Polemik dugaan penembakan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat kepolisian masih terus bergulir. Namun diskursus di ruang publik lebih banyak berkutat pada persoalan politis ketimbang terhadap dugaan adanya potensi extra judicial killing dalam peristiwa ini. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Hingga hari ini, polemik penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 ruas jalan tol Jakarta-Cikampek masih abu-abu. Berbagai pihak terkait saling klaim kebenaran atas versinya masing-masing terkait peristiwa ini.
Terlepas dari versi mana yang paling benar, tak dapat dipungkiri, tewasnya sejumlah masyarakat sipil yang diduga dilakukan aparat kepolisian memberikan implikasi yang cukup serius bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sejumlah pihak menilai aparat telah melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pembunuhan di luar proses hukum atau extra judicial killing.
Sontak insiden ini pun tak luput jadi bahan komentar para elite politik. Di media massa, komentar-komentar politisi mengenai insiden ini bertengger di halaman-halaman utama pemberitaan.
Menariknya, diskursus yang berkembang di tengah masyarakat justru terkesan lebih menaruh perhatian pada aspek politik, seperti sepak terjang ormas FPI ketimbang menyoal adanya potensi pelanggaran HAM berat dalam kasus ini.
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ini artinya publik memang tak terlalu peduli pada kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya dalam konteks dugaan penembakan terhadap enam orang anggota Laskar FPI?
Penembakan Bukan Permasalahan Sosial?
Stephen Hilgartner dan Charles L. Bosk dalam tulisan mereka yang berjudul The Rise and Fall of Social Problems memaparkan sejumlah syarat di mana suatu fenomena dapat digolongkan sebagai permasalahan sosial. Mereka menyebut bahwa suatu fenomena dapat menjadi masalah sosial jika dapat didefinisikan dan dipahami dalam masyarakat.
Kemunculan permasalahan sosial dalam agenda-agenda publik tidak hanya ditentukan oleh sifat objektif dari permasalahan itu sendiri, melainkan melalui proses yang sangat selektif di mana permasalahan-permasalahan potensial ini saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan perhatian publik.
Penjelasan dari Hilgartner dan Bosk akan membantu kita lebih memahami mengapa fenomena dugaan penembakan Laskar FPI ini tak mampu menjadi agenda sosial publik meski mendapat sorotan masif media.
Menurut mereka persaingan di antara masalah-masalah sosial secara bersamaan terjadi pada dua tingkat. Pertama, bagaimana membingkai situasi atau fenomena agar dapat bersaing dan diterima sebagai versi realitas yang sebenarnya.
Kedua, sekumpulan besar masalah tersebut bersaing satu sama lain untuk mendapatkan perhatian publik melalui proses seleksi yang kompleks untuk menetapkan prioritas tentang apa yang harus dianggap penting.
Dari sini terlihat bahwa banyaknya versi yang beredar terkait fenomena penembakan Laskar FPI ini cukup berdampak pada pendefinisian persoalan ini sebagai permasalahan sosial. Narasi bahwa telah terjadi potensi extra judicial killing oleh aparat kepolisian bersaing dengan narasi bahwa FPI adalah ormas yang kerap membuat kegaduhan, baik secara sosial maupun politik.
Selain persoalan mengenai penembakan enam Laskar FPI juga bisa dibilang bersaing dengan isu-isu lain yang bisa saja dianggap publik lebih penting karena bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka, misalnya terkait gratis/tidaknya vaksin Covid-19 ataupun polemik kenaikan cukai rokok pada tahun depan
Menyoal Pemahaman HAM Publik
Di atas kertas, komitmen Indonesia terhadap HAM memang bisa dibilang cukup baik. Indonesia telah meratifikasi dan mengimplementasikan poin-poin dalam Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia ke dalam Undang-undang sejak tahun 2000.
Pada tahun 1999, Indonesia juga telah mengesahkan UU Hak Asasi Manusia yang mana di dalamnya juga memuat amanat untuk memperkuat peran dan fungsi Komnas HAM. Bisa dibilang, sejak memasuki era reformasi, hampir semua undang-undang yang disahkan mengandung setidaknya komitmen diskursif terhadap HAM.
Kendati demikian, di level publik pemahaman masyarakat mengenai HAM nyatanya berkata sebaliknya.
Robertus Robet dan Alfindra Primaldhi dalam tulisan mereka yang berjudul Do Indonesians Still Care About Human Rights? menyebut bahwa orang Indonesia secara umum mengetahui dan mengakui bahwa HAM itu penting. Akan tetapi, berdasarkan riset yang mereka lakukan di lapangan, menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap HAM memiliki batasan tertentu.
Hal ini terbukti dari penolakan masyarakat terhadap sejumlah hak dan kebebasan individu, misalnya pada ranah pernikahan lintas agama atau orientasi seksual seseorang.
Dengan kata lain, HAM di Indonesia bisa dikatakan HAM tanpa liberalisme. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang HAM di Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran komunal seputar agama dan nasionalisme.
Lalu jika kita kembali pada penjelasan Hilgartner dan Bosk, yang menyebut suatu fenomena dapat menjadi masalah sosial jika dapat didefinisikan dan dipahami dalam masyarakat, maka dengan adanya keterbatasan pemahaman publik terhadap HAM sedikit banyak dapat membuat persoalan dugaan penembakan Laskar FPI secara tak langsung sulit untuk mendapat atensi yang maksimal dari masyarakat.
Padahal atensi dan dorongan publik memainkan peran yang cukup signifikan dalam penuntasan kasus-kasus terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Perkara penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan adalah salah satu contoh konkret mengapa atensi publik berperan penting dalam pengusutan kasus pelanggaran HAM.
Meski pada akhirnya kasus ini berakhir antiklimaks dengan kemunculan dua orang terduga pelaku yang masih diragukan kebenarannya, namun setidaknya kasus Novel yang menyita perhatian publik ini tak bisa lagi membuat pihak-pihak terkait menggantungkan penyelesaiannya, sehingga mau tak mau memaksa mereka untuk membawa perkara ini pada konklusinya.
Namun pada kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya saja pada kasus salah tangkap pelaku terduga teroris oleh aparat nyatanya tak menemui penyelesaian karena luput dari perhatian publik.
Lantas sekarang pertanyaannya, jika kasus Novel mampu menarik perhatian publik, lalu mengapa pada perkara Laskar FPI yang terjadi tidak demikian?
Faktor Pandemi Covid-19?
James Lamond dalam tulisannya yang berjudul Authoritarian Regimes Seek To Take Advantage of the Coronavirus Pandemic mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 memang bisa dimanfaatkan pemerintah otoriter untuk memperkuat pengaruh mereka di dalam negeri.
Dengan kata lain, momentum tersebut bisa digunakan untuk melancarkan agenda-agenda politik mereka.
Namun begitu, di sisi lain Ia juga mengatakan bahwa tindakan represif pemerintah otoriter yang memanfaatkan momentum pandemi untuk tujuan politis tak mungkin terjadi jika tak mendapat dukungan dari masyarakat. Singkatnya, secara tak sadar, publik sebenarnya ‘merestui’ tindakan represif yang dilakukan negara terhadap pihak-pihak tertentu.
Hal ini terjadi lantaran di tengah pandemi, toleransi masyarakat terhadap tindakan-tindakan represif negara cenderung meningkat. Ini dilatarbelakangi karena adanya ketakutan masyarakat akan wabah. Sehingga secara tak langsung masyarakat akan mencari pemimpin untuk membawa ketenangan dan ketertiban.
Dari sini, maka dapat dikatakan luputnya perhatian terhadap adanya potensi extra judicial killing dalam kasus dugaan penembakan enam orang anggota Laskar FPI bisa juga disebabkan karena toleransi publik terhadap sikap represif negara yang tengah meningkat di tengah pandemi. Ini juga dapat menjadi alasan mengapa sejumlah pihak memaklumi penembakan ini karena menganggapnya sebagai upaya menegakkan ketertiban.
Dengan demikian, melihat adanya sejumlah faktor-faktor tersebut, agaknya kasus penembakan enam Laskar FPI ini berpotensi besar akan menjadi kasus dugaan pelanggaran HAM yang sulit dituntaskan. Cepat atau lambat, perkara ini bisa saja tenggelam tanpa menemui kejelasan terkait apa yang sebenarnya terjadi di kilometer 50 ruas tol Jakarta-Cikampek.
Kendati begitu, sekelumit ulasan ini merupakan analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Namun di titik ini, setidaknya bisa kita sepakati bahwa atensi publik memainkan peran yang cukup dalam penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.