Banyak konglomerat yang terpaksa ikut serta dalam program tax amnesty karena takut pada rencana negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) untuk menerapkan program Automatic Exchange of Information.
PinterPolitik.com
“The hardest thing in the world to understand is the income tax”.
[dropcap size=big]K[/dropcap]ata-kata tersebut diucapkan oleh Albert Einstein (1879-1955), salah satu ahli fisika paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia. Benarkah pajak penghasilan itu begitu sulit untuk dipahami? Einstein mungkin sangat ahli dalam fisika, tetapi apakah itu tidak cukup membantunya memahami pajak?
Mungkin hal yang sama juga sedang terjadi di Indonesia pasca berakhirnya periode tax amnesty atau pengampunan pajak pada 31 Maret 2017 lalu. Memahami tax amnesty memang sama sulitnya dengan memahami pajak itu sendiri. Setidaknya mungkin hal itulah yang membuat program ini dianggap gagal oleh banyak pengamat ekonomi, misalnya dalam tulisan di Nikkei Asian Review.
Walaupun demikian, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati tetap mensyukuri pencapaian pemerintah dalam program tax amnesty kali ini. Melalui akun facebooknya, ia menuliskan ucapan terima kasihnya kepada semua pihak yang membantu menyukseskan program ini.
‘Curahan hati’ Sri Mulyani ini cukup unik karena ditulis tangan dalam sebuah buku catatan harian, lalu difoto dan diunggah ke akun facebooknya. Saat ini mungkin sangat jarang menemui orang yang masih menggunakan buku catatan harian. Semuanya lebih suka menggunakan facebook, twitter, dan lain sebagainya untuk menuangkan pendapat maupun perasaannya, sementara wanita paling berpengaruh nomor 37 di dunia tahun 2016 versi majalah Forbes ini masih lebih suka menggunakan buku catatan. Salut, bu Sri!
Tentu bagi kebanyakan masyarakat biasa agak sulit menilai keberhasilan program tax amnesty ini dan bagaimana sebetulnya dampak program ini terhadap ekonomi Indonesia. Berhasil atau gagal?
Tax Amnesty dalam Angka
Di menit-menit akhir batas waktu pemberlakuan tax amnesty, tercatat hampir 1.000 orang masih menunggu untuk memasukkan dokumen ke Ditjen pajak. Hal ini membuat para pegawai pajak harus bekerja hingga larut malam. Lalu, apakah program ini berhasil?
Sebelum menilai gagal atau berhasil, baiklah kita sedikit mereview perjalanan program tax amnesty ini. Tax amnesty merupakan salah satu Undang-Undang yang diusulkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk masuk dalam RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada awal tahun 2016 lalu. Terlepas dari banyak penilaian miring yang mengatakan bahwa RUU Tax Amnesty adalah barter politik revisi UU KPK antara pemerintah dengan DPR, yang jelas, Undang-Undang ini adalah bagian dari rencana pemerintah untuk meningkatkan pendapatan nasional dari sektor pajak.
Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan 4 tujuan yang ingin dicapai pemerintah dengan adanya tax amnesty. Pertama, tujuan utama tax amnesty adalah, repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar negeri.
Kedua, dana yang berhasil direpatriasi tersebut diharapkan bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan nasional. Ketiga, program tax amnesty diharapkan mampu meningkatkan basis perpajakan nasional, yaitu aset yang disampaikan dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk pemajakan di tahun berikutnya. Dan yang keempat, dana tebusan yang terkumpul melalui program tax amnesty ini dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini. Lalu, bagaimana hasilnya? Berikut ini adalah data pencapaian program tax amnesty.
Hingga tanggal 31 Maret 2017, tax amnesty tercatat telah melibatkan 965.983 wajib pajak (WP) sebagai peserta. Sekitar 48.000 di antaranya merupakan WP yang benar-benar baru memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Penerimaan dana tebusan hingga masa akhir pemberlakuan tercatat mencapai 135 triliun rupiah atau sekitar 81,8% dari total target yang dicanangkan pemerintah.
Target lainnya berupa deklarasi harta kekayaan, mampu menembus angka 4.855 triliun rupiah atau 121,37% dari target. Jumlah ini tentu mengejutkan karena mencapai 40% dari total keseluruhan GDP Indonesia yang mencapai 10.542 triliun rupiah. Berdasarkan data dashboard tax amnesty, total harta yang dilaporkan tersebut terdiri dari deklarasi harta dalam negeri sebesar 3.676 triliun rupiah dan deklarasi harta luar negeri yang mencapai 1.031 triliun rupiah.
The amount declared during the amnesty is equivalent to 40% of Indonesia's GDP and 90% of the money supply https://t.co/Gy6gRTsPgL
— The Economist (@TheEconomist) April 2, 2017
Sementara realisasi dana repatriasi menjadi indikator kinerja dengan capaian paling rendah. Hingga masa penutupan, nominal yang dihasilkan hanya 147 triliun rupiah atau berkisar 14,7%, jauh dari target yang mencapai angka 1.000 triliun. Wow, mengapa bisa sedemikian rendah?
Ada beberapa hal yang bisa dipakai sebagai alasan untuk menjelaskan rendahnya realisasi dana repatriasi, misalnya keterkaitan repatriasi dengan tingkat kepercayaan dan kredibilitas daya saing investasi di Indonesia. Mungkin banyak WNI yang memiliki harta di luar negeri cenderung merasa asetnya lebih aman jika tetap berada di luar negeri. Adapun dana tebusan yang terkumpul pada periode ketiga sebesar 20,91 triliun rupiah diharapkan ikut memperkuat kas anggaran untuk belanja pemerintah pada tahun 2017.
Tax Amnesty https://t.co/DCjcINWbAu pic.twitter.com/tCvs4y0cw1
— Politik Today (@PolitikToday) April 1, 2017
Tax Amnesty: Gagal atau Berhasil?
Dari data-data tersebut, bisa disimpulkan bahwa program tax amnesty ini tidak sepenuhnya berhasil, tidak pula sepenuhnya gagal. Keberhasilan program tax amnesty bisa dilihat dari jumlah pengungkapan harta kekayaan yang mencapai 40 % dari total GDP. Jumlah ini tentu saja sangat besar, apalagi 75 % dari jumlah tersebut adalah harta yang berada di dalam negeri. Artinya, pada periode tahun berikutnya pemerintah boleh jadi akan mengalami peningkatan pendapatan dari sektor pajak.
Namun, dari sisi repatriasi dana, program ini belum mampu memaksimalkan repatriasi kekayaan dari luar negeri. Hanya 14,7 % dana yang berhasil direpatriasi. Selain itu, pemerintah menargetkan 2 juta orang akan ikut serta dalam program tax amnesty, namun faktanya hanya setengah dari target yang terlibat dalam program ini. Target penerimaan dari dana tebusan pun meleset. Pemerintah menargetkan 165 triliun rupiah, namun yang terkumpul hanya 135 triliun rupiah.
Tax amnesty juga dianggap gagal memenuhi target wajib pajak baru. Setelah diberlakukan, jumlah wajib pajak baru hanya 3,05 juta di tahun 2016, terpaut tipis dengan jumlah wajib pajak baru pada tahun 2015 sebesar 2,73 juta. Bahkan jumlahnya akan jomplang kalau dibandingkan dengan jumlah wajib pajak baru pada tahun 2008 yang mencapai 10,29 juta dan meningkat menjadi 15,74 juta wajib pajak di tahun 2009.
Dari fakta-fakta tersebut, jelas bisa terlihat bahwa program tax amnesty ini tidak sepenuhnya berhasil – walaupun harus diapresiasi pula keberhasilan pemerintah mendorong pengungkapan harta kekayaan. Terlepas dari berhasil atau tidaknya program ini, beberapa pihak menilai bahwa program tax amnesty ini berhasil mengungkapkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia ternyata sangat dalam. Kok bisa?
Tax Amnesty: Bukti dalamnya Korupsi?
John McBeth – seorang jurnalis asal Selandia Baru yang malang melintang di Asia Tenggara – menulis di Asia Times bahwa program tax amnesty ini sesungguhnya menggambarkan betapa dalamnya persoalan korupsi di Indonesia. Dalam sebuah penelusuran yang dilakukannya, ia menemukan bahwa banyak konglomerat di Indonesia tidak mau menyimpan aset kekayaannya di dalam negeri karena seringkali diperas oleh oknum pegawai pajak. Bahkan beberapa konglomerat mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai pegawai-pegawai Ditjen Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia masih sangat korup. Ini sejalan dengan fakta bahwa Ditjen pajak adalah salah satu departemen yang paling sering terkena kasus korupsi.
Sri Mulyani: Tax Amnesty Juga untuk Ampuni Petugas Pajak https://t.co/VItFldJMTH via @detikfinance pic.twitter.com/KMDA592caA
— detikcom (@detikcom) March 31, 2017
Dokumen Panama Papers lebih jauh menggambarkan hal tersebut. Bahkan, menurut McBeth, banyak konglomerat yang terpaksa ikut serta dalam program tax amnesty karena takut akan rencana negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) untuk menerapkan program Automatic Exchange of Information. Ketakutan ini beralasan, mengingat program ini akan membuat otoritas pajak dari negara seperti Indonesia bisa mendapatkan akses informasi akurat terkait harta kekayaan warga negaranya yang disimpan di luar negeri.
Selain itu, dalam program tax amnesty para petugas pajak tidak akan mempertanyakan dari mana dana-dana tersebut berasal – banyak yang bahkan mungkin merupakan hasil korupsi. Sementara, jika program Automatic Exchange of Indormation OECD berlaku, maka bisa jadi akan ada banyak orang yang terjerat kasus korupsi karena petugas pajak akan menelusuri asal uang-uang tersebut. Oleh karena itu, program tax amnesty ini adalah salah satu jalan bagi kebanyakan konglomerat untuk menyelamatkan dana-dananya, khususnya dana-dana yang berasal dari sumber ‘haram’.
Wow, fakta ini tentu mengejutkan. Apakah hal itu berarti program tax amnesty ini sebetulnya memang dikondisikan oleh sebagian pihak untuk mengamankan kekayaannya? Bukan rahasia lagi kalau antara politisi dan konglomerat-konglomerat besar seringkali punya hubungan yang saling mempengaruhi. Kalaupun benar, berarti betapa bercabangnya program tax amnesty ini. Lalu, apakah itu berarti tax amnesty ini benar-benar untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak, atau hanya ‘kerjaan’ segelintir orang untuk mengamankan kekayaannya?
Sadar Pajak dan Bebas Korupsi!
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, namun hanya 32 juta jiwa yang tercatat sebagai wajib pajak, bahkan pada tahun 2016 hanya 8,9 juta orang yang membayar pajak. Hal ini tentu saja memprihatinkan mengingat berjalannya negara ini sangat bergantung dari pendapatan yang mayoritas bersumber dari pajak. Oleh karena itu, budaya sadar pajak merupakan kunci utama pembangunan dan pemerataan kesejahteraan di negara ini.
Jangan ki lupa laporkan SPT Tahunan ta' nah ??? #bayarpajakkeren #sadarpajak #sadarapbn pic.twitter.com/xJa1kq5wia
— #PajakKitaUntukKita (@PajakMamuju) March 8, 2017
Selain itu, repatriasi dana dari Hongkong, Singapura, British Virgin Island, ataupun Cayman Island menunjukkan persoalan korupsi yang besar di Indonesia. Banyak konglomerat yang takut menyimpan aset kekayaannya di dalam negeri karena sering diperas oleh oknum pegawai pajak. Oleh karena itu, perlu ada pembersihan dan perbaikan di Ditjen pajak agar bebas dari korupsi. Jika Ditjen pajak sudah bersih, maka niscaya uang-uang rakyat akan lebih mudah dikelola dan mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
“When there is an income tax, the just man will pay more and the unjust less on the same amount of income.”
‘Di mana ada pajak penghasilan, orang yang adil akan membayar lebih, sementara orang yang tidak adil akan membayarkan kurang, walaupun keduanya mempunyai jumlah pendapatan yang sama’. Kata-kata Plato ini menggambarkan betapa orang bisa berlaku adil dengan membayar pajak. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap menjadi orang-orang yang ‘adil’ membayar pajak? (S13)