“Perundungan politik“ hingga sentimen minor menghantui Partai NasDem setelah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) 2024, salah satunya tagar #tenggelamkannasdem. Akan tetapi, Partai NasDem kiranya masih terlalu tangguh untuk dipaksa tenggelam. Mengapa demikian?
Partai NasDem seolah menjadi koordinator deklarasi IndonesiAnies yang digelar di Jakarta pada Rabu, 2 November. Itu dikarenakan, ribuan relawan yang hadir dalam acara tersebut dikatakan mematahkan tagar #tenggelamkannasdem yang sempat beredar di media sosial beberapa waktu lalu.
Adalah Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali yang mengungkapkan pernyataan itu dan turut hadir secara langsung dalam deklarasi yang dilangsungkan di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat.
“Gini, bukan spesifik membantu NasDem, tapi bahwa hari ini banyak sekali orang yang membuat tagline, #tenggelamkannasdem, hari ini kita jawab, Anies, NasDem tidak tenggelam karena orang yang tidak suka pada Anies,” ujar Ahmad Ali dengan nada optimisme.
Ya, setelah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres) 2024, Partai NasDem memang seakan mengalami perundungan politik. Mulai dari sentilan akan terpecah konsentrasinya mengawal pemerintahan hingga disebut telah bertransformasi menjadi kontra administrasi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Eksistensi Partai NasDem sebagai parpol pemerintah di mana kadernya mengampu tiga jabatan menteri, jamak dinilai bertolak belakang dengan support terhadap Anies yang disebut Zulfan Lindan sebagai antitesis Jokowi.
Selain itu, NasDem juga menyebut pemilihan Anies sebagai capres dalam Pemilu 2024 juga untuk membesarkan partai pengusung yang masuk dalam koalisi.
Tak hanya diselimuti sentimen minor, hasil survei pemilihan legislatif baru-baru ini juga meramalkan Partai NasDem akan tenggelam di kontestasi politik 2024.
Hasil survei LSI Denny JA menunjukkan Partai NasDem hanya merengkuh 3,9 persen keterpilihan. Torehan tersebut hanya selisih 0,1 persen dari ambang minimal jika sebuah partai politik (parpol) ingin masuk ke parlemen atau parliamentary threshold, yakni 4 persen.
Kendati diramalkan tak lolos parlemen, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim merespons dengan cukup bijak. Dirinya mengatakan hasil itu akan menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja partai ke depan.
Namun, satu pertanyaan masih tersisa dari gelombang sentimen minor kepada partai besutan Surya Paloh itu. Mengapa itu bisa terjadi, serta apakah benar dikarenakan oleh sokongan terhadap Anies sebagai bakal capres?
Anies Pilihan Keliru?
Eksistensi sentimen minor terhadap Partai NasDem kemungkinan diakibatkan oleh inisiatif serta agresivitas politik yang mau tidak mau dilakukan.
Bisa saja memang Partai NasDem awalnya ingin menjadi pendobrak maupun inisiator yang berakar dari intensi meraih efek ekor jas atau coattail effect. Itu bisa ditelusuri dari momentum sebelum Partai NasDem mengusung Anies melalui semangat yang dikorbankan oleh salah satu elitenya, Saan Mustopa.
Dalam sebuah agenda di Lembang, Jawa Barat yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh, beserta Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Prananda Paloh pada September lalu, Saan menyebut Partai NasDem harus mengalahkan Partai Golkar di Pemilu 2024.
Sejak era Reformasi, partai berlambang pohon beringin itu memang tak pernah absen dari dua besar perengkuh suara terbanyak di level legislatif nasional. Oleh karenanya, pantas jika gelora mengalahkan Golkar dikemukakan.
Kadung beredar luas ke khalayak dan aktor politik lain, Partai NasDem tentu tak ingin tinggal diam begitu saja dengan ambisi kosong. Satu bulan setelah pekikan semangat Saan, Anies secara resmi dideklarasikan sebagai bakal capres 2024 oleh Surya Paloh.
Kembali, korelasi positif sokongan capres dengan rengkuhan legislatif selama ini dikenal sebagai coattail effect seperti yang disebutkan di atas.
Dalam jurnal berjudul The Coattail Effect in Multiparty Presidential Election: Evidence from Indonesia yang dipublikasikan oleh Djayadi Hanan dan Deni Irvani, dijelaskan coattail effect atau efek ekor jas eksis dalam sistem politik multipartai di Indonesia di tiap edisi pemilu, paling tidak sejak pemilihan langsung pada 2004.
Parpol yang mengusung capres dengan elektabilitas mumpuni, menurut Djayadi dan Deni dapat merengkuh dampak elektoral positif di level legislatif.
Boleh jadi, gerak cepat deklarasi Anies demi menyelaraskan agresivitas Partai NasDem untuk mengalahkan Partai Golkar yang begitu “jumawa” di legislatif, bahkan tanpa mengusung capres maupun cawapres internal.
Akan tetapi, apa yang tertulis di atas kertas analisis tak selalu berjalan di level praktis, terutama di ranah politik. Survei LSI Denny JA yang menyebut Partai NasDem tak akan lolos parlemen di 2024 kiranya dapat menjadi sebuah refleksi.
Meskipun survei LSI Denny JA hanya satu dari sekian kesimpulan sementara, “pre-coattail effect”tampak tidak bekerja dalam case Partai NasDem pasca deklarasi Anies sebagai capres. Bahkan, meski Anies disebut memiliki elektabilitas yang konsisten di tiga besar kandidat capres 2024.
Partai NasDem mungkin tidak terlalu memperhitungkan bahwa Anies punya rival loyal dan sentimen minor yang cukup masif. Bisa saja, ambisi untuk mengalahkan Partai Golkar dan ketiadaan opsi internal untuk menjadi capres membuat Surya Paloh tak memiliki pilihan lain.
Di titik ini, Anies tampaknya menjadi solusi instan Partai NasDem, yang mana sayangnya berbeda dengan konteks sokongannya terhadap Jokowi di 2014 dan 2019 yang memiliki karakteristik situasi berbeda.
Selain itu, sentimen minor yang menghantui Partai NasDem kiranya juga secara tidak langsung disebabkan oleh alotnya pembentukan koalisi dengan PKS dan Partai Demokrat.
Keengganan PKS terhadap rencana deklarasi koalisi pada 10 November mendatang menjadi satu tanda dari rumitnya merumuskan pembagian “jatah politik” dalam koalisi, termasuk sosok calon wakil presiden (cawapres).
Selain itu, faktor eksternal berupa manuver tak terlihat aktor yang menganggap Partai NasDem dan Anies sebagai rival di 2024 kiranya patut pula ditelaah lebih dalam. Mengapa demikian?
Operasi Gabungan #TenggelamkanNasDem?
Dengan kuatnya elektabilitas Anies, capres yang berpeluang diusung parpol lain agaknya dapat melihat manuver Partai NasDem sebagai ancaman.
Ketika sampai pada penafsiran ini, terdapat sejumlah entitas politik nasional kuat yang mungkin akan berupaya meredam progresivitas Anies dan Partai NasDem.
Jika dipetakan dalam sebuah interpretasi, terdapat PDIP dengan kadernya Ganjar Pranowo yang juga menjadi pesaing ketat Anies dalam survei elektabilitas selama ini. Belum lagi Partai Gerindra dengan agenda ambisiusnya mengusung Prabowo Subianto sebagai capres untuk ketiga kalinya.
Tak hanya itu, Partai Golkar yang dijadikan indikator untuk dikalahkan juga kemungkinan akan melihat Partai NasDem dan deklarasinya terhadap Anies sebagai sebuah alarm bahaya.
Belum lagi ditambah dengan rival loyal Anies yang jamak diketahui mulai eksis saat dirinya bertarung di Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 silam.
Anies pun menjadi musuh bersama atau common enemy di luar kompromi kekuasaan saat ini karena sering dianggap sebagai antitesis pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi.
Bagaimanapun, esensi mengalahkan musuh bersama untuk minimal mengurangi pesaing telah ada sejak lama dan kiranya cukup lumrah dalam politik. Frasa Latin “amicus meus, inimicus inimici mei“ atau terjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesianya masing-masing the enemy of my enemy is my friend (musuh dari musuhku adalah kawanku) kerap dijadikan justifikasi untuk mengalahkan lawan.
Ketika diadopsi ke ranah psikologi politik, pemaknaan itu juga dapat ditelaah dari postulat psikolog Austria Fritz Heider yang menganggap sepasang teman dengan musuh bersama sebagai segitiga yang seimbang.
Kendati demikian, sentimen minor terhadap Partai NasDem tidak serta merta dapat dituduhkan kepada aktor dan entitas politik calon rival mereka di 2024. Faktor lain yang lebih spesifik dan komprehensif kiranya bisa saja memantik #tenggelamkannasdem serta aura negatif yang belakangan menerpa.
Terlebih, dalam konteks berbeda, elektabilitas survei di konteks legislatif seringkali gagal. Korelasi dengan efek ekor jas mengusung capres tertentu pun disebut Djayadi dan Deni tidak selalu terdistribusi secara proporsional.
Di ranah legislatif, pemilih dikatakan seringkali memilih parpol maupun kandidat caleg yang berbeda dengan pilihan mereka di level pilpres.
Apalagi, Partai NasDem memiliki sumber daya untuk mempraktikkan strategi politik tersendiri. “Merekrut” kader potensial parpol lain demi kepentingan legislatifnya cukup mungkin dilakukan, tidak hanya di level pusat, tetapi juga di ajang pertarungan legilstatif daerah.
Di atas semua itu, dinamika intrik politik menjelang 2024 tampaknya masih akan berjalan menarik ke depan. Satu yang pasti, pasang surut dan rivalitas mereka diharapkan jangan sampai mengorbankan kepentingan masyarakat banyak yang saat ini sedang diamanahkan. (J61)