Site icon PinterPolitik.com

Kebijakan “Instan” Ala Anies

Kebijakan “Instan” Ala Anies

Istimewa

Kebijakan publik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait dipasangnya jaring pada Kali Sentiong menuai kontroversi. Anies paling suka membuat keputusan instan?


PinterPolitik.com

“Inti paling dasar dari kepemimpinan adalah menjadi seorang visioner.” ~ Theodore Hesburgh

[dropcap]T[/dropcap]ahun ini, DKI Jakarta akan menjadi tuan rumah dari dua kegiatan olahraga bertaraf internasional, yaitu Asian Games dan Asian Para Games yang akan berlangsung Agustus dan Oktober mendatang. Demi kelancaran kegiatan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pun telah mulai berbenah.

Salah satu upaya Pemprov dalam memperindah kawasan, adalah dengan menutup Kali Sentiong yang letaknya bersebelahan dengan Wisma Atlet Kemayoran dengan menggunakan jaring waring hitam. Upaya ini, menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ditujukan agar mampu mengurangi bau busuk yang keluar dari kali tersebut.

Bagi warga setempat, Kali Sentiong memang dikenal sebagai Kali Item karena warna airnya yang hitam pekat dan tertutup tumpukan sampah. Pemandangan yang kurang menyenangkan, terutama bau yang menyengat, disinyalir akan mampu mengganggu kenyamanan para atlet, apalagi di sebelah kali tersebut juga akan dibangun kantin.

Walau penggunaan jaring tersebut, menurut warga sekitar, cukup efektif mengurangi sengatan bau. Namun kebijakan Anies tersebut tak ayal langsung menuai kontroversi, terutama karena penggunaan waring terkesan “menggampangkan” permasalahan dan tidak menyelesaikan permasalahan dasarnya, yaitu sampah dan polusi limbah.

Menanggapi pro-kontra kebijakannya, Anies sendiri sudah menyatakan kalau keputusan menutup Kali Item dengan waring hanyalah rencana cadangan semata. Meski berjanji akan tetap melakukan pembersihan Kali Item, namun keputusan Anies tersebut telah terlanjur dianggap salah di mata masyarakat.

Tak sedikit pula yang kemudian membanding cara kerja Anies dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Terlebih, bukan kali ini saja kebijakan Anies menuai pro-kontra atau polemik. Tak sedikit pula pengamat yang ikut mengkritik kebijakan Anies yang disinyalir lebih bertujuan populis dan pencitraan diri. Benarkah begitu?

Kebijakan Publik vs Konflik Politik

“Seorang pemimpin harus dapat membuat orang lain mengikutinya, dan tidak seorangpun yang ingin mengikuti pemimpin tanpa arah tujuan.”~ Joe Namath

Bagi olahragawan AS berusia 73 tahun yang dikenal sebagai “Broadway Joe” ini, kunci kepemimpinan di olahraga maupun politik sebenarnya sama saja, yaitu tujuan kepemimpinan yang jelas. Sebab tanpa arah tujuan yang jelas, seperti yang dikatakannya di atas, tak akan ada seorang pun yang akan percaya pada kepemimpinannya.

Mendapat kepercayaan seluruh warga Jakarta, bagi Anies, mungkin telah dirasakan sulit sejak awal jabatannya. Walau berhasil meraih kemenangan sebesar 57,96 persen, namun kemenangan itu dinilai banyak pihak sebagai kemenangan ‘cacat’ karena diwarnai tak hanya polarisasi akibat isu SARA, tapi juga ancaman fisik dan psikis sebagian pemilih.

Sehingga, sebagian dari 42,04 persen yang tidak memilih Anies-Sandi tersebut kerap bersikap kritis dan cenderung nyinyir dengan kebijakan pasangan yang diusung Partai Gerindra dan PKS itu. Terutama yang terkesan populis dan ‘instan’, seperti penutupan jalan di Tanah Abang, kembalinya becak, hingga penggunaan waring di Kali Item.

Dampaknya, kinerja Anies pun kerap dibanding-bandingkan dengan kinerja Ahok saat masih menjabat sebagai gubernur. Konflik politik “terpendam” yang terjadi di Jakarta ini, sebenarnya tak beda jauh dengan yang terjadi pada Pemerintahan Pusat saat ini, di mana pihak oposisi kerap mengkritisi dan nyinyir terhadap apapun kebijakan Jokowi.

Konflik politik “terpendam” ini, menurut Clifford Geertz, disebabkan oleh adanya ikatan primordialisme yang mengalami percampuran antara kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial. Ikatan ini terbentuk dari sentimen dan loyalitas primordial yang menghasilkan solidaritas yang kuat sehingga menghasilkan fanatisme atau kesetiaan yang kuat.

Akibatnya, Anies pun terjebak pada pilihan antara membuat kebijakan yang tepat dengan upaya mencitrakan diri sebagai gubernur yang lebih baik dibanding Ahok. Hasilnya, tentu Anies maupun Sandi akan mencari solusi yang mampu meraih keduanya, yaitu dengan membuat kebijakan publik yang dianggap bisa ‘menyenangkan’ semua pihak.

Strategi Kebijakan Instan Anies

“Jangan berupaya mengejar kesuksesan, tapi lebih pada nilai tindakannya.” ~ Albert Einstein

Menciptakan rumus bom atom demi melawan Nazi Jerman, merupakan dilema mendalam dalam hidup ilmuwan yang terkenal dengan rambut berantakannya tersebut. Sebab dalam hidupnya, Einstein tidak pernah berniat terkenal sebagai pembunuh masal, walau karyanya itu pun terbukti mampu menciptakan perdamaian dunia.

Dilema juga yang bisa jadi merupakan pendorong bagi Anies dalam membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya instan dan populis. Sebagai kepala daerah yang belum memiliki pengalaman memimpin wilayah, Anies bisa jadi berupaya keras menciptakan kebijakan yang mampu memperbaiki citra diri melalui program yang diinginkan konstituennya.

Kondisi dilematisnya ini terlihat dari berbagai program kontroversial dan cenderung menabrak aturan dan perundang-undangan, seperti penutupan jalan di Tanah Abang demi ‘menyenangkan’ para Pedagang Kaki Lima (PKL), izin beroperasi kembali Becak, hingga tidak adanya larangan bagi para pendatang baru dari luar daerah.

Atas nama ‘keadilan bagi semua’, Anies seakan tak peduli apakah warga Jakarta setuju atau tidak dengan kebijakannya. Keadaan ini, berdasarkan teori kebijakan publik Norman Luttberg, memperlihatkan adanya kegagalan keterkaitan (linkage) antara opini politik dengan kebutuhan publik yang seharusnya menjadi dasar pembuatan kebijakan publik.

Fakta ini juga diperkuat dengan berbagai program instan Anies yang belakangan diakui sulit berjalan, karena tidak didasari pada analisa dan perhitungan yang mendalam. Salah satu program yang pada akhirnya mangkrak di tengah jalan, adalah OK-OTrip yang seharusnya menjadi program transportasi terpadu Jakarta, serta program rumah dengan down payment (DP) nol persen.

Baik OK-OTrip maupun rumah susun tanpa DP tersebut, pada kenyataannya sulit diterapkan karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya. Sehingga tak heran bila Pengamat Politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan kalau Anies hanya fokus untuk memastikan janjinya terpenuhi dan mem-branding diri.

Kebijakan publik ‘setengah hati’ ini, menurut Charles E. Lindblom dalam buku The Science of Muddling Through, merupakan proses pembuatan keputusan publik dengan model yang disebut disjointed incrementalism atau model inkremental. Yaitu kebijakan yang melanjutkan kegiatan pemerintahan di masa lalu, namun diberi tambahan atau perubahan (modifikasi) sedikit.

Walau metode ini menawarkan penyelesaian masalah dengan cara mudah dan cepat (instan) seperti kebijakan penggunaan waring di Kali Item, namun menurut Pakar Kebijakan Publik dari Harvard University, Yehezkel Dror, sebenarnya tidak tepat digunakan di negara yang masih berkembang, sebab kebijakan publik model ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan secara mendasar dan menyeluruh.

Selain itu, Dror juga menganggap kalau kebijakan yang bersifat inkremental atau instan ini juga bisa mengakibatkan perlambatan pembangunan dan terciptanya status quo atau kondisi yang tak berubah. Dalam hal ini, kaitannya dengan penggunaan waring di Kali Item, sebagai pemimpin daerah Anies tidak memperbaiki masalah sama sekali, sebaliknya malah menciptakan kondisi pembiaran demi kenyamanan sementara.

Mengacu pada pernyataan Einstein di atas, sayangnya dilema mengantarkan Anies sebagai pemimpin yang lebih mengejar kesuksesan dibandingkan nilai-nilai dari tindakannya. Padahal, andai saja Anies memilih untuk menciptakan kebijakan publik yang berdasarkan pada kebutuhan seluruh warga DKI Jakarta secara lebih serius, bisa jadi kepercayaan masyarakat akan menghapus segala pro dan kontra dalam kepemimpinannya. (R24)

Exit mobile version