Beberapa hari lalu, kebakaran besar terjadi di depo milik Pertamina di wilayah Plumpang. Kebakaran tersebut juga menyambar pemukiman yang berada dekat dengan depo tersebut. Namun mengapa respon politik sungguh diluar dugaan? Apakah kejadian ini terlalu menarik untuk dijadikan bahan propaganda politik?
“Better to write for yourself and have no public, than to write for the public and have no self” – Cyril connolly
Kebakaran sebuah depo milik Pertamina sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pasalnya, pada 2021 lalu, depo Pertamina di wilayah Indramayu pernah terbakar. Namun, dalam peristiwa kebakaran depo Pertamina di Plumpang pada 3 Maret lalu, pantas jadi sorotan karena menimbulkan korban yang tak sedikit.
Pemukiman warga di wilayah Tanah Merah, yang berada dekat sekali dengan depo tersebut ikut terbakar. Akibat kebakaran tersebut, beberapa orang menjadi korban meninggal dunia dan luka-luka.
Kebakaran yang terjadi sekitar seminggu yang lalu itu masih menimbulkan polemik besar di kalangan masyarakat. Polemik tersebut berpusat pada satu pertanyaan, yaitu siapa yang harus “angkat kaki” dari wilayah Plumpang? Apakah Pertamina, atau warga yang tinggal di sekitarnya?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berpesan bahwa harus ada solusi terkait permasalahan ini, akan tetapi, apakah penyelesaian tersebut benar-benar ada?
Siapa yang Harus Angkat Kaki?
Penyelesaian masalah ini ternyata lebih kompleks dan rumit dibanding menyelesaikan masalah kebakaran itu sendiri. Perdebatan soal siapa yang lebih berhak atau siapa yang lebih dulu berada di sana, antara Pertamina dan warga, ternyata sama rumitnya dengan perdebatan tentang siapa yang muncul terlebih dahulu, ayam atau telur?
Menurut catatan sejarah, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang telah beroperasi sejak 1974. Awalnya, daerah di sekitar kilang tersebut masih berupa rawa-rawa, namun karena didorong oleh pesatnya pertumbuhan Ibu Kota Jakarta, lama kelamaan makin banyak wilayah di sekitar TBBM yang malah dijadikan pemukiman oleh penduduk.
Khusus wilayah Tanah Merah, tercatat mereka hanya dipisahkan oleh tembok saja dengan TBBM Plumpang. Tentunya hal ini sangat beresiko bagi keselamatan warga di sekitar daerah tersebut.
Sebagaimana lazimnya, sebuah landmark penting di sebuah daerah, TBBM Plumpang tentu “mengundang” kedatangan warga untuk tinggal di sekitar daerah tersebut. Meskipun ancaman kesehatan berupa resiko kanker menghantui, namun tidak menyurutkan minat masyarakat untuk tinggal di daerah tersebut.
Maka dari itu jelas, legalitas masyarakat setempat tidak berdasar. Sehingga perlu tindakan tegas dari pemerintah untuk menertibkan masyarakat tersebut. Tentunya tanggung jawab kepada para korban tetap harus dipenuhi, namun pemindahan warga adalah solusi terbaik untuk masalah ini.
Dengan memindahkan kilang, tentunya memerlukan waktu dan sumber daya lebih banyak untuk dikerahkan. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah juga lebih besar.
Apalagi kondisi TBBM yang berdempetan dengan pemukiman warga bukan hanya terjadi di wilayah Plumpang, namun banyak kilang lain yang kondisi nya sama. Contohnya seperti TBBM di Indramayu, Cikampek hingga Surabaya mengalami kondisi serupa.
Maka apabila pemindahan menjadi solusi yang diambil, tentu sejalan dengan itu TBBM di wilayah lain yang lokasi nya sama seperti Plumpang harus ikut dipindahkan. Maka nantinya masalah ketersediaan lahan menjadi tantangan tersendiri untuk kedepannya.
Seperti pendapat dari Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, yang menyatakan bahwa kebiasaan warga menyerobot lahan kosong milik pemerintah telah jamak dilakukan. Ia mencontohkan dengan fenomena pemukiman di sekitar rel kereta api yang tumbuh subur.
Ia justru mempertanyakan kenapa pemerintah seakan membiarkan hal tersebut, termasuk dalam kasus depo Plumpang, kenapa kepala depo membiarkan hal tersebut terjadi hingga sekarang sudah mengakar kuat di daerah tersebut.
Fabby tetap mengakui kalau secara tiba-tiba menggusur wilayah pemukiman tersebut juga tidak etis dan manusiawi, sehingga menurutnya harus ada solusi lain, bukan dengan memindahkan depo.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pemerintah jangan mau kalah dengan para penyerobot lahan, apabila tanah tersebut jelas jelas milik Pertamina. Keputusan pemerintah yang akan memindahkan depo ke tanah milik Pelindo, menurutnya menjadi bukti mengalahnya pemerintah dengan para penyerobot lahan.
Di samping perdebatan antara hak pertamina dan warga, fenomena propaganda politik justru menjadi subur digunakan oleh banyak pihak.
Kekhawatiran terulangnya peristiwa serupa kemudian membuat pertanyaan tersebut juga menjadi bola liar yang dimanfaatkan oleh sejumlah pihak, salah satunya adalah politisi. Teori konspirasi yang bermunculan, hingga kesalahan pejabat- pejabat lama turut menjadi pembahasan hangat seputar peristiwa ini.
Pejabat lama menjadi sasaran kritik dan framing negatif dan disalahkan atas kejadian ini, sementara teori konspirasi diarahkan menjadi kecurigaan dengan pemerintah saat ini. Apakah musibah ini bisa digunakan untuk ”perang” politik?
Potensi Bahan Propaganda Politik?
Fokus pembahasan soal masalah kebakaran ini semakin melebar ke banyak hal. Alih-alih menyelesaikan sengketa tanah yang seharusnya menjadi area buffer zone di TBBM tersebut, opini masyarakat justru lebih terarahkan kepada pejabat mana yang harus bertanggung jawab.
Politisasi bencana sebenarnya merupakan hal yang “wajar” atau sebagaimana mestinya. Seperti analisis Horhager dari Universitas Goethe, dalam kajian nya yang berjudul Implikasi politik dari bencana alam: konsolidasi rezim dan konstelasi politik, ia membagi politisasi bencana dalam 3 fase. Fase pertama, masa terkejut yang dialami oleh semua pihak, sehingga membuat pendapat dan konsensus orang orang berfokus pada hal yang sama yaitu evakuasi dan penyelamatan korban.
Fase kedua adalah fase bermunculannya opini dan pendapat pendapat. Beberapa kelompok korban mulai menyerukan keluhan mereka, sehingga mulai terjadi “ketidaksamaan” pendapat dalam masyarakat. Hal inilah yang kemudian nantinya akan dieksploitasi oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan.
Terakhir, yaitu fase ketika perbedaan opini dan pendapat mulai masuk ke lingkup yang lebih luas. Mobilitas kepentingan dapat bergerak lebih luas dibanding sebelumnya. Pada fase inilah setiap pihak akan membawa pandangan masing masing soal isu kerentanan dan keadilan sosial. Ini adalah fase dimana terjadi “perang” kepentingan dan opini.
Jika kita berkaca ke kasus depo Plumpang, tentunya harapan akan opini yang “berperikemanusiaan” sangatlah besar. Jangan sampai peristiwa tersebut menjadi ladang propaganda oleh sebagian pihak, terlebih dengan semakin dekatnya waktu pemilihan umum (pemilu) pemilu di Indonesia.
Kesalahan yang terjadi di masa gubernur sebelumnya sebaiknya dibenahi, bukan untuk diungkit kembali. Entah karena KTP yang dikeluarkan di zaman Jokowi, atau IMB yang diterapkan di zaman Anies Baswedan, jelas bahwa masyarakat di sana tidak memiliki hak penuh atas wilayah yang seharusnya menjadi buffer zone bagi depo.
Pemerintah harus punya solusi untuk memindahkan warga dari sana dengan baik, dalam artian tidak diusir dan ditelantarkan. Ketidaktegasan untuk penindakan mereka di masa lalu, membawa kondisi rumit di masa sekarang.
Dan penting untuk dipahami oleh pemerintah, bahwa definisi dari pemerintahan pro-rakyat, bukan berarti menuruti semua kemauan dan kehendak rakyat, melainkan memberikan solusi dan keputusan yang adil bagi seluruh rakyat.
Jangan hanya karena soal kampanye politik, masalah ini malah berkembang menjadi semakin pelik kedepannya. (R87)