Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) melimpahkan penanganan perkara Jaksa Pinangki kepada lembaga antirasuah. KPK khawatir ada konflik kepentingan jika perkara tersebut ditangani Jaksa. Akan tetapi, KPK sendiri sedang menghadapi krisis kepercayaan publik. Mungkinkah ada motif lain di balik keinginan KPK mengusut perkara yang tengah menyita perhatian publik ini?
Pelarian terpidana kasus hak tagih (cassie) Bank Bali, Djoko Tjandra berakhir di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, akhir Juli lalu. Joker, begitu Ia dijuluki, memang sempat membuat aparat penegak hukum kebakaran jenggot.
Bagaimana tidak, terpidana yang lebih dari satu dasawarsa buron itu kedapatan mondar-mandir keluar masuk Indonesia untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas perkara yang menjeratnya dengan hukuman 2 tahun penjara. Ia bahkan bisa dengan leluasa mengurus dokumen kependudukan dan paspor sembari menyandang status buron.
Meski sudah tertangkap, kasus ini agaknya masih jauh dari kata selesai. Perhatian publik kini lebih tertuju kepada oknum-oknum aparat yang justru membantu pelarian Joker.
Di Kepolisian, perkara ini menjerat nama Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte. Dua jenderal berbintang itu diduga terlibat dalam penerbitan ‘surat sakti’ dan raibnya nama Joker dari radar red notice Interpol.
Korps Adhyaksa juga tak luput dijamah Joker. Seorang jaksa cantik bernamaPinangki Sirna Malasari juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap terkait penanganan PK Djoko.
Penanganan perkara Pinangki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menimbulkan reaksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu mengharapkan inistaif Kejagung agar melimpahkan perkara tersebut sesuai dengan Undang-Undang serta demi mengindarikonflik kepentingan.
Keinginan KPK ini langsung dimentahkan oleh Kejagung. Lembaga yang gedungnya baru saja terbakar kemarin ini menyebut pihaknya sudah melakukan supervisi dengan KPK sehingga pelimpahan perkara tak perlu dilakukan.
Dalam konteks penegakkan hukum, penanganan satu perkara korupsi oleh dua lembaga sebenarnya sudah pernah terjadi.
Dalam perkara korupsi KONI misalnya. Kejagung saat itu menangani perkara rasuah bantuan dana Pemerintah Pusat untuk KONI pada Kemenpora tahun anggaran 2017, sementara KPK fokus menangani perkara tindak pidana suap terhadap mantan Menpora Imam Nahrawi.
Namun, keinginan KPK untuk turun tangan menangani kasus Pinangki, yang masih berkaitan dengan perkara Joker, boleh jadi menimbulkan asumsi lain. Apalagi, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut tengah menurun sejak Firli Bahuri mengomandoi KPK.
Pertanyaannya, Mungkinkah Komisi Antirasuah sedang berusaha membangun kembali citranya di mata publik lewat perkara Pinangki?
Tanggung Jawab atau Marwah Lembaga?
Pernyataan Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango yang khawatir adanya potensi konflik kepentingan jika perkara tersebut ditangani Kejagung mungkin benar adanya.
Jean Murray dalam tulisannya yang berjudul What is Conflict of Interest: Definition and Examples mengatakan konflik kepentingan terjadi jika salah satu pihak memiliki kepentingan atau loyalitas di lebih dari satu orang atau organisasi.
Menurutnya, seseorang dengan konflik kepentingan tidak dapat bersikap adil terhadap kepentingan aktual atau yang berpotensi menimbulkan konflik dari kedua belah pihak.
Konflik kepentingan dapat muncul dalam berbagai situasi yang melibatkan loyalitas pribadi kepada pemberi kerja, pemerintah, atau hubungan profesional.
Contoh spesifik dari konflik kepentingan dapat mencakup pejabat publik yang kepentingan pribadinya bertentangan dengan loyalitas yang diharapkan kepada organisasi, orang yang berwenang dalam satu bisnis yang bertentangan dengan kepentingan mereka di perusahaan atau organisasi lain, atau pengacara yang mencoba mewakili kedua belah pihak dalam perceraian.
Michael McDonald dalam tulisannya yang berjudul Ethics and Conflict of Interest menyebutkan beberapa hal yang berpusar pada konsep konflik kepentingan. Pertama, adanya kepentingan pribadi/golongan. Kepentingan yang dimaksud biasanya berkaitan dengan finansial. Namun memungkinkan juga berkaitan dengan hal lain.
Kepentingan itu akan menjadi masalah jika hal tersebut bertentangan dengan tugas resmi seseorang. Seorang profesional mengambil tanggung jawab resmi tertentu dan dengan tanggung jawab itu, Ia memperoleh kewajiban kepada klien, pemberi kerja, atau orang lain. Kewajiban ini seharusnya mengalahkan kepentingan pribadi/golongan.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka sebenarnya benturan kepentingan memang sangat mungkin terjadi dalam penanganan perkara Pinangki oleh Kejaksaan.
Semakin terungkap kasus ini, rasionalnya kredibilitas Korps Adhyaksa akan semakin terkikis. Hal ini akan menghadapkan lembaga Kejagung pada dua pilihan antara memenuhi tanggung jawab resminya kepada publik untuk membeberkan perkara ini sejelas-jelasnya atau tak menjerumuskan marwah lembaga lebih dalam lagi.
Terkait dengan KPK, inginnya lembaga antirasuah ini menangani kasus Pinangki juga dapat melahirkan tanda tanya tersendiri. Pasalnya, dapat saja juga terjadi konflik kepentingan antara KPK dengan Kejagung, menimbang pada kasus Pinangki dapat menaikkan marwah lembaga? Lantas, mungkinkah ada kepentingan itu dalam diri KPK?
KPK Ingin Perbaiki Citra?
Polemik sebenarnya kadung terjadi sejak Firli terpilih sebagai ketua KPK. Resistensi ini tak bisa terlepas dari perkara etik yang menjeratnya ketika Ia masih menjabat sebagai Deputi Penindakan.
Penolakan terhadap hasil seleksi pimpinan lembaga antirasuah juga semakin diperparah dengan wacana revisi UU KPK yang bergulir hampir bersamaan saat itu. Publik mengkritisi ada upaya pelemahan KPK di balik agenda revisi yang diinisiasi Senayan.
Kini, setelah delapan bulan memimpin KPK, kritik terhadap Firli CS nyatanya masih terus mengalir deras. Sejumlah lembaga survei bahkan menyebut kepercayaan publik terhadap KPK terus menurun.
Sejumlah perkara menggantung, seperti masih buronnya Harun Masiku, mau tak mau membuat citra KPK semakin terpuruk.
Rachmat Kriyantono dalam bukunya yang berjudul Teknik Praktis Riset Komunikasi mengatakan bahwa citra merupakan gambaran yang ada dalam benak publik tentang lembaga.
Citra adalah persepsi publik tentang lembaga yang menyangkut pelayanan, kualitas, budaya perusahaan, perilaku perusahaan/ lembaga dan lain sebagainya. Pembentukan citra positif mengandung arti kredibilitas lembaga di mata publik dianggap baik. Sedangkan kredibilitas mencakup dua pemahaman, yaitu persoalan kemampuan (expertise) dan kepercayaan (trustworthy)
Melengkapi pendapat itu, Aceng Abdullah dalam bukunya yang berjudul Press Relations mengatakan bahwa media massa dinilai memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini khalayak terhadap citra. Media massa dapat dinikmati oleh khalayak yang bersifat heterogen.
Tulisan yang termuat di media massa dapat membentuk opini khalayak dan citra pihak-pihak yang diberitakan. Citra positif dapat muncul karena adanya isi pesan yang positif dari orang atau lembaga, dan sebaliknya, citra negatif muncul karena adanya isi pesan yang negatif.
Media massa dianggap mempunyai kekuatan untuk mengubah persepsi atau pandangan khalayak terhadap suatu persepsi sebelumnya.
Di tengah krisis kepercayaan yang tengah membelit KPK, kasus Pinangki yang masih berkaitan dengan perkara Djoko Tjandra sudah barang tentu dapat meningkatkan citra positif jika KPK berhasil menangani perkara tersebut. KPK tentu akan diuntungkan lantaran kasus tersebut tengah menyita perhatian publik dan menghiasi headline-headline di media massa.
Pada akhirnya, asumsi yang menyebut bahwa KPK ingin memanfaatkan perkara Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra untuk menyelamatkan citra memang belum tentu benar adanya. Namun yang jelas, terlepas dari siapapun yang menindaknya, penanganan perkara ini memang tak boleh luput dari pengawasan publik lantaran telah melibatkan dua lembaga penegak hukum. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.