Fadli Zon dikenal sebagai politisi yang sering melempar kritik pedas pada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Akan tetapi, beberapa bulan terakhir ini Fadli justru terlihat sebagai sosok yang lebih lembut. Mengapa demikian?
“Ngomong2, Pak @fadlizon kok lama tak muncul,” akun Twitter Mahfud MD @mohmahfudmd (11/8/2022)
Untuk yang senang memperhatikan dinamika politik Indonesia, kalian pastinya kenal dengan sosok bernama Fadli Zon. Yess, anggota DPR sekaligus Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra tersebut terkenal dengan komentar-komentarnya yang tidak jarang menyentil pemerintah dengan nada yang pedas.
Ketika pandemi Covid-19 menyerang Indonesia misalnya, Fadli menjadi salah satu orang yang keras mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam menanggapi masuknya virus tersebut. Di antaranya, Fadli bahkan pernah menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta maaf atas banyaknya warga Indonesia yang meninggal.
Tapi, kritik Fadli yang paling dikenang mungkin adalah ketika ia menyindir kegiatan Jokowi di Sirkuit Internasional Mandalika. Fadli menyelamati Jokowi, tapi juga membuat komentar sarkas tentang banjir di kawasan Sintang, Kalimantan Barat, yang belum kunjung surut usai tiga minggu.
Kritikan pedas tersebut-lah yang mungkin jadi puncak kritik Fadli terhadap Jokowi. Yap, sejak November 2021, bulan ketika ia melempar kritik tersebut, Fadli bisa dikatakan hampir tidak pernah lagi menjadi sorotan utama media. Dalam beberapa bulan terakhir, berita tentang Fadli bahkan akan jarang sekali kita temui.
Sementara, pada tahun 2022 hingga awal 2023, kritik yang dilempar Fadli bisa dikatakan tidak pernah lagi fokus tertuju pada Jokowi. Memang, beberapa berita tentangnya ada yang berupa kritik, tapi mereka lebih ditujukan pada kinerja kementerian dan institusi negara secara umum, tidak lagi berupa sentilan pedas terhadap Jokowi dan menteri-menterinya.
Terakhir, Fadli hanya disoroti atas komentar-komentarnya tentang kesiapan partai Gerindra menyambut Pemilihan Umum 2024 (Pemilu), itu pun tidak pernah jadi headline pemberitaan.
Hal ini tentu menarik karena sejujurnya popularitas Fadli terbangun atas kritik-kritik pada Jokowi yang kerap ia berikan. Bahkan, PinterPolitik pernah mengasumsikan Fadli sebagai “Antagonis Demokrasi” karena kontribusinya dalam menciptakan diskursus di masyarakat, sesuatu yang tidak banyak politisi bisa melakukannya. Pembahasan tersebut bisa dilihat di artikel berjudul Fadli Zon si Antagonis Demokrasi.
Dari sini kemudian bisa kita lempar pertanyaan menarik. Kenapa Fadli yang sekarang tidak seperti Fadli yang dulu?
Perseteruan Fadli-Prabowo Serius?
Satu hal yang menarik terkait komentar Fadli terhadap kehadiran Jokowi di Sirkuit Mandalika adalah tidak lama setelahnya, Ketum Gerindra, Prabowo Subianto, dikabarkan “menyentil” Fadli atas ucapannya pada Jokowi.
Dikabarkan melalui Juru Bicara (Jubir) Gerindra, Habiburokhman pada 15 November 2021, Fadli mendapatkan teguran langsung dari Prabowo. Menurutnya, teguran tersebut dilayangkan karena apa yang dikatakan Fadli bukan merupakan suara partai.
Menariknya, setelah kabar tersebut, Fadli juga menghilang dari media sosial selama berminggu-minggu, padahal, akun Twitternya selalu diisi dengan kritik-kritik pada Jokowi. Karena itu, publik pun ramai-ramai berspekulasi, mungkin saja Fadli sebenarnya diinstruksikan oleh Prabowo untuk tidak lagi mencari perhatian publik dengan melempar kritik pada Jokowi.
Walaupun argumen itu hanya asumsi belaka, pantas bila kita merefleksikannya kembali ke fenomena “melunaknya” Fadli saat ini. Bisa saja, Fadli sekarang memang meminimalisir komentar pedasnya karena ia masih berada dalam tekanan untuk tetap berada dalam sisi baik Prabowo.
Dan sebenarnya tidak terlalu imajinatif untuk membayangkan hal itu. Ahli psikologi dan sosiologi ternama, Richard Emerson, melalui gagasannya power dependance theory atau teori kebergantungan kekuasaan, menjelaskan bahwa individu yang lebih memiliki kekuasaan dalam suatu organisasi akan selalu dibutuhkan oleh mereka yang kekuasaannya lebih kecil. Fenomena ini menciptakan ketergantungan antara bawahan dengan atasan, yang kemudian mampu merubah perilaku dari bawahan tersebut.
Dalam konteks hubungan atasan-bawahan sebuah partai politik, teori ini meyakini bahwa seorang bawahan partai sudah dipastikan akan bergantung pada sisi baik ketuanya, karena segala kekuatan yang dimiliki partai, seperti jabatan atau “proyekan”, hanya akan diberikan bila ketuanya menyukai bawahannya. Sebaliknya, kekuatan partai untuk menghukum anggotanya pun juga bergantung pada “mood” dari sang ketum.
Teori ini kemudian dapat menjelaskan bahwa perubahan perilaku seorang kader partai, besar kemungkinannya merupakan respons strategis terhadap dinamika kekuasaan yang sedang dimainkan di dalam partainya. Dengan menyelaraskan perilaku mereka dengan preferensi dan harapan ketum, bawahan tersebut menyadari bahwa mereka perlu terus berada dalam sisi baik ketumnya jika tidak ingin dianggap tidak penting, atau lebih parahnya, diberi hukuman.
Nah, terkait sifat Fadli yang sekarang terlihat melunak, jika kita mengacu pada teori ini, bisa kita asumsikan bahwa Fadli mungkin hingga sekarang belum mendapat “persetujuan” Prabowo untuk kembali ke sifat lamanya sebagai seorang pengritik keras. Bahkan, bisa diasumsikan juga bahwa dugaan perselisihan pendapat antara Fadli dan Prabowo adalah hal yang nyata dan serius. Buktinya, Fadli perlu merubah citra politiknya secara keseluruhan hingga sekarang, padahal kritik pedas adalah yang membuat Fadli berbeda dari politisi lain.
Namun, kalau sudah demikian, kita pun perlu melemparkan satu pertanyaan penting. Apa yang membuat Fadli tetap perlu menjaga sikapnya sampai sekarang?
Semua Demi Jokowi?
Seperti yang sudah disinggung pada bagian awal tulisan ini, ketika masanya, Fadli sangat sering memberikan kritik pedas pada Jokowi. Meskipun tidak bisa kita simpulkan secara pasti, kritik-kritik pedas itu bisa jadi dasar asumsi bahwa mungkin saja keluhan yang dilemparkan Fadli pada Jokowi didasari oleh perbedaan pandangan yang begitu kuat.
Masalahnya, Pemilu 2024 semakin dekat, dan kepentingan para ketum partai untuk mendapatkan keunggulan yang sebesar-besarnya telah jadi prioritas utama. Hal ini tentunya termasuk juga dukungan presiden pada capres-capres yang akan berkontestasi.
Yap, kebetulan sekali Prabowo saat ini menjadi salah satu bakal capres yang kerap mendapatkan sinyal dukungan dari Jokowi. Oleh karena itu, sangat masuk akal bila Prabowo memerlukan seluruh anggota Partai Gerindra untuk bersikap dalam satu koridor demi memastikan sinyal dukungan Jokowi padanya sebagai capres 2024 dapat menjadi kenyataan.
Namun, sebagai manusia yang lahir di negara demokrasi, tentunya kepatuhan seorang bawahan partai pada keputusan ketumnya tidak menjamin bahwa ia sejatinya mendukung keputusan tersebut. Psikolog asal Amerika Serikat (AS), bernama Stanley Milgram, yang pernah melakukan penelitian tentang kepatuhan dan kesetiaan pada tahun 1960-an, menyebutkan bahwa kekuatan kepatuhan pada otoritas selalu memiliki kemungkinan untuk berbenturan dengan keputusan moral pribadi seseorang.
Ini artinya, walaupun Fadli mungkin saat ini merasa perlu tetap mematuhi instruksi Prabowo dan Gerindra untuk tidak memberikan kritik secara berlebihan pada Jokowi, wajar pula bila ia masih mempertahankan sifatnya sebagai pengritik.
Pada akhirnya, bila memang benar bahwa kritik yang kerap dilontarkan Fadli pada Jokowi dulu dilandaskan pada perbedaan pandangan politik yang fundamental, tidak heran bila suatu waktu akhirnya Fadli merasa perlu pindah ke kubu politik lain agar mendapatkan kebebasan untuk kembali ke citra dirinya sebagai pengritik. Terlebih lagi, politik adalah dunia yang begitu dinamis, segala halnya akan selalu bisa berubah meskipun pada awalnya perubahan tersebut tidak pernah terpikirkan.
Tapi kembali lagi, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka dengan landasan asumsi Prabowo benar-benar meminta Fadli untuk tidak terlalu keras pada Jokowi. Entah itu karena perseteruan, perbedaan pendapat, atau hal lain, tentunya hanya Fadli, Prabowo, dan jajaran Gerindra saja yang benar-benar mengetahui alasannya. Menarik untuk kita simak kelanjutannya. (D74)