Site icon PinterPolitik.com

Kasus Brigadir J, Titik Kritis Hukum?

Kasus Brigadir J, Titik Kritis Hukum?

Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan Brigadir J atau Brigadir Yosua (Foto: tvonenews.com)

Tewasnya Brigadir J atau Brigadir Yosua dalam insiden penembakan menyedot perhatian luas masyarakat dan elite politik karena dinilai memiliki banyak kejanggalan. Apakah kasus ini menjadi indikasi titik kritis hukum di Indonesia?


PinterPolitik.com

Ada sebuah pertanyaan tua yang sulit untuk dijawab. Apakah “politik” adalah entitas yang melahirkan kebudayaan manusia, atau justru “politik” adalah produk dari kebudayaan itu sendiri? 

Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, manusia secara alamiah mestilah berpolitik (political by nature). Kapasitas alamiah itu yang memungkinkan manusia untuk berkembang dan menciptakan kebudayaan.

Menariknya, Fukuyama menggunakan temuan biologi dan antropologi modern untuk mendukung hipotesis itu. Dalam berbagai temuan, tidak pernah ada periode dalam evolusi, di mana manusia hidup sebagai individu yang terisolasi. 

Manusia selalu hidup berkelompok dan bersosial sehingga membuatnya selalu berpolitik. Dalam frasa tuanya, politik adalah cara mengatur orang banyak.

Di kesempatan berbeda, salah satu sejarawan paling terkenal saat ini, Yuval Noah Harari, menyebut politik adalah salah satu karya terbesar umat manusia. Kita tidak menemukan sistem politik secanggih manusia di spesies lainnya. Tidak ada simpanse yang membentuk partai politik atau menentukan presidential threshold.

Menurut Harari, kunci dari itu semua adalah kemampuan manusia menciptakan fiksi, prediksi, dan berimajinasi. Itu adalah kemampuan yang paling membedakan manusia dengan spesies lainnya. Dengan kemampuan memproduksi fiksi, manusia dapat membayangkan negara, pranata hukum, sistem partai politik, dan seterusnya. 

Lalu, apa poinnya?

Poinnya adalah, imajinasi manusia membuat politik berkembang. Jika 100 tahun lalu manusia melumrahkan praktik perbudakan, sekarang itu menjadi sesuatu yang haram dan sangat dilarang. Dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust, Francis Fukuyama juga menyinggung hal ini. 

Karena daya politik manusia terus berkembang akibat akses informasi, secara sadar atau tidak, masyarakat semakin meningkatkan ekspektasinya terhadap pemerintah dan negara. Masyarakat semakin menuntut partisipasi, keteraturan, kehidupan yang layak, dan tentunya keadilan. 

Kasus Brigadir J

Terkhusus soal keadilan, ini menjadi salah satu nilai esensial yang selalu dituntut peradaban manusia. Dalam adagium Latin disebutkan, fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.

Hanan Parvez dalam tulisannya Why do people want justice? menjelaskan bahwa keadilan adalah salah satu keinginan paling mendasar dalam diri manusia. Parvez menarik kesimpulan itu dari perjalanan evolusi manusia. 

Seperti yang disebutkan Harari dan Fukuyama, dalam sejarah evolusi, manusia selalu berkelompok, bersosial, dan bekerja sama. Pertanyaannya? Apa yang membuat manusia mampu melakukan aktivitas kooperatif seperti itu?

Menurut Parvez, jawabannya adalah keadilan. Manusia dapat bekerja sama dan patuh pada kelompok karena kelompok tersebut menghadirkan atau setidaknya menjanjikan keadilan. 

Ada sistem reward and punishment. Kesetiaan terhadap kelompok berbanding lurus dengan keuntungan yang didapatkan. Begitu pula sebaliknya, jika berkhianat akan ada hukuman yang menanti. Ini adalah praktik paling mendasar dari apa yang kita sebut sebagai keadilan. 

Dalam negara yang sudah mengembangkan sistem peradilan dan penegakan hukum, hadirnya keadilan kemudian menjadi salah satu indikasi paling mendasar kepuasan masyarakat terhadap pemerintah. 

Apakah masyarakat yang menjadi bagian dari suatu negara merasakan hukum hadir secara adil? Apakah hukum hadir secara tebang pilih, hanya tajam ke bawah atau ditegakkan secara tidak merata?

Menurut Parvez, ada perasaan yang sangat tidak nyaman ketika melihat keadilan tidak hadir. Masyarakat menjadi tidak menghormati kelompok atau organisasi tempat mereka berada apabila reward and punishment tidak ditegakkan secara merata.

Hasrat atas keadilan ini – atau kita sebut saja untuk melihat tegaknya hukum – kemudian menjawab mengapa insiden penembakan yang menewaskan Brigadir J atau Brigadir Yosua menyedot perhatian luas masyarakat dan elite politik.

Seperti yang disebutkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, terdapat setidaknya tiga kejanggalan yang membuat banyak pihak menaruh tanya. Pertama, kenapa kasus baru diumumkan tiga hari setelahnya. Kedua, keterangan aparat penegak hukum tidak sinkron atau berubah-ubah. Ketiga, pihak keluarga sempat tidak diperkenankan melihat jenazah.

Sama seperti pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo, Mahfud mengharapkan Polri membuat kasus ini menjadi terang. Lanjutnya, kredibilitas Polri dan pemerintah menjadi taruhan dalam kasus ini.

Titik Kritis Hukum?

Di titik ini, mungkin pertanyaannya sederhana. Mengutip Mahfud MD, mengapa kasus Brigadir Yosua dapat menjadi taruhan kredibilitas Polri dan pemerintah? Bukankah itu hanya satu kasus hukum? Apa yang membedakannya dengan ribuan atau bahkan jutaan kasus hukum lainnya?

Kita dapat menjawabnya menggunakan buku Malcolm Gladwell yang berjudul The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference. Dalam salah satu pembahasan bukunya, Gladwell menjelaskan broken windows theory yang dipopulerkan oleh kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling dalam buku Fixing The Broken Windows.

Seperti namanya, teori ini menarik analogi dari jendela rumah yang pecah. Menurut mereka, jika jendela rumah dibiarkan pecah, itu akan menimbulkan kesan ketidakpedulian dan mengundang pelaku kejahatan untuk datang karena menilai rumah tidak dijaga dengan baik.

Teori ini kemudian digunakan untuk menjelaskan praktik vandalisme. Dicoretnya fasilitas publik di berbagai sudut kota akan menciptakan persepsi bahwa aparat tidak begitu peduli sehingga mendorong orang untuk melakukan tindakan kriminal.

Situasinya akan berbeda jika melihat kota tertata dengan rapi. Itu akan menciptakan persepsi kota dirawat dan dijaga dengan baik, sehingga hasrat untuk melakukan kejahatan menjadi berkurang.

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa kasus Brigadir J yang menarik atensi luas publik dapat menciptakan efek jendela kaca pecah. Jika kasus ini tidak ditangani dengan baik dan dibuat abu-abu, persepsi bahwa hukum tidak ditegakkan akan meluas di tengah masyarakat.

Pada titik ekstrem, ini akan mendorong hasrat melakukan tindakan kejahatan karena menilai hukum tidak ditegakkan secara maksimal. Berbagai pihak akan menilai hukum dapat dimanipulasi, disiasati, hingga bahkan diremehkan.

Kembali mengutip Hanan Parvez, fenomena itu akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman di tengah masyarakat. Pada ujungnya, kepercayaan dan penghormatan terhadap pemerintah, negara, dan aparat penegak hukum akan semakin menurun.

Sebagai penutup, kita mungkin dapat mengadopsi judul buku Malcolm Gladwell. Kasus Brigadir J dapat menjadi tipping point atau titik kritis penegakan hukum. Satu kasus hukum ini dapat menciptakan efek domino, di mana masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum yang adil.

Entah apa pun yang terjadi di balik kasus Brigadir J, yang jelas, masyarakat ingin melihat keadilan itu hadir. Kasus ini harus menjadi terang dan sejelas mungkin. 

Mengutip konsep keadilan distributif dari filsuf politik John Rawls, negara berkewajiban untuk mendistribusikan keadilan ke tengah masyarakat. Tidak boleh ada kelompok masyarakat yang merasa tidak dipandang oleh negara.

Fiat justitia ruat caelum. Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. (R53)

Exit mobile version