“Natural disasters do not only threaten lives or damage property; they can severely affect societies and their socio-political structures.” – Frederike Albrecht
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]residen Joko Widodo (Jokowi) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) setelah banding yang dilakukan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ditolak oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya. MA melalui Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Abdullah mengatakan jika kasasi yang diajukan Jokowi kini sudah diterima dan tengah diproses.
Putusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya dengan nomor 36/PDT/2017/PT PLK pada September 2017 itu membatalkan banding yang diajukan oleh para tergugat. Putusan tersebut memperkuat putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya atas Gugatan Warga Negara atau CLS (Citizen Law Suit) masyarakat Kalimantan Tengah terkait karhutla yang terjadi di tahun 2015 lalu.
Dalam putusannya, beberapa tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah membentuk tim gabungan evaluasi konsesi dan izin, membangun rumah sakit paru, dan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat yang terdampak. Sementara itu, upaya Jokowi mengajukan kasasi mendapat kritik dari sejumlah aktivis lingkungan. Bagi mereka langkah pemerintah merupakan usaha menghindari tanggung jawab.
Memang dalam koridor hukum, upaya Jokowi mengajukan kasasi dapat dibenarkan. Namun hal itu merupakan langkah defensif dan mengindikasikan pemerintah tidak bertangung jawab.
Masalah kebakaran hutan dan kabut asap memang sudah menjadi masalah yang kronis sejak tahun 1997 dan terakhir terjadi lagi pada tahun 2015. Bahkan, dalam catatan putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya, kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah itu terjadi di lahan seluas 122.882 hektar.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dari Januari hinga Agustus 2018 terdapat 3.578 titik api telah tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Rinciannya, 2.423 titik api di Kalimantan dan 1.155 titik api di Sumatera. Dari angka-angka tersebut, 765 di antaranya berasal dari kawasan konsesi kehutanan dan perkebunan korporasi.
Seharusnya data-data itu menjadi dasar bagi pemerintah untuk serius menangani karhutla, dengan mampu berikan sanksi pidana maupun perdata kepada korporasi pelanggar.
Implikasi Kasasi Jokowi
Perkara yang kini menimpa Jokowi dan jajaran menterinya itu bermula dari kelompok masyarakat yang menggugat negara atas kasus karhutla di Kalimantan Tengah. Para penggugat tersebut di antaranya adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty.
Sedangkan pihak yang tergugat adalah Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan DPRD Kalimantan Tengah.
Pada putusan tingkat pertama yang diketok pada 22 Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangkaraya menjatuhkan vonis yang menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pemerintah juga dianggap lalai dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melakukan tindakan pencegahan dan penangggulangan secara serius.
Negara memiliki fungsi responsibility to protect. Jokowi sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi seluruh masyarakat, khususnya bagi warga yang terkena dampak bencana secara langsung. Share on XBanding putusan tersebut juga ditolak oleh Pengadilan Tinggi. Kendati demikian, Jokowi menegaskan bahwa putusan tersebut belum final, sehinga pemerintah berhak melakukan kasasi ke MA.
Jika kasasi yang diajukan Jokowi dikabulkan, maka akan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga amar putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya akan gugur dengan sendirinya dan pemerintah tidak perlu melakukan amanat yang telah diputuskan. Padahal apa yang diputuskan bertujuan demi kebaikan masyarakat sendiri.
Seharusnya, dengan adanya putusan tersebut, pemerintah menjadi sadar dan melakukan sebuah mekanisme yang sistemik. Pemerintah memiliki peran besar untuk mencegah dan memberantas kebakaran hutan. Sehingga Jokowi sebagai kepala negara seharusnya melakukan berbagai upaya preventif dengan melibatkan para menteri dan pejabat di daerah dalam mencegah dan mengurangi kerusakan hutan, terutama terkait pembakaran lahan yang menimbulkan kabut asap.
Mengatasi secara sistemik tentulah perlu melihat fakta kasus ini secara komprehensif. Akar permasalahannya adalah perlu adanya regulasi yang ketat dan konsekuen dalam hal pemberian konsesi hutan kepada korporasi. Pemerintah seharusnya bisa menginstruksikan korporasi memadamkan kebakaran di area konsesinya. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian besar sudah seharusnya ditindak.
Jokowi Tak Tanggung Jawab Melindungi?
Beberapa hari lalu, kabut asap hanya menyisakan jarak pandang sekitar lima meter di kota Pontianak. Kabut dilaporkan pekat di kawasan Pontianak Utara menuju Batu Layang, hingga Wajok, Kabupaten Mempawah. Tujuh penerbangan di Bandara Supadio Pontianak tertunda.
Bencana kabut asap ini nyatanya juga telah menelan korban. Di Kabupaten Sintang, Pontianak, ditemukan sesosok mayat yang telah hangus terbakar di sebidang lahan. Diketahui, korban pergi memadamkan api, namun hingga malam hari tak kunjung pulang. Esoknya, keluarga korban dibantu masyarakat sekitar ikut mencari, hingga ditemukan tak bernyawa. Kisah kematian lainnya juga tersiar tidak jauh dari wilayah Sintang. Dua anak dan bapaknya terbakar di pondok mereka, sekalipun menurut kepolisian aksi pembakaran lahan itu dilakukan sendiri oleh mereka.
Mungkin bagi sebagian besar orang kasus kebakaran hutan dan kabut asap ini sudah terlupakan. Euforia Asian Games dan tragedi gempa Lombok yang jauh lebih besar dampaknya, memang seolah menutupi kasus kebakaran yang tidak berhenti hinga kini. Tapi bagi masyarakat Sumatera dan Kalimantan, tragedi ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehair-hari. Mereka masih merasakan sulitnya melakukan aktivitas, bahkan untuk bernapas sekalipun. Mereka adalah masyarakat yang hingga saat ini masih menunggu pemerintah agar segera menyelesaikan masalah yang tidak kunjung selesai tersebut.
Dalam sebuah tulisan di Vox, Direktur Global di World Resouerces Institute, Nigel Sizer menyebut bahwa bencana asap yang menimpa Indonesia adalah salah satu yang terburuk sepanjang sejarah. Dalam kurun waktu sekejap, asap tebal tidak dapat dikontrol dan menyelimuti hingga ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Orang Melayu mengenal asap tebal yang menjadi tragedi ini sebagai jerebu. Jerebu bukan sekadar asap, tetapi termasuk di dalamnya partikel debu arang yang memerihkan mata dan mengganggu pernapasan. Bagi masyarakat yang terkena dampak, sangat jelas sebutan jerebu betul-betul sebagai penghancur kehidupan manusia, dan seluruh sumber daya hayati terutama akibat kebakaran di area yang luas.
Dalam hal ini, negara memiliki fungsi responsibility to protect. Jokowi sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi seluruh masyarakat, khususnya bagi warga yang terkena dampak bencana secara langsung. Dalam World Summit tahun 2005, konsep Responsibility to Protect mengandung makna untuk melindungi segenap populasi dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Membaca amar putusan pada kasus ini sungguh menarik karena negara diperintahkan untuk membuat beberapa regulasi yang terlihat sekali keberpihakannya untuk kepentingan rakyat.#Jokowi_bersalahhttps://t.co/3RLd92opMj
— Muhammad Prihatno (@mashatno) August 23, 2018
Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks bencana asap yang menimpa Sumatera dan Kalimantan, negara harus menyikapi dan menyelesaikan persoalan ini secara sistemik dengan melibatkan semua stakeholders yang bertanggungjawab.
Persoalan kabut asap tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan publik yang bersifat sementara saja. Misalnya, mengatasi kebakaran di kawasan masif dengan membeli pesawat terbang penyemprot api merupakan contoh keputusan jangka pendek ala “problem shooter“.
Tidak ada yang instan memang, namun dengan malah mengajukan kasasi ke MA, Jokowi seoalah melakukan langkah kontra produktif dan menjauhkan diri dari tujuan dasar, yakni menyelsaikan tragedi asap yang sudah berlarut-larut. Jika persoalan pembakaran hutan dan perkebunan ini melibatkan perusahaan-perusahaan swasta – katakanlah yang mengelola industri kelapa sawit – maka perusahaan yang terbukti bersalah sudah selayaknya diberikan sanksi yang tegas.
Jika Jokowi sebagai kepala negara menganaktirikan kepentingan masyarakat yang terdampak masalah ini, ke mana lagi rakyat harus berharap?
Mungkin pernyataan Nigel Sizer berikut ini bisa menjadi pengingat bagi pemerintah: “Selalu banyak liputan media dan janji untuk memperbaiki berbagai hal, tetapi pada akhirnya api padam, semua orang beralih ke hal-hal lain, dan orang-orang lupa.” Semoga pemerintah tidak lupa menyelesaikan akar masalahnya. (A37)