Fahri Hamzah memprediksi Jokowi bisa saja kehilangan tiket Pilpres 2019, melihat gelagat koalisi gemuknya saat ini.
PinterPolitik.com
“Sebagai koalisi pemerintah, kita diwariskan legenda mengenai kurangnya kepercayaan dan keyakinan pada sistem politik.” ~ Andrew Lansley
[dropcap]D[/dropcap]engungan 2019 ganti presiden, sepertinya memantik sejumlah pihak untuk bermanuver dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. Salah satu datang dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengatakan akan menghadirkan pemimpin baru amanah, cerdas, dan berpihak pada masyarakat.
Sontak masyarakat pun bertanya-tanya, apakah berarti Presiden Keenam ini tengah mempersiapkan seseorang yang akan menjadi lawan Jokowi tahun depan? Menyikapi berkembang wacana tersebut, Sekertaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Panjaitan menyatakan kalau apa yang ditulis di media tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh SBY.
Meski begitu, tetap saja pernyataan SBY tersebut bagaikan pancingan yang cantik bagi pihak oposisi untuk semakin menguatkannya. Salah satu yang terpancing untuk berkomentar, tak lain dan tak bukan adalah Fahri Hamzah. Bagi Wakil Ketua DPR ini, ucapan SBY tersebut merupakan pertanda kalau posisi Jokowi tengah terancam dengan kemungkinan adanya poros ketiga.
Fahri Hamzah sebut Jokowi bisa tak dapat tiket di Pilpres, PDIP: Banyak partai yang sudah mendukunghttps://t.co/FUeFUfEToj pic.twitter.com/OUkoVCTg12
— Stella Gyovani (@StellaGyovani) April 25, 2018
Politikus “tanpa partai” ini, meramalkan kalau koalisi gemuk yang ada digenggaman Jokowi, bisa saja “melarikan diri” apabila Jokowi terlalu cepat menentukan cawapresnya. Fahri melihat, Jokowi memiliki posisi yang rentan untuk ditinggalkan oleh partainya. Sehingga bisa saja di tahun depan, Jokowi malah kehilangan “tiket” untuk kembali berlaga sebagai capres.
Sikap parpol koalisi Jokowi yang seolah saling berlomba mengedepankan kadernya sendiri sebagai cawapres, memperlihatkan kalau dukungan tersebut tidak murni berdasarkan kebijakan Jokowi. Fakta ini terlihat dari bagaimana PDI Perjuangan berusaha mencari pendamping Jokowi atas kriterianya sendiri, begitupun Golkar yang berharap Jokowi ikut memperhitungkan Ketua Umum mereka, Airlangga Hartarto.
Di sisi lain, pendeklarasian JOIN (Jokowi – Cak Imin) yang dilakukan Ketua Umum PKB tersebut, juga disebut-sebut dapat menjadi api perpecahan bagi koalisi Jokowi. Sebab walau sudah gencar kampanye ke mana-mana, namun hingga kini PKB sebetulnya masih belum menyatakan kemantapannya untuk bergabung ke kubu Jokowi. Berdasarkan fakta ini, mungkinkan prediksi Fahri akan menjadi kenyataan?
Koalisi dan Komitmen Partai
Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka. ~ Erich Fromm
Koalisi untuk membentuk pemerintahan maupun pasukan yang kuat, telah ada bahkan sejak puluhan tahun sebelum Masehi. Namun koalisi-koalisi yang awalnya terjadi atas azas tinggal balik atau mitra sejajar itu, pada akhirnya bisa terancam bila salah satunya mendapatkan kekuasaan lebih besar dibanding yang lainnya.
Kisah hancurnya koalisi antara Caesar, Pompei, dan Crassus pada era Romawi adalah salah satunya. Ketika Pompei meninggal, Caesar yang akhirnya memiliki kekuasaan lebih besar dari Crassus pun berubah menjadi pemimpin tirani. Sikap Caesar ini, tak hanya mengakhiri persahabatannya dengan Crassus, tapi juga menjadi awal hancurnya kejayaan pemerintahan demokrasi di negara itu.
Walau tidak sedramatis kisah di atas, namun adanya adu pengaruh untuk mendapatkan jabatan RI-2 di koalisi Jokowi, bisa saja akan membawa kehancuran dari Sang Petahana. Menurut Dosen Sosial dan Ilmu Politik Lampung Syarif Makhya, lemahnya koalisi yang terbangun dalam politik Indonesia akibat tidak didasarkan pada kepentingan visi dan ideologis partai, tapi lebih bermotivasi pragmatis yaitu pembagian kekuasaan.
Koalisi ini disebut sebagai koalisi taktis, sebab dibangun tidak berdasarkan asas keseimbangan, sehingga dominasi kekuasaan sangat terlihat berada dan ditentukan oleh partai politik yang lebih besar. Selain itu, kentalnya keputusan oligarki elit kekuasaan tertinggi partai juga cenderung menyampingkan aspirasi konstituen partai, sehingga tidak konsisten dalam berpikir dan bertindak untuk memenuhi harapan rakyat.
Melihat koalisi yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuasaan ini, sangat sesuai dengan Teori Minimal Winning Coalition (MWC) dari Arend Lijphart. Menurutnya, prinsip dasar partai yang berkoalisi untuk kekuasaan adalah untuk meraih sebanyak mungkin kursi kabinet (office seeking) dan cenderung mengabaikan partai dengan suara yang lebih kecil.
Berdasarkan teori tersebut, tak heran bila PDI Perjuangan merasa paling berhak untuk menentukan cawapres Jokowi. Walau Golkar juga memiliki suara yang tak kalah banyak dan sudah mendeklarasikan Jokowi sebagai capres lebih dulu, namun Partai Banteng tetap merasa partainya lah yang paling besar suaranya.
Terlebih pada 2014 lalu, PDI Perjuangan merupakan satu-satunya partai besar yang mendukung Jokowi hingga meraih tampuk pimpinan. Sementara Hanura dan NasDem, terlihat “kalem” mengingat suaranya di parlemen tidak terlalu besar. Begitu pun dengan PKPI yang terkesan sebagai partai ‘penggembira’ karena tidak memiliki kursi di DPR.
Di sisi lain, sebagai Petahana yang didukung sebagian besar parpol, posisi Jokowi tidak bisa lagi dibilang lemah. Selain itu, elektabilitas Jokowi yang makin meningkat dan kepuasan masyarakat yang mencapai 70 persen lebih, memperkuat posisi tawarnya terhadap dominasi PDI Perjuangan.
Seperti yang dikatakan Fahri, Jokowi memang harus hati-hati dalam menentukan keputusannya. Begitu saja mempercayai cawapresnya pada PDI Perjuangan, bisa jadi hanya akan membuat pamornya menurun di mata masyarakat. Sebaliknya, bila ia menetapkan cawapres yang tidak dapat diterima oleh seluruh parpol pendukungnya, kemungkinan pecahnya koalisi juga sangat tinggi.
Siapa Kartu Jokowi?
Manusia pada dasarnya adalah binatang politik. ~ Aristoteles
Bila manusia adalah binatang politik, maka para politisi bisa jadi adalah binatang buasnya. Di tahun politik ini, para pencari kekuasaan bahkan tak malu-malu mengungkapkan jati dirinya. Pertarungan tak hanya terjadi di koalisi berseberangan, di dalam koalisi yang sama pun sangat jelas tarik menarik kepentingannya.
Sejauh ini, capres yang sudah pasti maju memang hanya Jokowi saja. Sementara koalisi oposisi, yaitu Gerindra dan PKS juga masih dalam tahap tawar menawar. Situasi yang masih gamang ini, memang memungkinkan terjadinya koalisi ketiga yang sempat diwacanakan oleh Demokrat, PKB, dan PAN.
Namun menurut Fahri, poros ketiga bisa saja datang bukan dari Demokrat, PKB, dan PAN, tapi dari parpol koalisi Jokowi sendiri. Berdasarkan pernyataannya, bisa jadi capres “baru” akan lahir dari parpol besar yang merasa kecewa dengan pilihan cawapres Jokowi, sehingga Jokowi kehilangan suara yang dibutuhkan dan tiketnya sebagai capres pun ikut lenyap.
Bila menilik dari peta dukungan yang dimiliki Jokowi, parpol besar itu tak lain adalah PDI Perjuangan dan Golkar. Mengapa? Karena PDI Perjuangan memiliki 19,5 persen suara dan Golkar menyumbang 16,3 suara. Terlebih, kedua partai ini sama-sama menyodorkan cawapres kepada Jokowi. Sementara Hanura dan NasDem yang tergolong “setia” dan tidak mempermasalahkan cawapresnya, hanya memiliki total suara 9,2 persen saja.
Sehingga bisa disimpulkan, “kartu” Jokowi sebenarnya terletak pada PDI Perjuangan maupun Golkar. Sementara PPP, walau menyodorkan cawapres, namun jumlah suaranya tidak signifikan bagi kekuatan Jokowi karena hanya punya tujuh persen saja. Di sinilah buah simalakama yang tengah dihadapi mantan Walikota Solo ini.
Bukan rahasia lagi bila hubungan antara Jokowi dan PDI Perjuangan tidak selalu berjalan harmonis. Begitu pun dengan pemilihan pasangan Jokowi di Pilpres nanti, ini terlihat dari kabar kalau Jokowi memiliki tim seleksi cawapresnya sendiri, padahal Mega juga tengah sibuk berkoordinasi sana-sini dan menghadirkan nama-nama yang dianggapnya mampu mendampingi Jokowi berdasarkan kepentingan partai tersebut.
Sejauh ini, nama-nama yang disodorkan Partai Merah ini memang terkesan tidak populer di mata masyarakat. Sehingga wajar apabila Jokowi juga seperti enggan untuk menerima begitu saja apa yang disodorkan. Walau bagaimana pun, elektabilitas Jokowi yang masih di posisi 50 persen, sangat rentan terjun bebas bila ia salah berpasangan.
Sementara itu, walaupun Golkar telah menyatakan menyerahkan sepenuhnya pemilihan cawapres pada Jokowi, belakangan muncul juga suara-suara yang berharap agar Jokowi mau bersanding dengan Airlangga. Rumor yang beredar, ada semacam friksi di Golkar yang menginginkan Partai Beringin tersebut menarik dukungan apabila Jokowi enggan berpasangan dengan Menteri Perindustrian tersebut.
Seperti yang diketahui, partai yang dekat dengan era Orde Baru ini juga memiliki kader-kader yang mampu membalikkan keadaan bila kepentingan partainya tidak terakomodir. Misalnya saja, masuknya nama Titiek Soeharto di kepengurusan partai Golkar sebagai wakil koordinator bidang Pratama yang tugasnya terfokus pada pemenangan Golkar di Pilkada, Pileg, dan juga Pilpres.
Kondisi ini, sebenarnya dapat teratasi bila ada komunikasi intensif dan tujuan yang sama antara Jokowi dengan partai-partai pendukungnya, terutama PDI Perjuangan dan Golkar. Apalagi bila mantan Gubernur DKI Jakarta ini ingin mengambil cawapres dari partai lain atau non partai, sehingga ramalan Fahri akan hilangnya tiket Jokowi bisa dihindari.
Bagaimana pun juga, permasalahan capres dan cawapres seharusnya memang bukanlah soal ajang saling rebut kekuasaan dan pengaruh. Namun siapa yang paling mumpuni untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Bila tidak, maka pernyataan Andrew Lansley mengenai kurangnya kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada sistem politik, bukan lagi hanya legenda, tapi memang begitulah kenyataannya. (R24)