Memasuki peringatan tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, program Kartu Tani diwacanakan untuk mulai digenjot. Kini, Kartu Tani ditargetkan menjangkau 8,8 juta orang hingga akhir tahun ini.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]D[/dropcap]ata terakhir yang tercatat di Kementerian Pertanian, 5,9 juta petani sudah menerima Kartu Tani sampai Oktober ini. Target 8,8 juta tersebut dinilai realistis oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman, juga diamini oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang menjanjikan reformasi agraria dalam salah satu poin Nawa Cita. Akan tetapi, sejak 2014, program Kartu Tani sendiri belum terdengar efektivitas dan manfaatnya. Konsorsium Pembaruan Agraria bahkan menyebutkan, sampai pertengahan 2017, kesejahteraan petani belum terangkat sejak berjalannya Kartu Tani.
8,8 Juta Petani Ditargetkan Dapat Kartu Tani Tahun Ini – https://t.co/4VOOkFAhXw https://t.co/I065gebMVS
— Kompas.com (@kompascom) October 12, 2017
Pihak pemerintah tentu saja dapat berkelit akan kinerja mereka. Misalnya, dengan menyebutkan keberhasilan legalisasi 508.391,11 hektar tanah dan redistribusi 187.036 hektar aset untuk lebih dari dua juta keluarga petani. Selama tiga tahun, pemerintah juga sudah gencar membangun infrastruktur irigasi untuk pertanian.
Kartu Tani dapat dikatakan sebuah ambisi pemerintah. Kebijakan ini menjadi konklusi dari kebijakan-kebijakan pro-petani lainnya, apakah berhasil menyasar petani secara langsung atau tidak. Jokowi sendiri, yang memiliki citra merakyat, tentu ingin menjadikan kebijakan inisebagai pendulang popularitasnya kelak. Bisakah idealisme Jokowi ini berbuah menjadi populisme yang efektif?
Kartu Tani yang Reformis
Sebelum mulai diaplikasikan di level nasional, Kartu Tani sudah mulai diuji coba di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada akhir 2016. Program ini mendapatkan respon positif dan adaptif dari masyarakat. Karena itu, Kartu Tani kemudian digagas ke level nasional sejak Juni 2017 dan mengalami percepatan sampai sekarang.
Kartu Tani memiliki sejumlah kelebihan yang dijanjikan oleh pemerintah. Pertama, menyelesaikan permasalahan pada pendataan petani dan kelompok tani. Masalah ini adalah masalah mendasar yang selalu terjadi dalam setiap kebijakan pertanian dan berdampak pada ketidaktepatan sasaran kebijakan.
Kedua, melalui kartu ini, penyaluran pupuk dan bantuan sarana produksi dapat dilakukan secara langsung ke tangan petani, sehingga memangkas birokrasi. Tujuan lainnya juga untuk menghapus kasus-kasus penimbunan pupuk dan sarana produksi oleh tengkulak.
Ketiga, untuk tabungan petani serta penyaluran asuransi dan bantuan dari pemerintah. Seiring dengan berjalannya kebijakan Kartu Tani, pemerintah akan terus menyokong petani melalui asuransi perlindungan hasil tani. Harapannya, petani dapat lebih mudah mengatur keluar-masuk keuangan mereka dengan menggunakan teknologi yang ada dalam kartu ini.
Keempat, mempermudah penjualan hasil panen. Walaupun belum secara detail tergambar mekanismenya, namun secara prinsip fungsi ini ingin memberangus praktik pengendalian harga hasil pertanian yang sering dilakukan oleh tengkulak.
“Agriculture is the most healthful, most useful and most noble employment of men.”
-George Washington-
Secara fitur, Kartu Tani hampir serupa dengan Kartu Indonesia Sehat (KIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yakni kartu data sekaligus juga kartu debit. Melalui kartu ini, pemerintah dapat berinteraksi dengan petani secara lebih efektif, baik dalam pengambilan data maupun pemberian subsidi.
Kartu ini masuk ke dalam sistem jaringan (online). Ini berarti, di dalam kartu ini terdapat single entry data, proses validasi yang berjenjang secara online, dan transparan bagi setiap penggunanya, serta multifungsi. Sebuah konsistensi kebijakan elektronik yang terus digalakkan oleh Jokowi.
Berbeda dengan kebijakan-kebijakan pendahulunya yang rumit dengan persyaratan dan birokrasi, seperti pembentukan Kelompok Tani untuk menerima subsidi, Kartu Tani ini menyasar langsung setiap individu petani. Dengan demikian, kecenderungan terjadinya penimbunan oleh oknum tertentu dapat diminimalisasi dan efektivitas dapat ditingkatkan.
Sejauh ini, masih ada kendala-kendala yang nampak pada masa uji coba, seperti ketidaktepatan data dengan kondisi riil di lapangan. Kejadian ini terjadi hampir di setiap kabupaten tempat uji coba kebijakan yang dilakukan dari akhir 2016 sampai Agustus 2017.
Berdasarkan kendala tersebut, apakah mungkin penerapan di level nasional terlalu dini untuk dilakukan?
Jokowi dan Inspirasi Thaksinomics
Melihat ambisi Presiden dalam kebijakan Kartu Tani, tentu tidak dapat terlepas dari keuntungan politis yang didapat setelahnya. Jokowi memiliki kans besar meraih dukungan suara dari petani apabila kebijakan ini sukses terlaksana.
Kebijakan yang populis seperti ini pernah dilaksanakan oleh Thaksin Shinawarta, mantan Perdana Menteri Thailand periode 2001-2006. Thaksin adalah perdana menteri yang tergolong berhasil menyelamatkan Thailand dari krisis ekonomi Asia di tahun 1998 dalam waktu cepat.
Terdapat setidaknya dua program populis dalam Thaksinomics (istilah kebijakan ekonomi Thaksin) yang menyasar petani dan lingkungannya, yakni moratorium kredit petani dan Program Dana Satu Juta Baht Satu Desa (One Million Baht One Village Fund Program).
Echoes of the Asian financial crisis in Thailand’s hot money problem. #junta #Thailand #Thaksinomics https://t.co/PIcDWcPi3o via @SCMP_news
— Zashnain Zainal (@bedlamfury) September 17, 2017
Dalam memulai kebijakannya ini, Thaksin berani memberi kredit yang ringan dan jangka panjang kepada para petani, dengan tujuan menggerakkan sektor ekonomi mendasar. Thaksin menyokong petani dengan pinjaman dari bank-bank BUMN yang dibiayai oleh kalangan korporat.
Adanya stimulus yang baik di sektor tradisional kemudian diikuti dengan Program Dana Satu Juta Baht Satu Desa. Kebijakan ini tidak hanya ingin memperkuat petani, namun juga menyentuh langsung kesejahteraan keluarga petani di desa.
Kemudian, Thaksin melanjutkan paket kebijakan ekonomi populis dengan Program Kesehatan 30 Baht (30 Baht Healthcare Program) dan Program Satu Distrik Satu Produk (One Tambon One Product Program). Keduanya melengkapi populisme dan ekonomi pro-rakyat Thaksin.
Dengan demikian, Thaksin mampu membangkitkan keterpurukan ekonomi Thailand dari bawah, menciptakan kebijakan populis yang mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan.
“As a rule, populism is done for the sake of political expediency by those who do not care about the consequences, who do not think even one step ahead, who do not want to think and do not intend to honour their commitments.”
-Vladimir Putin-
Thaksin berhasil menjadi jembatan kebijakan ekonomi antara pemodal dan petani, yang tak hanya berharga di bidang ekonomi, namun juga bernilai politis. Thaksin menjadi pahlawan karena berhasil melunaskan utang negara kepada IMF empat tahun lebih dulu dari waktu jatuh tempo.
Thaksin juga menjadi perdana menteri paling terkenal dalam sejarah Thailand karena jasa-jasanya ini. Bagi sebagian besar pengamat dan peneliti ekonomi politik, kebijakan Thaksin adalah contoh sukses kebijakan ekonomi yang berujung populisme. Kesuksesannya berhasil menambah modal politik pribadinya.
Bukan tidak mungkin, saat ini Presiden Jokowi juga memiliki ambisi mengikuti jejak Thaksin. Di tengah isu utang nasional yang menumpuk dan daya beli masyarakat kecil yang anjlok, Presiden Jokowi tentu ingin menjadi penyelamat.
Apalagi, Jokowi juga memiliki seperangkat kebijakan populis lainnya yang boleh jadi serupa dengan Thaksin, seperti KIP dan KIS. Karenanya, kebijakan Kartu Tani tak bisa dilihat hanya sebatas kebijakan ekonomi pro-petani, namun juga kebijakan populis ala Jokowi.
Kebutuhan Populisme untuk 2019?
Suksesnya kebijakan ini sendiri nantinya, tentu merupakan keuntungan politis yang potensial bagi Jokowi. Terlebih, sejak di level perencanaan, kebijakan ini lebih fokus di Pulau Jawa yang merupakan lumbung padi dan lumbung suara terbesar di Indonesia.
Dalam menjalankan kebijakan seperti ini, pemerintah membutuhkan sinergi yang tepat antara badan-badan pemerintah dengan stakeholder di masyarakat. Institusi pemerintah yang ikut andil dalam Kartu Tani adalah Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN, serta bank-bank pemerintah seperti BNI, BRI, dan Bank Mandiri sebagai pengelola finansialnya.
Pemerintah memang masih menggenjot swasembada pangan. Akan tetapi, niat idealis ini bisa jadi terhambat oleh masalah-masalah eksternal yang belum tentu dapat dikendalikan oleh pemerintah maupun pada internal pemerintah, termasuk masalah di kementerian pertanian dan BUMN.
Sejumlah masalah yang masih nampak, seperti masih kuatnya tangan-tangan tengkulak dan instabilitas yang masih sering terjadi di BUMN. Potensi-potensi masalah yang dapat hadir juga terkait dengan kerugian di institusi milik BUMN, misalnya Perum Bulog yang terlapor rugi pada September 2017 lalu. Faktor-faktor ini bisa saja menjadi penghalang yang melilit ambisi pemerintah.
Jadi, bisakah Jokowi menangani permasalahan ini? Akankah kebijakan Kartu Tani hanya bernilai populis semata, tanpa nilai konklusif bagi masalah petani yang membelit selama ini? Semua bergantung pada keseriusan dan ketulusan sikap politik presiden kita ini. (R17)