Pemerintahan Jokowi tengah disorot terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Salah satunya kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib yang hingga kini belum terselesaikan.
PinterPolitik.com
Selain peristiwa G30S, September juga menjadi bulan peringatan tewasnya aktivis HAM dan Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Munir Said Thalib. Namun setelah 13 tahun kematiannya yang diperingati 7 September lalu, Suciwati – istri Munir, mengaku pesimistis kalau pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan mampu mengungkapnya. Meskipun menyelesaikan permasalahan HAM menjadi salah satu janji Jokowi ketika kampanye dulu.
Sebelumnya, mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, Hendardi, menilai kalau masa pemerintahan Jokowi merupakan waktu yang tepat untuk membuka hasil temuan TPF. Untuk menepati janji, ia berharap pemerintah segera membuka dan mengumumkan kepada publik hasil temuan temuan tersebut, sebagai langkah awal dari tahapan-tahapan penyelesaian berikutnya.
Sayangnya, hingga saat ini Jokowi masih belum memperlihatkan keseriusannya dalam menangani kasus-kasus HAM berat. Pemerintah malah terkesan saling lempar mengenai permasalahan tersebut, seperti yang dilakukan Kepala Staf Presiden Teten Masduki yang meminta progres masalah Munir ditanyakan pada Menkopolhukam, sementara Wiranto sendiri terkesan enggan untuk menanggapinya. Apakah ini berarti Jokowi tidak serius dengan janjinya? Apa sebenarnya yang membuat Jokowi enggan? Mungkinkah rekonsiliasi adalah solusi terbaik?
Ada Apa Dengan Kasus Munir?
Peringatan kematian Munir merupakan momentum untuk kembali mempertanyakan niat pemerintah dalam pengusutan pelanggaran HAM berat. Walau TPF sendiri sudah memberikan laporan rekomendasinya pada kepala negara, namun masih saja dinilai belum cukup bukti untuk menyeret pelakunya ke meja hijau. Tak heran bila kemudian kinerja kejaksaan agung serta pemerintahan Jokowi menjadi sorotan para aktivis HAM, dan menuding Jokowi enggan menepati janji kampanyenya pada 2014 lalu.
Sebagai seorang pegiat HAM, Munir merupakan saksi hidup atas beberapa kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di masa Orde Baru dan reformasi, seperti pembantaian di Talangsari pada 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004. Hal ini yang menjadi motif kuat mengapa Munir dibunuh, sehingga jejak para pelaku kasus-kasus tersebut tak lagi terendus.
Berdasarkan temuan TPF, pembunuhan Munir diduga keras berkaitan dengan seorang petinggi militer yang dulunya sempat menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yaitu AM Hendropriyono. Sebelumnya, salah satu anggota Tim Transisi Jokowi yang juga sangat dekat dengan Megawati Soekarnoputri ini, diduga memiliki kaitan dengan kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yaitu pembantaian Talangsari, Lampung yang menewaskan 130 orang dan ratusan lainnya mengalami penganiayaan fisik.
Pada kasus Munir sendiri, Hendropriyono juga diduga mengetahui peristiwa tersebut. Berdasarkan wawancara Tempo.co dengan sumber bernama Budi Santoso (diterbitkan pada 11 Desember 2014), disinyalir ketika itu Munir ke Amsterdam untuk menjual rahasia negara. Sehingga sebagai Kepala BIN, ia pasti memerintahkan agar upaya tersebut dicegah. Selain itu, pembunuhan Munir juga dilakukan dalam operasi intelijen, sehingga kemungkinan besar rencananya pun sudah terendus atau diketahui BIN.
Hanya saja, hingga saat ini keterlibatannya tersebut tidak bisa dibuktikan secara nyata. Apalagi Hendropriyono juga sudah mengeluarkan pernyataan, kalau ia tidak tahu menahu dan tidak terlibat dengan pembunuhan Munir. Apalagi posisinya saat ini pun masih kuat, karena ia dikenal dekat dengan Megawati sejak 1993, ketika menjabat sebagai Direktur Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI.
Dalam buku “Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” karya Ken Conboy, Risk Management Advisory perusahaan konsultan keamanan ini menuliskan bahwa Hendropriyono memegang kartu As Megawati. “Tahun 1993, ia (Hendropriyono) bertugas menangani masalah dalam negeri di BAIS. Salah satu tugasnya adalah memeriksa pendaftaran Megawati Soekarnoputri sebagai ketua PDI,” tulis Ken.
Sejak itu pula Hendropriyono memiliki peran dalam kiprah politik putri sulung Bung Karno itu. Dia meluluskan segala persyaratan Megawati. Sehingga dengan efektif Megawati berhasil menjadi Ketua Umum PDI. Padahal ketika itu, Presiden Soeharto tidak menginginkan Megawati naik menjadi Ketua Umum PDI. “Hendropriyono terus menjalin hubungan dengan Megawati. Pada masa pemerintahan Gus Dur-Megawati, Hendropriyono mungkin telah menjadi orang kepercayaan militer Megawati yang paling dekat,” tulisnya lagi.
Ini terbukti di masa pemerintahan Megawati, Hendropriyono terpilih sebagai Kepala BIN di Kabinet Gotong Royong. Sebagai kepala negara, Megawati tentu mendapat laporan dari Kepala BIN tentang pelaksanaan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, patut juga dipertanyakan, apakah ada perintah Megawati terhadap Hendropriyono sehubungan dengan operasi intelijen pada kasus Munir.
Sapa Hangat Megawati untuk Kawan Lama Hendropriyono https://t.co/xN56KOGBRN pic.twitter.com/hcsUPrtGFm
— Liputan6.com (@liputan6dotcom) January 11, 2017
Melalui Megawati pula, kemungkinan Jokowi memiliki hubungan dengan Hendropriyono. Sebab pada Pilpres 2014 lalu, ia tercatat sebagai salah satu tim sukses Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Itulah mengapa Suciwati merasa pesimistis, sebab sejak awal Jokowi telah dikelilingi oleh orang-orang yang akan membelenggu dan menyulitkannya membuka tabir kejahatan HAM berat selama ini, termasuk kasus suaminya. Pada akhirnya, janji Jokowi tinggal janji seperti pada pemerintahan sebelumnya.
Selain dekat dengan pemimpin negara, Peneliti Center For Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS), Umar Abduh mengatakan bahwa pengaruh Hendropriyono di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) juga masih cukup kuat hingga saat ini. Pasalnya, ia masih memiliki satu ‘senjata tambahan’ lain yakni Brigjen Andika Perkasa. Menantunya yang kini menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jokowi.
Rekonsiliasi, Cukupkah?
Menurut Teten, Jokowi sebenarnya sudah memerintah kepada Wiranto untuk menuntaskan kasus Munir karena merupakan salah satu agenda Nawa Cita Jokowi-JK. Bahkan dalam pidato kenegaraannya, presiden telah menegaskan hal tersebut. Ia berkeinginan kasus-kasus HAM di masa lalu diselesaikan melalui pendekatan non-yudisial atau rekonsiliasi. Artinya, kasus pelanggaran HAM tidak diselesaikan melalui pengadilan HAM adhoc. Hal ini turut diamini oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Berdasarkan definisinya, rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Dengan kata lain, rekonsiliasi adalah upaya mendamaikan dua atau beberapa pihak yang selama ini bertikai mengenai suatu kejadian di masa lalu. Upaya ini sendiri disambut baik oleh SETARA Institute, menurut lembaga HAM ini, rekonsiliasi nasional dapat menjadi alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Namun jalur ini ditentang oleh Suciwati dan KontraS, karena dinilai sebagai bentuk pencideraan atas keadilan hukum dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Penolakan senada juga dilontarkan oleh kelompok masyarakat sipil yang aktif bergerak dalam penanganan kasus HAM, seperti ELSAM dan Human Rights Working Group (HRWG). Mereka menuding upaya ini sebagai menyembunyikan kebenaran, serta terkesan dibuat untuk meniadakan kejahatan dan pertanggungjawaban pejabat negara.
Sebagai lembaga yang membela kepentingan almarhum Munir, KontraS mengaku kecewa bila pemerintah memilih jalur rekonsiliasi, karena sama saja menampikkan mandat UU Pengadilan HAM. UU ini menjelaskan agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM diselesaikan lewat pengadilan dan tak ada batas kadaluwarsa atas kasus-kasus HAM tersebut. KontraS berpendapat, bila pemerintah tidak melakukannya sesuai UU maka kasus-kasus HAM lainnya pun akan terimbas penyelesaiannya.
KontraS: Pemerintah Jangan Lempar Tanggungjawab soal Kasus TPF Munir https://t.co/MW6AgbIoeL
— Menit.co.id (@IdMenit) September 21, 2017
Niat pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi memang patut dihargai, namun bukan menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, terutama pada kasus Munir. Sebab menyelesaikan kasus tanpa pengadilan HAM, sama saja dengan pembiaran bagi pelaku kejahatan tersebut. Dalam hal ini, penolakan Suciwati sangat masuk akal, karena bukan pelaku kejahatan saja yang harus ditangkap, diadili, dan mendapat hukuman setimpal, namun juga perencana kejahatan tersebut. Namun mengingat adanya orang-orang kuat di belakang kasus tersebut, sepertinya keinginan ibu dua anak itu merupakan misi yang sulit diraih. Sampai kapan ini akan terkatung-katung? (K-32)