Site icon PinterPolitik.com

Keberanian Fadli Zon, Sebuah Perjudian?

Keberanian Fadli Zon, Sebuah Perjudian

Fadli Zon berjabat tangan dengan tokoh Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, saat melakukan audiensi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Januari 2017 silam. (Foto: Antara)

Pasca kabar tewasnya enam laskar FPI kemarin dalam sebuah insiden, politisi Gerindra Fadli Zon mengambil sikap dan keberpihakan yang cukup tegas. Lantas, mengapa Fadli mengambil sikap yang begitu berani pada konteks yang cukup sensitif ini? Apakah terdapat motif tertentu yang bersifat politis di baliknya?


PinterPolitik.com

Khalayak tampak tersentak hebat saat sebuah kabar yang cukup mengejutkan hadir pasca konferensi pers di Polda Metro Jaya kemarin. Disebutkan bahwa aparat keamanan terlibat insiden bersenjata dengan orang-orang yang disebut merupakan pengawal atau simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS) di ruas tol Jakarta-Cikampek.

Hal yang membuatnya menjadi buah bibir dan perdebatan hingga detik ini ialah, terdapat enam orang tewas sebagai hasil dari insiden itu, yang semuanya merupakan pengawal atau simpatisan sang Imam Besar Front Pembela Islam (FPI).

Peristiwa ini bahkan secepat kilat dan serempak menghiasi pemberitaan media mancanegara terkemuka.

Walaupun pihak kepolisian telah menyampaikan latar belakang dan kronologi kejadian, perdebatan di publik tak dapat terbendung ketika sejumlah pihak cukup menyayangkan timbulnya korban jiwa dari peristiwa tersebut.

Indonesian Police Watch (IPW) misalnya, menyatakan bahwa ada tujuh kejanggalan pada insiden itu, mulai dari dipertanyakannya peran intel atas eksistensi senjata hingga SOP yang digunakan aparat.

Selain itu, dikarenakan terdapat sejumlah versi yang berbeda dari kedua pihak yang terlibat insiden, IPW, Komnas HAM, Komisi III DPR, hingga Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), ramai-ramai bersuara dan mendesak dibentuknya sebuah tim independen untuk mengusut peristiwa tersebut.

Di luar itu, terdapat pula sejumlah pihak yang berdiri di salah satu versi atau pun menentukan sikap dalam kasus ini. Seperti yang ditunjukkan oleh politisi kawakan Gerindra, Fadli Zon. Melalui media sosial pribadinya, Fadli dengan tegas bersikap bahwa keenam orang yang tewas tersebut diperlakukan dengan keji.

Sebelumnya, Fadli sendiri memang telah menunjukkan arah sikapnya dengan cuitan awal yang menyebut bahwa keenam orang yang meregang nyawa itu sebagai mereka yang berjuang di jalan kebenaran.

Namun, tendensi keberpihakan Fadli seolah sangat berani ketika mengacu pada rilis resmi aparat yang berwenang, maupun investigasi lanjutan yang masih dalam tahap “desakan”.

Lantas, mengapa Fadli Zon mengambil sikap yang begitu tegas dan berani pada persoalan yang cukup sensitif ini?

Upaya Rekonsiliasi?

Dalam konteks politik, sikap Fadli Zon dalam merespons kasus terbaru FPI dan aparat, tidak menutup kemungkinan merupakan sebuah manuver tersendiri. Akan tetapi manuver tersebut agaknya bukan manuver biasa, ketika isu yang mengemuka memang cukup sensitif dengan tensi ketegangan yang berkembang sesungguhnya cukup tinggi.

Setelah muncul versi berbeda dari dua kutub yang terlibat dalam kasus ini, salah satu pihak – yakni kubu HRS, FPI, dan mereka yang bersimpati kepadanya – tampaknya juga merasakan diperlakukan kurang adil.

Dari sudut pandang yang diambil Fadli, bisa jadi Anggota Komisi I DPR RI itu mengadopsi signifikansi keadilan atau justice yang dikemukakan oleh Socrates. Justice sendiri dibahas Socrates dalam hal dimensi politik maupun dimensi individu atau jiwa individu.

Berangkat dari signifikansi yang esensial bahwa eksistensinya berada di level tertinggi pemenuhan kebutuhan alamiah manusia, justice atau keadilan dikatakan menjelma menjadi tujuan politik yang worth atau pantas untuk diperjuangkan dan memiliki nilainya sendiri.

Ini terbukti dari begitu aktifnya Fadli di beranda Twitter-nya dalam menyikapi kasus ini, serta juga dalam hal membangun narasi yang cenderung “membela” kubu FPI yang dinilai kehilangan simpatisannya.

Mengedepankan tuntutan keadilan maupun sikap empati serta afeksi sendiri sepertinya memang menjadi penting untuk dikedepankan dalam bereaksi atas kasus sensitif ini.

Meskipun tentu tetap harus diiringi dengan kehati-hatian atas potensi keberpihakan yang kurang tepat, di satu sisi sikap tersebut dinilai vital demi tetap menjaga ketegangan yang ada tak meledak menjadi tendensi konfliktual yang terbuka.

Dan pada dimensi berbeda, sekali lagi, Fadli Zon mungkin saja juga ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang contrarian sejati. Contrarianism atau kontrarianisme sendiri merupakan salah satu bentuk ekspresi dalam menghadapi hegemoni yang “mencekik”, di mana narasinya dapat terus memelihara visi dan membuka cakrawala baru.

Praktik-praktik kontrarian dapat terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya sikap oposisi, perlawanan, perbedaan pendapat, non-kooperatif, kontestasi, subversi, hingga sabotase. Selain itu, dapat dipraktikkan dari dalam sistem, dari marginnya, atau dari posisi eksternal. Saat ini, kontrarianisme juga dipersenjatai sebagai strategi retoris oleh gerakan politik yang berusaha untuk mengkonsolidasikan atau meradikalisasi struktur politik maupun kekuasaan yang ada.

Kendati memang mustahil untuk berada dalam tahap seperti sabotase atau subversi, karakteristik tersebut tampaknya memang relevan untuk menggambarkan berbagai sikap Fadli Zon selama ini yang dengan kontrarianismenya, tak jarang dikatakan menjadi aktor utama dalam tendensi politik dua kaki Gerindra sebagai koalisi pemerintah.

Ketika berbicara politik, sikap Fadli atas kasus tersebut agaknya tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai politisi, di mana kemungkinan adanya kepentingan politik tertentu juga patut diperhitungkan.

Setelah bergabung dengan pemerintah, Gerindra dan Prabowo Subianto tampak memiliki kesenjangan yang cukup lebar dengan kalangan konservatif Islam. Bahkan sampai sekarang masih ada kesan bahwa kelompok seperti FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 kecewa berat dengan keputusan Prabowo dan Gerindra yang bergabung dengan pemerintah.

Hal ini tercermin misalnya dari pernyataan Ketua PA 212 Slamet Ma’arif yang di tengah ramainya proyeksi Prabowo dalam bursa Capres 2024, yang justru menyebut eks Pangkostrad itu sudah “selesai”.

John McBeth dalam The Shape of Things to Come in Indonesia, melihat bahwa gelagat kekecewaan koalisi konservatif Islam, yakni PA 212, bahkan sudah hadir ketika Prabowo dan Presiden Jokowi melangsungkan pertemuan di MRT.

Dan sikap berani Fadli Zon bisa jadi merupakan salah satu upaya secara gradual untuk kembali merangkul kelompok itu secara politik, setelah sebelumnya juga sowan dengan HRS di Petamburan sepulangnya dari Arab Saudi.

Kendati begitu, sikap dan manuver Fadli Zon sepertinya memiliki risiko tersendiri yang cukup besar dan mungkin tak disadari sepenuhnya. Benarkah demikian?

Dibayangi Blunder Ratna Sarumpaet?

Dalam insiden berdarah kemarin, tampak ada satu celah tersendiri dari sikap yang cenderung menunjukkan keberpihakan Fadli Zon. Celah tersebut ialah mengenai probabilitas yang ada ke depannya terkait investigasi kasus ini.

Menurut Ketua Setara Institute, Hendardi, jika benar terbukti bahwa senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya dalam konferensi pers kemarin adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam, bisa diterima.

Apalagi jika di kemudian hari bukti-bukti dari investigasi independen yang lebih dalam, maupun investigasi lanjutan Polri, menjadi cukup kuat dan kemudian dapat diterima menjadi sebuah fakta yang utuh.

Artinya, sikap berani Fadli Zon tampaknya bak perjudian tersendiri karena masih memiliki peluang untuk keliru jika berkaca pada skala faktualitas kasus yang masih berdinamika.

Sebuah kekeliruan yang mungkin saja jadi bumerang dan menjadi preseden negatif bagi dirinya secara personal, atau pun kemungkinan impresi yang berusaha ditampilkan, termasuk yang secara tidak langsung tertuju pada Gerindra maupun Prabowo.

Terlebih lagi efek bumerang serupa sebenarnya pernah Fadli alami dalam kasus hoaks Ratna Sarumpaet pada Oktober 2018 lalu. Ketika itu, dirinya juga tegas bersikap bahwa Ratna mendapatkan perlakuan keji sebelum akhirnya terbukti hanya narasi dusta semata dari aktivis sosial senior itu.

Ihwal itu pula yang kemungkinan punya dampak politik dengan derajat tertentu pada Gerindra serta Prabowo yang akhirnya harus menyerah di ajang Pilpres 2019.

Bagaimanapun, preferensi dan sikap kontrarian yang ditempuh Fadli Zon dinilai tetap harus dihormati. Akan tetapi, tendensi keberpihakan tersebut mungkin akan lebih elok jika dibarengi dengan narasi yang benar-benar berlandaskan justifikasi faktual, serta dapat menenangkan semua pihak dalam ketegangan situasi yang terjadi saat ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version