Site icon PinterPolitik.com

Kebijakan Anies, Antitesis Ahok

Banyak pihak menyebut, kebijakan Anies merupakan bentuk antitesis atau kebalikan dari kebijakan Ahok. Dalam hal apa saja?


PinterPolitik.com 

[dropcap]A[/dropcap]nies sudah terbukti merekrut kembali beberapa pejabat yang ‘bermasalah’ dengan Ahok untuk mengisi pos penting di pemerintahannya. Ternyata kebijakan Anies tersebut, tak menutup kemungkinan, merupakan salah satu cara untuk membendung kekuatan Ahok untuk maju pada Pilpres 2019 mendatang.

Siapa yang sangka, orang yang berada di balik jeruji besi tiba-tiba bertengger menjadi calon wakil presiden idaman 2019. Melihat hal itu, wajar kiranya bila Anies menjalankan sebuah kebijakan yang bertujuan menghadang kekuatan Ahok sekaligus memaksimalkan kekuatannya. Sebab, berhembus kabar, jika Anies diam-diam menyimpan hasrat pula untuk maju Pilpres 2019.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Anies ternyata harus mengambil langkah ‘terbalik’ atau menjadi antitesis Ahok, alih-alih mengekor format kebijakan Ahok yang dinilai populer. Apa saja bentuk antitesis yang dijalankan Anies?

Membalik Kebijakan Ahok

Selain merekrut orang-orang yang dahulu didepak oleh Ahok, Anies juga membalikkan kebijakan-kebijakan yang sudah dicanangkannya semasa ia memimpin Jakarta bersama Djarot. Kebijakan tersebut ada yang masih berupa wacana, sedang dalam tahapan perencanaan, dan sudah terealisasi.

Di minggu-minggu awal pemerintahannya, Anies mantap mencabut larangan sepeda motor yang melewati Jalan MH Thamrin sampai Jalan Medan Merdeka Barat. Awalnya, larangan tersebut dibuat oleh Ahok untuk mengurangi kemacetan di jalan protokol, namun malah berbuah protes dan kritik yang deras, terutama dari para pengguna sepeda motor. Di masa Djarot, peraturan tersebut dipertahankan, namun digantung tak tentu arah di akhir masa jabatannya.

Djarot Saiful (sumber: JawaPos)

Kini, saat kepemimpinan beralih kepada Anies, ia membatalkan peraturan tersebut dan kembali membolehkan sepeda motor melewati jalan protokol. Anies meminta peraturan tersebut direvisi agar bisa mengakomodasi sepeda motor. “Ternyata disampaikan ada peraturan yang menjadi dasar (larangan sepeda motor), maka peraturannya juga nanti akan diubah,” jelas Anies.

Bentuk antitesis kebijakan Anies terhadap kebijakan Ahok juga tercetak ketika ia membolehkan kegiatan Reuni 212 berlangsung di Monas beberapa waktu yang lalu. Padahal, menurut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta, kawasan Monas merupakan zona netral yang tak bisa diisi oleh kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan kesenian.

Ahok sendiri pernah memberi kritik kepada Anies bahwa usahanya untuk meloloskan kegiatan-kegiatan tersebut di Monas, tidak lagi berhadapan dengan peraturan gubernur melainkan keputusan presiden. Walau demikian, kegiatan Reuni 212, tetap saja melenggang tergelar dan dipenuhi massa.

Anies juga mengeluarkan wacana dan rencana terhadap Electronic Road Pricing atau jalan berbayar yang mengenai pengguna mobil di jalan protokol Jakarta. Karena sepeda motor kembali melintas, Anies mendari cara lain. Ia berencana untuk mencari teknologi yang lebih tepat dalam mengatasi hal tersebut.

Antitesis kebijakan Anies juga terlihat dalam perencaaannya pada penertiban Tanah Abang dan penataan Kampung Akuarium. Ketika Ahok menjabat, ia dengan keras melakukan penggusuran di Kampung Akuarium, sementara Anies berencana untuk kembali membangun puing-puing tersebut menjadi tempat tinggal.

Sementara dalam menangani Tanah Abang yang pelik, Ahok memberlakukan denda dan penyitaan kepada pedagang yang ketahuan berjualan di trotoar jalan. Tak hanya itu, Ahok juga menempatkan Satpol PP yang berjaga tiap beberapa waktu sekali untuk menghalau pedagang yang mengisi trotoar jalan. Dalam menghadapi tanah Abang, Anies mengambil rencana untuk membuat titik temu penumpang transportasi publik.

Kebijakan antitesis Anies, juga disadari oleh Wakil Ketua C DPRD DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak. “Ada kesan bahwa Gubernur dan Wagub kita sekarang memainkan peran selalu jadi antitesis kebijakan gubernur yang dulu,” kata Jhonny dalam rapat anggaran di Gedung DPRD DKI Jakarta pada Selasa (21/11/2017). Pernyataan itu dikemukakan saat menanggapi langkah Anies yang akan mencabut Penyertaan Modal Daerah (PMD) untuk beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kebijakan tersebut dinilai sangat kontras bila dibandingkan Ahok, sebab di masa pemerintahannya BUMD diberi banyak PMD setiap tahunnya. Menurut Jhonny, seharusnya BUMD diperkuat supaya bisa mengimbangi perusahaan swasta. Menurut Jhonny, mestinya BUMD tetap diberikan PMD dan juga harus memenuhi target-target yang diberikan pemerintah.

Anies dan Sandi sebelumnya mengatakan tidak akan memberikan PMD kepada PT. Jakarta Tourisindo, PD Dharma Jaya, Food Station, PD Pembangunan Sarana Jaya, dan Askrida. Dengan demikian, anggaran tahun 2018 untuk BUMD tersebut berkurang pula sebanyak Rp. 2,5 triliun.

Ahok Struktural, Anies Kultural

Mulai dari merekrut pejabat-pejabat yang didepak Ahok, hingga ‘membalikkan’ kebijakan yang sudah dibangun Ahok, tak hanya mengundang Jhonny Simanjuntak menilai bahwa kebijakan Anies merupakan antitesis dari kebijakan Ahok. Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, juga memiliki teori yang senada dengan ungkapan Jhonny.

Yayat Supriatna, dalam kesempatan Redbons Discussions dengan tema ‘Menanti Gebrakan Gubernur Baru’, memandang dari segi kebijakan yang diambil Anies, jelas berbeda dengan Ahok. Menurutnya, kebijakan Ahok lebih bersifat struktural. Hal tersebut bisa dilihat dari adanya terobosan peraturan dan anggaran.

Yayat Supriatna (sumber: Istimewa)

Format kebijakan Ahok yang struktural bisa dilihat dalam menangani pedagang di Tanah Abang yang menempati trotoar jalan, hingga keberadaan pasukan orange, pasukan biru, pasukan merah, dan sebagainya.

Sementara kebijakan Anies memang belum banyak terlihat, namun Yayat berpendapat jika pola pengambilan kebijakan Anies sangatlah kultural atau memakai pendekatan budaya. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan mengantar anak ke sekolah yang dicanangkannya saat masih menjadi menteri pendidikan.

Yayat melanjutkan bahwa besar kemungkinan gaya kepemimpinan Anies juga tak akan jauh dari format-format kultural seperti mengajak masyarakat yang lebih banyak didorong oleh upaya-upaya membangun karakter kota, membangun karakter masyarakat. “Misalnya seperti gerakan bebersih kampung, gerakan swadaya,” paparnya.

Kebijakan bersifat struktural yang diambil Ahok, diakui oleh Yayat memang bisa cepat terlihat hasilnya. Sementara format kebijakan kultural yang biasa dipilih oleh Anies, memerlukan waktu lebih lama untuk terlihat hasilnya.

Dengan demikian, menyebut kebijakan Anies merupakan bentuk dari antitesis kebijakan Ahok tak salah sama sekali. Anies sejak awal memang memiliki format pengambilan keputusan yang bersifat kultural dan melakukan pendekatan budaya.

Selain itu, Anies juga secara sadar memang ingin ‘membalikkan’ kebijakan yang sudah dibuat Ahok seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, mulai dari merekrut pejabat yang didepak Ahok, hingga menjadikan Monas sebagai titik kegiatan keagamaan, kesenian, dan kebudayaan.

Walau begitu, terlepas dari perbedaan dan antitesis yang nyata menjadi penanda pemerintahan Ahok dan Anies, kebijakan yang dimuat Anies haruslah mampu mendorong partisipasi dari masyarakat Jakarta. (Berbagai Sumber/A27).

Exit mobile version