Kebijakan pertukaran data keuangan antara Indonesia dengan Swiss, Singapura, Hong Kong dan beberapa destinasi penyimpanan kekayaan WNI lainnya, memang menjadi babak baru perang terhadap penggelapan pajak dan kejahatan keuangan. Namun, program ini berpotensi menjadi pedang bermata dua bagi Jokowi yang akan maju lagi pada Pilpres di tahun depan. Pasalnya, kebijakan ini cenderung populis di mata masyarakat banyak, namun “menakutkan” untuk golongan elite, konglomerat dan mereka-mereka yang punya banyak simpanan di luar negeri.
PinterPolitik.com
“When there is an income tax, the just man will pay more and the unjust less on the same amount of income.”
:: Plato ::
[dropcap]B[/dropcap]eberapa hari lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada sebuah kesempatan menuturkan bahwa pendapatan dalam APBN 2018 tumbuh mencapai 18,2 persen atau melebihi target.
Target penerimaan negara tahun ini memang dipatok pada angka Rp 1.894 triliun. Sementara, menurut Sri Mulyani, realisasi penerimaan negara diperkirakan akan mencapai angka Rp 1.936 triliun.
Pernyataan tersebut tentu mengindikasikan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil menggenjot sektor-sektor pemasukan negara, baik pajak maupun sektor yang lain.
Memang beberapa pihak tetap saja mengkritisi konteks tersebut mengingat data dari Kementerian Keuangan per 30 November 2018 sendiri menyebutkan bahwa penerimaan negara baru mencapai Rp 1.654,5 triliun atau 87,3 persen dari target APBN 2018.
Bagi Jokowi, kebijakan data keuangan ini akan menguntungkan popularitasnya di hadapan masyarakat luas. Namun, program ini membuat ia berada di seberang kelompok elite dan orang kaya yang pada akhirnya bisa merugikan dirinya juga. Share on XWalaupun demikian, jika apa yang disampaikan oleh Sri Mulyani itu berhasil terwujud di akhir tahun, maka tentu hal ini adalah sebuah pencapaian tersendiri. Pasalnya, di bawah Presiden Jokowi, berbagai program memang digalakkan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, termasuk mencegah penggelapan pajak, pencucian uang, serta penyimpanan kekayaan di luar negeri secara berlebihan.
Program itu juga berkaitan dengan tindakan pemerintah memberantas korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Salah satunya adalah lewat kebijakan pertukaran data keuangan dengan negara-negara lain yang menjadi tujuan penyimpanan kekayaan Warga Negara Indonesia (WNI).
Kebijakan data keuangan ini memang menjadi salah satu hal yang dikejar oleh pemerintahan Jokowi. Selain program tax amnesty atau pengampunan pajak, Indonesia juga tercatat telah meneken kerja sama pertukaran data keuangan yang memungkinkan pemerintah untuk melacak kekayaan WNI yang ada di luar negeri, termasuk berkaitan dengan sumber kekayaan tersebut dan pajaknya.
Konteks ini tentu saja “menakutkan” bagi pengusaha, politisi dan oknum-oknum yang selama ini menyimpan kekayaannya di luar negeri. Tidak sedikit yang menganggap kebijakan ini bisa berdampak pada perubahan arah dukungan politik – khususnya di tingkatan elite – terhadap Jokowi jelang kontestasi Pilpres 2019.
Sebagai catatan, dari Rp 3.250 triliun kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri, sekitar Rp 2.600 triliun ada di Singapura – hal yang membuat konteks isu ini semakin kompleks dan melibatkan banyak kepentingan.
Tentu pertanyaannya, siapa yang “diincar” dari kebijakan-kebijakan itu dan seberapa besar dampaknya terhadap hasil akhir Pilpres 2019 nanti?
Mata Elang, Siapa Target?
Sehari yang lalu, lewat akun media sosialnya, Jokowi – lebih tepatnya tim media sang presiden – memposting sebuah ilustrasi yang menyuratkan pesan perjuangan melawan korupsi.
Menariknya, caption postingan tersebut juga menyertakan kebijakan Mutual Legal Assistance (MLA) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Swiss yang menjadi platform hukum untuk mengejar hasil tindak kejahatan korupsi dan pencucuian uang.
Swiss memang menjadi salah satu negara tujuan penyimpanan kekayaan WNI karena alasan jaminan keamanannya. Konteks tersebut juga berhubungan dengan kerahasiaan informasi pemilik rekening, sumber keuangan dan lain sebagainya.
Bahkan, karena kerahasiaan data yang ditawarkan, tidak sedikit dana yang disimpan di sana juga bersumber dari kejahatan keuangan atau dana-dana “haram” – sekalipun belum pasti berapa besar jumlah uang tersebut.
Pada pertengahan 2017 lalu pemerintah Indonesia dan pemerintah Swiss telah menandatangani kesepakatan pertukaran informasi keuangan yang menjadi bagian dari Automatic Exchange of Information (AEoI).
AEoI sendiri merupakan kebijakan yang diwacanakan oleh negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD). Program ini mewajibkan negara-negara yang telah saling sepakat untuk bertukar data-data keuangan secara otomatis. Program ini bertujuan untuk mencegah penggelapan pajak yang umumnya merugikan pemerintah di sebuah negara.
Dengan Swiss sendiri, pertukaran informasi dana nasabah di bawah payung AEoI itu akan terjadi secara otomatis pada September 2019 mendatang. Sementara, pada akhir tahun 2018 informasi saldo atau keuangan akhir akan diberikan kepada pemerintah Indonesia.
Konteks data keuangan ini sendiri sebenarnya menjadi salah satu cara Sri Mulyani untuk menggenjot pemasukan negara di sektor pajak. Sehingga, boleh jadi optimisme Bu Menkeu terkait target pertumbuhan penerimaan dalam APBN 2018 salah satunya dipengaruhi oleh faktor ini.
Selain Swiss, Hong Kong dan Singapura adalah dua tempat WNI menyimpan kekayaannya, selain juga beberapa negara surga pajak lain. Dengan Hong Kong, kerja sama serupa juga sudah ditandatangani.
Sementara, dengan Singapura proses pembahasan kebijakan masih terus terjadi. Yang semulanya dikabarkan akan selesai pada September 2018 lalu, namun hingga kini belum ada kesepakatan yang tercipta di antara kedua negara.
Banyak spekulasi yang menyebut bahwa lamanya proses finalisasi kesepakatan ini terkait dengan kepentingan yang saling bertaut di dalamnya. Seperti sudah disinggung di awal, dari Rp 3.250 triliun kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri, sekitar Rp 2.600 triliun ada di Singapura. Artinya, jika pertukaran data keuangan di antara dua negara terjadi, maka tidak sedikit dana yang akan diselidiki oleh otoritas Indonesia.
Konteks Singapura ini menjadi menarik karena merupakan tujuan WNI menyimpan kekayaannya. Pertalian kepentingan di sektor keuangan dengan Singapura juga jauh lebih rumit mengingat negara tersebut menjadi investor terbesar di Indonesia.
Kepentingan ekonomi yang kompleks membuat kebijakan pertukaran data keuangan dengan Singapura ini masih butuh beberapa waktu untuk diselesaikan, bahkan tidak sedikit yang menilai hal ini akan sulit terwujud, setidaknya dalam waktu dekat.
Walaupun demikian, bagi nasabah yang menyimpan kekayaannya di entitas jasa keuangan di Singapura atau negara-negara lain, harus mulai siap-siap rela rekeningnya “diintip” oleh otoritas perpajakan jika kebijakan pertukaran data keuangan ini berhasil dicapai.
Peter Stein, Managing Director dari Private Wealth Management Association Hong Kong dalam tulisannya di South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa nasabah mau tidak mau harus menjadi bagian dari fenomena AEoI tersebut.
Negara pada akhirnya punya kekuasaan untuk mengintip isi tabungan setiap warga negaranya, bukan hanya di kantong-kantong penyimpanan dalam negeri, tetapi juga melampau batas yurisdiksi negara lain. Tujuannya memang bermanfaat untuk kepentingan rakyat banyak dan kelompok kecil, tetapi “menakutkan” untuk kelompok elite dan pengusaha.
Kebijakan “Menakutkan”, Gamesmanship
Dengan konteks Pilpres yang sebentar lagi dan fakta bahwa Jokowi kembali maju untuk perebutan kursi periode kedua, sangat mungkin kebijakan pertukaran data keuangan ini akan terus terjadi di masa-masa mendatang.
Pasalnya, masih banyak kasus-kasus kejahatan keuangan yang hingga saat ini belum jelas, misalnya dana yang diduga dikorupsi oleh Soeharto – seperti yang ditulis oleh Majalah Time – serta dana-dana dalam mega skandal macam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sementara, dalam konteks politik, program ini memang bisa disebut sebagai political gamesmanship. Konsepsi gamesmanship itu sendiri yang pertama kali dipopulerkan oleh penulis Inggris, Stephen Potter, sering diartikan sebagai mem-push permaianan atau kebijakan tertentu sampai pada batas yang paling mepet dengan konteks kecurangan atau pelanggaran.
Walaupun demikian, gamesmanship belum bisa disebut sebagai hal yang curang, sekalipun ada di kubu yang berseberangan dengan sportsmanship.
Istilah yang diadopsi dari bidang olahraga ini bisa dipakai dalam konteks politik ketika sebuah kebijakan tertentu di-push untuk tujuan tertentu – termasuk kepentingan elektoral – sampai batas tertingginya.
Dalam konteks kebijakan data keuangan Jokowi, persoalan penggelapan pajak terlihat di-push sedemikian rupa sampai pada titik program tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga “menjaring” dana-dana hasil korupsi dan kejahatan keuangan lainnya.
Strategi gamesmanship ini juga dilaksanakan oleh Wali Kota New York, Bill de Blasio dalam kebijakan pajaknya, di mana ia mem-push orang-orang kaya di kota tersebut untuk membayar pajak sampai pada “batas tertinggi”, demi membiayai program-program yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat bawah.
Bagi Jokowi, kebijakan data keuangan ini akan menguntungkan popularitasnya di hadapan masyarakat luas. Namun, program ini membuat ia berada di seberang kelompok elite dan orang kaya yang pada akhirnya bisa merugikan dirinya juga.
Pasalnya, kekuatan politik elite dengan sumber daya yang dimilikinya tidak bisa dianggap remeh. Pada akhirnya, semua akan kembali ke kata-kata Plato di awal tulisan ini, bahwa keadilan itu punya ukurannya tersendiri. (S13)