-ikatan antarnegara, baik secara ekonomi, politik, keamanan, sosial, dan budaya, menyebabkan terjadinya keterbukaan dan kesepahaman, sehingga membuat perang menjadi opsi yang tidak lagi masuk akal.
Tidak hanya itu, dengan terjadinya revolusi teknologi yang membuat tatanan pemerintahan bahkan dunia terhubung dengan internet atau yang dikenal dengan cyberspace, telah membuat terjadinya pergeseran ancaman pertahanan dari ancaman tradisional atau perang menuju ancaman siber.
Menimbang pada hal tersebut, tentu mencuatkan satu pertanyaanya. Tepatkah strategi kebijakan Prabowo yang masih memberikan fokus besar pada pembelian alutsista?
Bahaya Ancaman Siber
Pada 2007 lalu, Estonia menjadi negara pertama yang mengalami serangan siber yang luar biasa. Imbasnya, website pemerintah, sistem bank, dan hampir semua jaringan internet di negara tersebut terputus seketika. Pada saat itu, Rusia dipercaya sebagai aktor di balik serangan tersebut.
Belajar dari serangan tersebut, Estonia kemudian melakukan perombakan untuk memperkuat pertahanan sibernya, dan sekarang negera tersebut bahkan dipandang sebagai salah satu negara yang paling sulit diretas di dunia.
Tidak hanya menyerang negara kecil seperti Estonia, serangan siber nyatanya juga menyasar negara besar seperti Amerika Serikat (AS). Peter Apps dalam tulisannya di Reuters, mengungkapkan bahwa Rusia disinyalir telah melakukan serangan siber, baik melakukan peretasan ataupun penyebaran berita bohong pada pemilihan presiden AS tahun 2016. Tidak hanya di AS, hal serupa bahkan disebut dilakukan Rusia di berbagai kampanye politik di seluruh Eropa.
Menariknya, terdapat pula pihak yang menduga bahwa pencurian data pertahanan dan rahasia komersial AS telah menjadi jantung dari modernisasi militer dan ekonomi Tiongkok.
Melihat pada berbagai negara di dunia telah menjadi sasaran serangan siber, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Menurut penuturan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi, pada 2018 lalu, sebanyak 207 juta serangan siber dideteksi menyerang Indonesia sepanjang 2018. Lalu, pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman juga menyebutkan bahwa laman KPU terus mengalami serangan siber, baik dari luar maupun dalam negeri.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, pemerintah sebenarnya telah menyadari bagaimana rentannya Indonesia terhadap serangan siber. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pada 2016 lalu, yang menyebutkan bahwa Indonesia telah mengalami begitu banyak serangan siber dan belum memiliki pertahanan siber yang mumpuni.
Setelah bertahun-tahun, nyatanya persoalan lemahnya pertahanan siber ini masih belum terselesaikan. Hal ini misalnya disoroti oleh pengamat pertahanan siber, Pratama Peradha pada Maret 2019 lalu. Ia menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara paling lemah dalam pertahanan siber. Bahkan Pratama memiliki pandangan yang pesimis bahwa Istana Negara dapat aman dari serangan siber.
Melihat pada kasus yang pernah terjadi di Estonia, tentu saja ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga agar Indonesia memiliki pertahanan siber yang kuat. Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan pertahanan siber memang terlihat dengan dibentuknya BSSN.
Namun, melihat kinerja BSSN yang seolah hanya melakukan monitoring terhadap serangan-serangan siber, sepertinya ini menandakan lembaga tersebut belum berjalan maksimal untuk menjadi jawaban masalah ini.
Realisme Pertahanan Prabowo
Dengan belum kuatnya pertahanan siber Indonesia, ini tidak hanya menyimpan persoalan terkait kedaulatan data dan hal-hal yang berhubungan dengannya, namun juga terkait pada persoalan alutsista yang tengah ingin dibeli oleh Prabowo.
Pasalnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo dalam acara uji publik terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) pada Agustus 2019 lalu, menyebutkan bahwa terdapat ancaman tersendiri yang tengah mendera alutsista Indonesia.
Menurutnya, sampai saat ini belum terdapat produk hukum untuk mengatur algoritma alutsista yang dibeli dari luar negeri, sehingga dapat diubah oleh pemerintah Indonesia. Atas hal ini, berbagai alutsista tersebut pada dasarnya memiliki kerentanan untuk diretas yang begitu tinggi karena algoritmanya diketahui oleh negara produsen.
Dengan demikian, persoalan ini sebenarnya yang harus diberikan porsi perhatian besar oleh Prabowo ketika membeli alutsista. Pun begitu dengan mulai mengubah algoritma alutsista yang ada agar tidak mudah diretas oleh pihak-pihak tertentu. Namun, sampai saat ini Prabowo belum terlihat memberikan pernyataan ataupun perhatian yang menyoroti persoalan algoritma alutsista tersebut.
Atas hal ini, pandangan pengamat militer dari Universitas Padjadjaran, Muradi sepertinya memberikan kita jawaban atas hal tersebut. Menurutnya, melihat pada berbagai kebijakan pertahanan yang diambil oleh Prabowo, mantan Danjen Kopassus ini kemungkinan besar menganut paradigma pertahanan teritorial.
Oleh karena itu, sebenarnya tidak heran mengapa Prabowo memberikan porsi perhatian yang besar terhadap alutsista, seperti akan melakukan pembelian pesawat, kapal, senjata dan sebagainya. Atas paradigma tersebut, Prabowo merasa perlu untuk menjaga tiap-tiap pos teritori yang rentan disusupi oleh pihak asing.
Namun, apabila kita mengacu pada pernyataan Prabowo yang pernah mengatakan: “Jika ingin damai, maka bersiaplah untuk perang” atau yang dikenal dengan istilah “si vis pacem, para bellum”, jelas sekali mantan Pangkostrad ini menganut teori realisme dalam pertahanan.
Teori realisme sendiri bertolak dari asumsi bahwa setiap manusia mestilah egois, sehingga selalu memiliki kapabilitas untuk menerkam manusia lainnya. Konteks asumsi egois ini diambil dari konsep “homo homini lupus” dari Thomas Hobbes yang menyebutkan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”. Oleh karenanya, dalam teori realisme, ancaman ekspansi dari negara lain diasumsikan pasti akan selalu ada.
Merujuk pada teori tersebut, bukankah sudah seharusnya Prabowo juga mengantisipasi ancaman serangan siber dari negara-negara lain?
Pada konteks ini, Prabowo yang membawahi Kementerian Pertahanan sangat perlu untuk menjalin sinergi yang kuat dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku pihak yang menjalin koordinasi intens dengan BSSN.
BSSN sendiri, selaku lembaga yang diciptakan untuk menangkal serangan siber tentu juga harus dikembangkan semaksimal mungkin agar menjadi benteng serangan siber yang begitu kuat. Atas hal ini, tentu kita harus berharap banyak pada kebijaksanaan Prabowo dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mendorong peningkatan pertahanan siber di Indonesia. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.