Site icon PinterPolitik.com

Kasus Ferdy Sambo Sengaja Ditumpangi?

Kasus Ferdy Sambo Hanya Pengalihan Isu?

Irjen Pol. Ferdy Sambo (Foto: Republika)

Perhatian publik terus tersedot untuk memperhatikan kasus Ferdy Sambo. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, mungkinkah kasus Ferdy Sambo digunakan sebagai pengalihan isu?


PinterPolitik.com

“When you can’t solve the problem, manage it.” – Robert H. Schuller

Dalam bukunya The Future of Democracy, Norberto Bobbio memberi penegasan bahwa semua negara demokrasi tidak berdaya di hadapan fenomena meningkatnya apatisme politik. Dalam frasa lokal, apa yang ditegaskan Bobbio dapat diterjemahkan sebagai golongan putih (golput) dalam pemilu.

Di Indonesia, fenomena ini terjadi dan terus meningkat sejak Pemilu 2004. Meskipun terjadi penurunan pada Pilpres 2019, angka golput terbilang konsisten tinggi pada pemilihan legislatif. Menurut Bobbio, kepasifan politik atau apatisme politik adalah bentuk perlawanan masyarakat terhadap sistem politik yang tidak memberikan perubahan. 

Namun menariknya, kendati terjadi tren apatisme politik atau golput, ketertarikan masyarakat terhadap isu politik tidak pernah terkubur. Ihwal ini juga ditegaskan sejarawan terkemuka Yuval Noah Harari dalam wawancaranya bersama Alec Russell. Secara lugas, Harari menyebut masyarakat selalu lebih tertarik pada isu-isu politik daripada isu krusial lainnya, seperti bencana alam.  

Apa yang dijelaskan Harari merupakan jawaban atas derasnya perhatian masyarakat terhadap kasus pembunuhan Brigadir J yang menempatkan Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka. Terlepas dari apatisme politik dan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap Polri, atensi masyarakat tidak hentinya tersedot pada kasus tersebut. 

Pengamat pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi membagikan cerita menarik untuk menggambarkan betapa besarnya perhatian masyarakat atas kasus ini. 

Ketika mengunjungi Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu, Fahmi melihat masyarakat seolah melakukan nonton bareng (nobar) ketika Ferdy Sambo menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada 25 Agustus 2022. Masyarakat nobar di berbagai warung kopi (warkop) sembari mendiskusikan kasus ini. 

Apa yang digambarkan Fahmi bukan tidak mungkin terjadi di berbagai daerah lainnya. Melihat headline pemberitaan berbagai media mainstream dan media online, kasus Sambo masih bertengger di puncak. Ada berbagai liputan dan update kasus yang terus diproduksi tiap harinya.

Berkah bagi Jokowi?

Dalam konteks politik praktis, khususnya dinamika terkini, besarnya atensi masyarakat terhadap kasus Ferdy Sambo tampaknya merupakan berkah tak terduga bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan informasi yang dihimpun Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, pada pertengahan tahun ini akan terjadi inflasi tinggi akibat pemerintah harus menaikkan harga BBM.

Informasi tersebut diperkuat oleh laporan Tempo bertajuk Aba-aba Naik Harga, yang menyebutkan wacana menaikkan harga BBM sebenarnya sudah ada sejak Mei 2022. 

Pada Mei lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan subsidi energi hingga April 2022 telah menembus Rp48,5 triliun, ditambah kekurangan bayar tahun sebelumnya sebesar Rp10,17 triliun. Angka itu lebih besar dari subsidi energi April 2021 yang sebesar Rp32,78 triliun. 

Saat itu belum bergulir wacana kenaikan harga BBM karena pemerintah mempertimbangkan tingkat kepuasan publik (approval rating) yang tengah menurun. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (IPI), tingkat kepuasan publik terpantau merosot – pada April 2022 hanya sebesar 59,9 persen. 

Seperti simpulan artikel PinterPolitik yang berjudul BBM Naik, Jokowi Pemimpin Overrated?, dikeluarkannya wacana kenaikan harga BBM saat ini merupakan indikasi kuat pemerintah tengah mengalami defisit anggaran negara. Indonesia yang tengah mengalami windfall profit alias tambahan penerimaan dari peningkatan ekspor komoditas bahkan tidak mencegah opsi diambilnya kenaikan harga BBM.

Nah, dengan munculnya kasus Ferdy Sambo, ini merupakan objek mumpuni untuk melakukan manajemen isu. Menurut Elizabeth Dougall dalam Issues Management, manajemen isu adalah proses strategis dan antisipatif untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik.

Karena perubahan tren dan isu dapat mengkristal menjadi masalah yang memberikan dampak destruktif, perlu diberikan respons yang tepat untuk mencegah kristalisasi masalah. Salah satu caranya adalah dengan melemparkan isu lain agar isu yang tengah dipergunjingkan tidak mengkristal. 

Singkatnya, jika benar terjadi manajemen isu, untuk memecah perhatian publik agar tidak terfokus pada ancaman inflasi, terus membesarkan kasus Ferdy Sambo merupakan opsi yang sangat menggiurkan. 

Terlebih lagi, salah satu sosok yang turut membesarkan perhatian terhadap kasus ini adalah Menko Polhukam Mahfud MD dengan mengeluarkan berbagai frasa mengundang perhatian. Yang paling menarik sekiranya adalah frasa “hanya boleh didengar orang dewasa”. 

Kemudian, manajemen isu juga dipermudah oleh habituasi media massa dalam memproduksi berita. Pada tahun 1807, jurnalis Inggris bernama William Cobbett menulis cerita tentang bagaimana Ia menggunakan ikan haring merah (red herring) untuk mengalihkan perhatian anjing dari mengejar kelinci. 

Cobbett menggunakan cerita itu untuk mengkritik beberapa rekan jurnalisnya yang saat itu terlena memberitakan informasi palsu tentang kekalahan Napoleon Bonaparte, sehingga terlalihkan untuk memberitakan urusan domestik yang jauh lebih penting.

Dalam studi logika, istilah red herring kemudian diadopsi sebagai salah satu kekeliruan bernalar (fallacies). Ini adalah trik retorika dengan cara melempar informasi baru yang tidak relevan agar topik utama menjadi teralihkan.

Menutup Bara Api?

Kritik yang disampaikan William Cobbett lebih dari dua ratus tahun lalu sangat relevan digunakan untuk melihat kasus Ferdy Sambo. Suka atau tidak, memang banyak media yang lebih memilih membahas update kasus Sambo daripada isu krusial seputar inflasi.

Dalam pantauan Tim Litbang PinterPolitik, sejumlah isu besar turut mencuat mengiringi kasus Ferdy Sambo. Selain wacana kenaikan harga BBM, ada kasus korupsi Rp104 triliun Surya Darmadi, kenaikan tarif driver online yang kemudian dibatalkan, hingga perubahan skema pensiun PNS. Selain itu, kasus dugaan penyelewengan dana kemanusiaan di yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) juga terpantau redup.

Ihwal ini jelas bertolak belakang dengan cikal bakal filsuf Edmund Burke yang menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi pada akhir abad ke-18. Menurut pakar komunikasi politik Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication, sebagai pilar keempat, media tidak hanya bertugas dalam memberikan pengetahuan politik, melainkan juga melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan terjadinya red herring, yakni banyak media lebih membahas update kasus Ferdy Sambo, ini jelas memukul mundur harapan Edmund Burke. Media tidak lagi sebagai penyeimbang kekuasaan, melainkan sebagai pranata yang dimanfaatkan oleh kekuasaan. 

Persoalan ini juga disinggung Brian McNair dengan menyebutnya sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari industrialisasi media. Senada dengan McNair, dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols juga menyebut media massa saat ini telah menggantungkan dirinya pada klik, views, dan sensasi.

Mengutip eks Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, daripada tenggelam pada kasus Ferdy Sambo, sudah saatnya kita lebih fokus pada isu krusial, seperti ekonomi.

Well, jika benar terjadi manajemen isu, meledaknya kasus Ferdy Sambo adalah berkah tersendiri bagi pemerintahan Jokowi. Besarnya atensi terhadap kasus ini telah memecah perhatian masyarakat dan media terhadap isu krusial seputar inflasi. Ini adalah upaya untuk menutup bara api agar tidak terlihat – setidaknya kurang disadari.

Sebagai penutup, kita perlu melihat kembali pernyataan Robert H. Schuller di awal tulisan. Jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah, yang perlu dilakukan adalah mengelolanya. (R53)

Exit mobile version