Site icon PinterPolitik.com

Karangan Bunga, Antara Cinta & Benci

Foto: Media Indonesia

Karangan bunga yang menumpuk di Balai Kota, seolah menjadi penjelmaan bentuk cinta dan benci masyarakat terhadap Ahok. Sampai kapan ini berlarut?


PinterPolitik.com

“Kalau dalam tiga hari Balai Kota belum bersih dari bunga-bunganya, kita akan datang untuk bersihkan. Siap untuk bersihkan Balai Kota.”

[dropcap size=big]U[/dropcap]capan itu diteriakkan seorang orator dari mobil komandonya, sambil meminta para buruh peserta demo untuk terus mengumpulkan karangan bunga yang berjejer di depan Balai Kota. Para buruh Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM PSI) DKI Jakarta ini, sedang mengikuti aksi Hari Buruh International atau May Day, kemudian mereka membakar tumpukan karangan bunga tersebut, Senin (1/5).

Seiring api yang membakar bunga-bunga tersebut, sang orator yang diketahui menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bernama Said Iqbal ini, menyatakan kekecewaannya pada aksi gusur dan tidak ditepatinya janji Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, selama menjabat.

Aksi bakar karangan bunga oleh serikat pekerja buruh yang belakangan diketahui juga merupakan pendukung Prabowo Subianto ini, langsung mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan. Salah satunya dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, lewat akun twitter @budimandjatmiko. “Gerakan buruh yg progresif itu dekat dgn bunga mawar merah…Kalau yg mbakar bunga, pasti gak ngerti filosofi & sejarah gerakan buruh.”

Selain Budiman yang mantan ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan pembela buruh tani, mantan aktivis lainnya, Fadjroel Rahman ikut mengunggah video para buruh yang membakar karangan bunga untuk Ahok, “Kenapa bunga harus dimusuhi?” cuitnya. Malam harinya, sejumlah warga pun berdatangan ke Balai Kota untuk menyala lilin sebagai ungkapan kekecewaan mereka terhadap aksi bakar tersebut.

Sementara itu, Ahok merasa prihatin terhadap oknum buruh yang membakar karangan bunga tersebut. Sebab, menurutnya, bekas karangan bunga tersebut masih bisa dijual kembali ke toko bunga. “Sayang saja. Karena papan bunga bekas bisa dijual Rp 50 ribu ke toko bunga kembali,” katanya, Senin (1/5).

 

Bunga Untuk Ahok

“Kita pernah bahagia banget sampe nangis. Sekarang kita sedih banget sampe ga bisa nangis. Terima kasih Pak Ahok dan Pak Djarot, sampe ketemu lagi.”  Dari Grup Baper yang berusaha setrong.

Pengakuan kesedihan ini, merupakan ucapan yang terdapat di salah satu karangan bunga di Balai Kota Jakarta. Sejak hasil penghitungan cepat (quick count) Komisi Pemilihan Umum (KPU) memenangkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur mendatang, mengalahkan pasangan pertahana Ahok-Djarot, Balai Kota DKI mendadak kebanjiran bunga.

Hingga Minggu (30/4), jumlah karangan bunga yang datang jumlahnya mencapai 7.125 papan. Bila karangan-karangan bunga itu dirupiahkan, konon harganya bisa mencapai lebih dari Rp 3,5 miliar. Ribuan karangan bunga ini, tidak hanya membanjiri halaman Balai kota DKI Jakarta, akan tetapi juga di luar Jakarta, baik itu di Jogja, Medan, Pontianak, Batam, bahkan di luar negeri.

Gerakan mengirimkan bunga ucapan terima kasih Ahok – Djarot ini ternyata dimulai oleh Jappy M. Pellokila – pendiri dan perintis grup Indonesia Hari Ini (IHI), Roostien Ilyas – anggota IHI, Todora Radisic – Ketua Relawan Cinta Ahok (RCA), serta Susi Karina dari Gerakan Damai Nusantara (GDN).

Jappy mengatakan, ide mengirimkan bunga kepada Ahok dan Djarot awalnya diniatkan sebagai dukungan moral dari para pendukungnya. Rencana itu sudah dilakukan sejak Sabtu, 22 April. Seperti dikutip Antara, Jappy tidak menyangka kalau pada akhirnya kiriman karangan bunga tersebut bisa mencapai ribuan dan memenuhi kawasan Balai Kota hingga sekitarnya.

Menanggapi pembakaran bunga yang dilakukan Senin lalu, Selasa pagi (2/5) setidaknya ada dua karangan bunga yang merespon pembakaran tersebut terpasang di Balai Kota. Dua karangan bunga yang ditempatkan berdampingan itu, merupakan bentuk protes terhadap buruh, salah satunya dari ‘Group Menolak Kekerasan’ yang menuliskan sindiran berbunyi, “Terima Kasih Kepada Pembakar Bunga. Karena Doa2 Kita Lebih Cepat Naiknya”.

Katakan Dengan Bunga

“Orang-orang optimis melihat bunga mawar, bukan durinya. Orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya.” ~ Kahlil Gibran

Ungkapan yang dikatakan oleh penyair asal Lebanon di atas, mungkin bisa mewakili apa yang tengah terjadi belakangan ini. Bagi para pendukung Ahok atau yang sering disebut dengan Ahoker, karangan bunga yang membludak di Balai Kota merupakan ungkapan rasa terima kasih, pembangkit semangat, penghormatan, dan lainnya.

“Mengirim karangan bunga untuk Ahok-Djarot, ada motif atau alasan lain, mungkin aja. Tapi kalau sebagai bentuk kekecewaan, sepertinya nggak ya, karena tulisannya banyak yang happy. Itu ekspresi penghormatan, juga menghibur. Entah menghibur diri sendiri dan menghibur orang yang dikirimi. Bisa juga untuk menguatkan diri sendiri,” terang psikolog sosial dari Ikatan Psikolog Sosial Wahyu Cahyono, S.Psi, M.Si, Jumat (28/4).

Menurutnya, ucapan di karangan bunga yang unik dan lucu merupakan bentuk kreativitas yang seru. Bisa jadi, si pengirim ingin sesuatu yang personal dan berbeda dengan orang lain. “Kenapa karangan bunga? Bisa karena praktis dan lazim dilakukan, sebab bila memasang kartu ucapan, mengirim makanan, dan lainnya, mungkin dianggap lebih repot,” terangnya.

Sedang berdasarkan studi psikologi yang dilakukan Haviland-Jones yang dirilis Rutgers Magazine, menyatakan bahwa bunga mampu mereduksi level stres seseorang. Mereka berpendapat, wangi-wangian tertentu yang terdapat pada bunga mampu mengubah suasana hati buruk seseorang. Jika dikaitkan dengan bidang psikologi positif, kondisi emosi yang baik membantu menjaga kesehatan reproduksi seseorang.

Sementara itu, bagi pihak yang bertentangan dengan si pemberi dan penerima bunga, tentu efeknya akan dirasakan sebagai ‘duri’ yang mengganggu. Seperti yang dilakukan oleh para buruh, Senin kemarin. Mereka menjadikan bunga sebagai obyek kemarahan dan kekesalan mereka terhadap Ahok-Djarot. “Namanya massa banyak, itu pasti ada faktor psikologis dan itu bunga sudah tidak terpakai,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (1/5).

 

Kenapa Belum Move On?

Terima kasih Pak Ahok Atas Kerja Kerasnya Selama Ini. Andalah Pemimpin Sejati. We Love You, We Will Miss You’. Dari kami yang belum bisa move on.”

Fenomena belum bisa move on usai pemilihan umum, sebenarnya sudah tidak asing lagi bangsa Indonesia. Sejak terpilihnya Joko Widodo menjadi orang pertama di negeri ini, para pengagum sejati Prabowo Subianto yang terpaksa menghadapi kekalahan, hingga detik ini pun sebenarnya masih menyimpan bara kekecewaan.

Bahkan sebenarnya, pendukung Anies-Sandi di Pilkada DKI juga sebagian besarnya adalah pendukung militan Prabowo yang hingga kini belum move on. Akibat sikap Prabowo yang awalnya terkesan ‘memusuhi’ Jokowi serta fanatisme berlebihan pendukungnya, akhirnya memunculkan istilah ‘gagal move on’, olok-olok yang didengungkan pendukung Jokowi ketika ada kritik untuk presiden.

Dalam artikel berjudul “Gagal Move On Gara-gara Pemilu?” yang ditulis jurnalis Indonesia di Amerika Serikat, kekesalan pendukung garis keras Prabowo ini juga ditujukan pada orang-orang yang memilih netral dan sungguh-sungguh mengkritisi kepemimpinan Jokowi.

Kesedihan yang berlarut-larut, juga sempat di alami para pendukung Hillary Clinton yang mengalami kekalahan telak saat Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun lalu. Sakitnya kekalahan ini, mungkin sama dengan yang dirasakan oleh para pendukung Ahok-Djarot saat ini. “Rasanya nyaris sama menyakitkan dengan kematian orang tercinta,” tulis Ully.

Untunglah rasa sakit karena belum move on itu tidak sampai menciptakan bentrokan, hanya pembakaran bunga layu semata. Tidak seperti yang terjadi, antara kelompok pendukung dan penolak Presiden Trump di California, saat warga AS merayakan Hari Patriot, Sabtu (15/4) lalu. Kedua kubu ini bahkan melakukan peringatan secara terpisah, walau pada akhirnya tetap terjadi adu fisik dan adu mulut.

Dalam buku On Death and Dying, Elisabeth Kubler-Ross menyatakan kalau kesedihan memiliki lima fase, yaitu penyangkalan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Menurutnya, tidak semua orang mengalami fase tersebut secara urut. Dalam konteks politik, fase-fase ini pun tampaknya berlaku.

“Sebagian pendukung Prabowo di Pilpres lalu maupun Ahok di Pilkada DKI kemarin, ada yang sudah khatam hingga pada tahap penerimaan, tapi banyak juga yang masih tahap misuh-misuh di medsos dengan mencela setiap keputusan politik yang ditempuh Jokowi, baik yang bagus apalagi yang memang agak butut,” tulis Ully.

 

 

Cara Move On Lebih Cepat

“Percayalah padaku. Kekuasaan berasal dari Tuhan dan itu juga bisa diambil oleh Tuhan. Tidak ada yang berkuasa tanpa izin Tuhan. Jangan sedih karena Tuhan tahu.”

Itulah pesan Ahok kepada para pendukungnya, setelah mengucapkan selamat pada pasangan pemenang Anies-Sandi. Kalah maupun menang dalam pemilihan umum, baik pemilihan presiden maupun kepala daerah, sebenarnya adalah hal yang biasa. Bahkan di luar negeri, dampak warga yang terpecah belah akibat pemilihan umum juga sangat sering terjadi.

Bahkan Asosiasi Psikolog Amerika Serikat menyebutkan, 52 persen orang dewasa AS mengalami gejala stres akibat masa-masa kampanye yang sengit. Apa yang terjadi di AS bisa terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Pemilihan presiden dan kepala daerah sangat berpotensi membuat orang saling berdebat keras dan tertekan secara mental.

Jika pada akhirnya kandidat yang kita pilih berhasil menang, rasanya semua stres akan sirna dan berganti kegembiraan. Sebaliknya, pihak yang mengalami kekalahan butuh waktu dan usaha untuk menjaga agar pikiran dan mental tetap sehat. Bagaimana caranya? Surat kabar AS, The Huffington Post sempat memuat artikel mengenai cara move on ini.

Salah satu yang dianjurkan oleh Profesor Nadine Kaslow dari departemen psikiatri dan ilmu perilaku di Emory university School of Medicine di Atlanta, adalah apa yang sudah dilakukan para pendukung Ahok saat ini. Yaitu melakukan kegiatan positif yang memberi kesempatan untuk saling mengungkapkan simpati dan penghiburan. Karangan bunga di Balai Kota, adalah wujud dari saling bertukar simpati dan menguatkan diri.

Sementara seorang psikolog di Florida, Bart Rossi mengatakan, meminimalisir dialog dengan kerabat maupun rekan yang memiliki pandangan politik berlawanan adalah cara jitu untuk tidak terus menerus terbawa perasaan atau yang bahasa gaulnya, Baper. “Terlalu banyak bicara politik dalam kondisi ada yang merasa menang dan kalah, akan menjadi percakapan beracun yang tidak akan membawa hasil apa-apa,” sarannya.

Sedangkan Psikolog Dana Lipsky dari Columbia, menyarankan kelompok pendukung yang kalah dapat mengambil tindakan untuk mengawal pemerintahan ataupun menjadi oposisi yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pihak lawan. “Mulailah bekerja atas nama kandidat politik atau isu yang dipercaya. Dengan demikian, Anda telah membela nama kandidat dengan cara yang positif,” tukasnya.

Di AS, kekalahan Hillary, sedikitnya keterwakilan perempuan di parlemen, dan banyaknya kebijakan Trump yang tidak pro perempuan, ternyata memicu para perempuan AS untuk berpolitik. Berdasarkan data dari Emily’s List, sebuah organisasi perempuan Demokrat yang mendukung pro-choice, lebih dari 10 ribu perempuan telah menyatakan diri siap untuk terjun ke dunia politik.

Menurut Stephanie Schriock, Presiden Emily’s List, tujuan mereka adalah untuk mewujudkan kembali Obamacare yang telah dihentikan oleh pemerintahan Trump. Belajar dari apa yang para perempuan Demokrat lalukan, keempat perempuan penggagas bunga untuk Ahok atau RCA mungkin juga bisa mengambil inisiatif untuk memberdayakan anggotanya agar lebih aktif di bidang politik, terutama dalam membela kebijakan yang pro perempuan. Bagaimana pendapatmu? (Berbagai sumber/R24)

Exit mobile version