Beberapa hari lalu, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) resmi membatalkan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Pembatalan ini diduga karena penolakan timnas Israel untuk datang ke Indonesia, yang dilakukan sejumlah ormas, parpol hingga pejabat daerah. Lalu, kenapa kita sampai berani untuk menolak timnas Israel? Dan apakah tindakan tersebut tepat?
“Kebutuhan politik terkadang berubah menjadi kesalahan politik”- George Bernard Shaw
Mimpi untuk menyaksikan timnas berlaga dalam ajang piala dunia seketika sirna, setelah Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) lewat website resminya menyatakan Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Walaupun hanya dalam level junior, tentu ini adalah sebuah kesempatan besar bagi timnas kita untuk memiliki pengalaman bermain di level dunia.
Walaupun keanggotaan Indonesia perlu disyukuri karena statusnya sebagai tuan rumah, kesempatan ini adalah kesempatan yang begitu nyata. Justru karena timnas kita belum sanggup menjadi tim papan atas di level Asia, pembatalan ini menjadi semakin menyakitkan.
Awal dari bencana ini dimulai semenjak FIFA membatalkan drawing untuk kompetisi tersebut. Pembatalan yang hanya berjarak beberapa hari saja dari jadwal drawing pada 31 Maret, merupakan sinyal kuat atas kemungkinan pembatalan tersebut.
Jika ditarik ke belakang, gelombang penolakan atas kedatangan timnas Israel diduga kuat adalah penyebab utamanya. Terlebih, ketika Gubernur Bali dan Jawa Tengah kompak menyuarakan penolakan, padahal daerah mereka adalah tempat penyelenggaraan juga.
Keputusan FIFA ini tentu dapat dipahami, karena keselamatan dari timnas Israel yang mungkin sangat riskan. Terlebih, jika kita berkaca pada tragedi Kanjuruhan, maka potensi kerusuhan dapat dipertimbangkan.
Lantas, pertanyaannya adalah, kenapa ada beberapa pihak yang begitu keras menolak timnas Israel?
Sebuah Sikap Primordialisme?
Penolakan atas timnas Israel sendiri bisa diasumsikan didasari alasan kemanusiaan dan alasan historis yang berkaitan dengan konflik Israel dan Palestina. Rekam jejak penolakan itu sudah tercermin di masa Orde Lama, dimana Presiden Soekarno memang sangat anti terhadap Israel.
Bahkan, sikap tegas bung karno ditunjukkan ketika Indonesia rela gagal lolos ke Piala Dunia karena menolak untuk bertanding dengan Israel pada kualifikasi Piala Dunia 1958. Kemudian bung karno juga menolak untuk mengundang Israel dalam Asian Games tahun 1962, yang berujung ditangguhkannya keanggotaan Indonesia di IOC (International Olympic Committee).
Lebih jauh, bung karno bahkan membuat Indonesia keluar dari keanggotaan IOC dan membuat olimpiade tandingan, yaitu GANEFO (Games of New Emerging Force), yang sayangnya tidak bertahan lama.
Karena alasan-alasan diatas, para penolak itu mendasarkan sikapnya, akan tetapi kalau memang demikian, maka di satu sisi sebenarnya bisa dibilang masih banyak masyarakat Indonesia yang terjebak dalam “kehebatan” Indonesia di masa lalu, yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Perlu kita sadari bersama bahwa kondisi dunia saat ini semakin kompleks, terlebih untuk isu Palestina dan Israel. Bahkan banyak negara-negara Arab dan Islam yang justru menormalisasikan hubungan dengan Israel.
Oleh karena itu, sikap penolakan terhadap timnas Israel bisa dibilang lahir dari primordialisme agama yang telah berkembang lama. Primordialisme sendiri adalah sebuah sikap atau pandangan yang memegang teguh nilai nilai yang dibawa sejak lahir, yang bersumber dari adat, tradisi atau agama. Menurut William G. Sumner, primordialisme adalah rasa persaudaraan yang muncul dalam sebuah kelompok, dan ditunjukkan dengan saling membantu dan menunjukkan rasa solidaritas.
Isu Palestina di Indonesia sendiri memang lebih melekat kepada kaum Muslim. Meski nyatanya konflik di sana bukanlah sebuah konflik agama, namun motivasi yang dibawa oleh sebagian besar pembela Palestina di Indonesia didasarkan pada rasa ke-Islaman yang sama.
Mungkin bagi sebagian orang pandangan yang primodialistik ini bisa dibenarkan, tapi, apakah kita bisa wajarkan sentimen seperti ini?
Standar Ganda Indonesia
Dibentuknya sebuah organisasi internasional tentunya didasari oleh tujuan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan diantara negara negara anggotanya. Namun dalam prakteknya, akan selalu hadir kekuatan dominan yang lebih superior. Kondisi ini nantinya akan membawa kepada “diskriminasi” pada pihak lain, dan privilege lebih bagi kekuatan dominan tersebut.
Hal ini juga terjadi di FIFA, yang dalam banyak hal masih terdapat perbedaan perlakuan terhadap negara negara anggotanya. Kelompok Barat yang merupakan kekuatan dominan di FIFA memiliki lebih banyak pengaruh pada organisasi tersebut. Contoh paling nyata adalah antara Rusia dan Israel, di mana terjadi standar ganda dalam perilaku agresif mereka kepada negara lain.
Standar ganda sendiri adalah sebuah pandangan atau sikap berbeda dalam memandang dua kasus yang sama. Dalam hal Rusia dan Israel misalnya, FIFA melakukan standar ganda dengan mengenakan sanksi pada Rusia ketika Piala Dunia Qatar 2022, akan tetapi Israel tetap diberikan izin selama bertahun-tahun seakan politik memang terpisah dari olahraga.
Walaupun tidak adil, tapi itu adalah realitas dari sebuah organisasi internasional, dengan kekuatan dominan di dalamnya.
Namun, bukankah sejatinya semua pihak menerapkan standar ganda dalam hidupnya? Contoh kecil adalah ketidakmampuan orang tua untuk mengakui anaknya salah, padahal jika orang lain yang melakukan, maka dialah yang paling lantang berkata salah.
Sebenarnya, Indonesia pun melakukan standar ganda dalam memandang Rusia dan Israel. Meski faktanya sama-sama pihak agresor, dibandingkan dengan Israel yang mendapat kesan negatif, Rusia justru dipandang sebagai pahlawan yang membela kehormatan dan kepentingan nasionalnya.
Menurut Radityo Dharmaputra, peneliti studi Rusia dan Eropa Timur jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga, kecenderungan beberapa masyarakat Indonesia tersebut didasari oleh sikap anti-Israel dan anti-Barat. Sikap tersebut semakin besar pasca kampanye “perang melawan teroris” yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001.
Dalam memandang Israel sendiri, Indonesia juga melakukan “tebang pilih”. Dalam beberapa sektor, Indonesia justru menjalin hubungan dengan Israel. Pada tahun 2022 saja, nilai impor Indonesia dari Israel menyentuh angka USD47,8 juta, dan nilai impor menyentuh angka USD185, 6 juta. Sedangkan pada zaman Orde Baru, TNI AU pernah melakukan operasi Alpha untuk membeli A4 Skyhawk.
Dari sisi olahraga, atlet Israel di kejuaraan sepeda dan bulutangkis juga pernah datang untuk berlaga di Indonesia. Sehingga penolakan ini yang didasarkan pada standar ganda FIFA tidak relevan, jika kita sendiri melakukan standar ganda.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita beradaptasi dengan kondisi dunia saat ini, di mana Indonesia tidak bisa memaksakan pendiriannya tanpa pertimbangan yang jelas. Sikap Bung Karno di masa lalu memang perlu terus kita ingat, tapi kita juga harus sadar bahwa perkembangan zaman terus terjadi, contohnya saat beberapa negara Arab saat ini justru melakukan normalisasi dengan Israel.
Sepertinya benar jika kita memang harus bisa menempatkan pembelaan Palestina di bawah kepentingan nasional kita sendiri. Karena dampak positif dari penyelenggaraan Piala Dunia U-20 bagi rakyat kita amatlah besar. Bahkan, bagi perjuangan bagi Palestina itu sendiri juga sangat besar.
Maka dari itu, sepatutnya kita bisa lebih cermat dalam memperjuangkan Palestina dan kepentingan Indonesia dalam dunia internasional yang telah didominasi dan terkonstruksi oleh Barat. Memperjuangkan kepentingan negara lain, tak harus mengorbankan kepentingan negara kita. (R87).