Site icon PinterPolitik.com

Kasus Sambo, Mengapa DPR Tidak Garang?

mahfud md sambo dpr

Menko Polhukam sekaligus Ketua Kompolnas ex officio Mahfud MD bersama anggota Kompolnas saat rapat dengan Komisi III DPR RI membahas kasus meninggalnya Brigadir J, Senin, 22 Agustus 2022. (Foto: suarasurabaya.net/Faiz Fadjarudin)

Bungkamnya DPR dan tampak kikuknya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD terhadap kasus Irjen Ferdy Sambo boleh jadi disebabkan intrik politik-hukum yang tidak main-main. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Sentilan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kepada DPR mengenai kasus yang menjerat Irjen Ferdy Sambo terus bergulir dan menjadi diskursus tersendiri.

Sebelumnya, Mahfud MD sempat mengkritisi DPR yang bersikap diam dalam kasus tersebut. Akan tetapi, DPR “balas” mencecar Mahfud saat Komisi III menggelar rapat terkait kasus penembakan Brigadir J pada Senin, 22 Agustus kemarin lusa.

Dalam rapat itu, Mahfud dianggap kurang lihai dalam melakukan koordinasi lembaga terkait dalam penanganan kasus Ferdy Sambo sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).

Meskipun interupsi menjadi hal lumrah dalam rapat DPR dan pemerintah, intrik tudingan Mahfud atas sentimen sikap diam DPR tampak membuat tensi di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen lebih panas dari biasanya.

Ketegangan kedua belah pihak sendiri dibingkai dalam unggahan Instagram presenter Najwa Shihab. Sebagai pembuka, unggahan tersebut menyoroti keheranan Mahfud atas bungkamnya DPR terhadap kasus Ferdy Sambo.

Tak hanya itu, Mahfud juga menyinggung bahwa DPR sempat menyatakan dirinya dianggap tidak tahu undang-undang bahwa parlemen tak boleh ikut campur. Padahal, lanjut Mahfud, DPR sempat menjadi aktor vokal saat berhasil mengungkap kasus korupsi personel Polri AKBP Raden Brotoseno.

Sebelumnya, sejumlah anggota DPR berdalih bahwa mereka tidak bisa ikut campur dalam kasus yang menewaskan Brigadir J tersebut.

Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menegaskan bahwa DPR RI tidak diam dalam kasus Ferdy Sambo. Menurut politikus Partai NasDem itu, DPR mengikuti aturan yang ada dan meminta keterangan dari seluruh lembaga hukum yang menjadi mitranya.

Apa yang dikemukakan Sahroni sebagai respons dari tudingan Mahfud juga kiranya memiliki signifikansi tersendiri.

Benturan di antara Mahfud dan DPR  kemudian menimbulkan penafsiran tertentu, yaitu mengenai kemungkinan eksistensi intrik politik-hukum yang serius di dalam kasus Sambo. Mengapa demikian?

Mahfud dan DPR Saling Gagap?

Interpretasi mengenai adanya intrik politik-hukum dalam kasus Ferdy Sambo, paling tidak dapat dilihat dan mengacu pada tiga hal mendasar.

Pertama, kasus penembakan Brigadir J dengan tersangka utama Irjen Ferdy Sambo tampak telah menguak ekspektasi banyak pihak tentang bagaimana aspek penegakan hukum berjalan dengan semestinya.

Terlebih setelah isu merembet pada kasus besar lain yang selama ini menjadi keresahan bersama, yang tenar dengan frasa “konsorsium 303”.

Ekspektasi itu sesungguhnya adalah cerminan dari sebuah kontrak sosial antara masyarakat dan negara. Negara yang dimaksud dalam konteks ini, mencakup berbagai instrumen yang dimilikinya, termasuk aparat penegak hukum.

Dalam teori kontrak sosial yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, dijelaskan bahwa masyarakat telah memberikan haknya kepada negara dalam sebuah kesepakatan atau kontrak.

Artinya, negara harus menjamin kehidupan dan keamanan warga negaranya. Itulah yang menjadi manifestasi dari raison d’être hadirnya negara.

Hukum, merupakan salah satu tools negara untuk mewujudkan esensi tersebut. Artinya, mutlak harus menjadi panglima tertinggi, termasuk dalam ranah politik dan pemerintahan.

Predikat “panglima” pun wajib berpedoman pada tiga nilai identitas hukum. Hal itu dijabarkan filsuf hukum asal Jerman Gustav Radbruch, yakni asas kepastian hukum (rechtmatigheid), asas keadilan hukum (gerechtigheit), dan asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid).

Oleh karena itu, segala intrik yang mengemuka di dalam sebuah proses penegakan hukum semestinya tidak terjadi. Apalagi hingga memantik ketegangan antara pemerintah dan parlemen yang notabene adalah perumus aturan hukum, yakni undang-undang.

Kedua, intrik yang terjadi antara Mahfud MD dan DPR atas kasus Sambo juga tampaknya menguak kekeliruan dari kedua belah pihak dalam mengambil peran sesuai tupoksinya.

Padahal, baik Mahfud maupun DPR sama-sama berhak untuk menyuarakan solusi ideal pengungkapan kasus Sambo secara tuntas tanpa kepentingan apapun.

Jika berkiblat pada salah satu negara demokrasi tertua, Amerika Serikat (AS), The First Amendment (Amendment I) atau Amendemen Pertama konstitusi menjamin secara mutlak kebebasan berpendapat hingga kebebasan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintah.

Sebelum mendapat kritik khalayak atas presumsi sikap diam, DPR seharusnya dapat menginisiasi untuk bertanya kepada pemerintah atau minimal berkolaborasi untuk menyelesaikan kasus Ferdy Sambo secara lugas dan transparan.

Ketua DPR Puan Maharani pun semestinya bisa ikut pro-aktif memerintahkan Komisi III DPR dalam mengimplementasikan sikap tersebut.

Sementara dari sisi pemerintah, Mahfud MD sebagai Menko Polhukam juga kiranya harus menjawab perhatian dan keresahan publik secara jelas. Di sisi lain, Mahfud juga berhak menyembunyikan aspek yang dinilai belum saatnya masyarakat ketahui.

Pernyataan ambigu seperti kalimat “sensitif hanya boleh didengar oleh orang dewasa” yang sempat terlontar dari Mahfud, kiranya tidak perlu dikemukakan sama sekali agar tidak menimbulkan spekulasi lanjutan.

Selain itu, probabilitas ketiga mengenai adanya intrik politik-hukum serius dalam kasus Ferdy Sambo, agaknya dapat berangkat dari satu postulat menarik. Apakah itu?

Kental Kepentingan Politik?

Dugaan adanya intrik politik-hukum, dapat berangkat dari realitas yang menariknya dikemukakan sendiri oleh Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia.

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, dalam relasinya dengan politik, hukum sering kali menjadi pelayan atau berposisi subordinat.

Dalam bab “Pengaruh Politik Terhadap Hukum”, Mahfud secara gamblang menyebutkan bahwa secara aktual, politik kerap menjadi independent variable (variabel berpengaruh), sedangkan hukum berperan sebagai dependent variable (variabel terpengaruh).

Dengan kata lain, hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu sama lain.

Berdasarkan korelasi tersebut, impresi sikap diam DPR hingga ambiguitas pernyataan Mahfud terhadap kasus Ferdy Sambo, tampaknya menyiratkan eksistensi tarik-menarik kepentingan tertentu.

Terutama yang melingkupi aspek politik pasca isu merembet ke upaya penegakan hukum lain, yakni “konsorsium 303”.

Ahmad Khoirul Umam dalam Understanding the influence of vested interests on politics of anti-corruption in Indonesia, menyebut bahwa vested interest memiliki pengaruh besar dalam fungsi-fungsi politik dan pemerintahan di tanah air.

Sayangnya, presumsi bahwa vested interest telah masuk ke ranah penegakan hukum seperti Polri, tampak selaras dengan apa yang dikemukakan Made Supriatma dalam publikasinya di ISEAS–Yusof Ishak Institute yang berjudul The Indonesian police’s dual function under Jokowi.

Menurut analisis Made, Presiden Jokowi telah memperkuat posisi politik Polri. Klimaksnya secara kasat mata adalah saat Budi Gunawan tetap mendapat promosi bintang empat meskipun tersandung isu rasuah.

Itu kemudian terus terjadi saat Presiden Jokowi menunjuk Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri pada awal 2021 lalu, dan membuka tafsiran saling terkait dalam aspek penegakan hukum oleh Polri.

Berdasarkan elaborasi dari apa yang dikemukakan Mahfud, Umam, dan Made, penegakan hukum kasus Irjen Ferdy Sambo yang terasa berjalan perlahan dan bahkan menimbulkan intrik, tampak memberikan impresi adanya vested interest.

Meski demikian, tentu cukup sulit untuk menemukan benang merah antara kasus inti penembakan Brigadir J, dengan aktor utama yang saling terkait dengan tudingan kasus lain yang mengiringinya.

Bagaimanapun, publik tanah air tetap berharap agar pengungkapan kasus Ferdy Sambo dapat menjadi momentum penegakan hukum di Indonesia yang jauh lebih baik ke depannya. (J61)

Exit mobile version