Tenggelamnya kapal di Danau Toba, membuat orang bertanya-tanya, apakah gagasan poros maritim dunia Joko Widodo itu nyata?
PinterPolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]andphone milik Lanser Nainggolan tak bisa dihubungi sejak malam. Istrinya, Buru Monte cemas, apalagi ketika mendengar ada kapal tenggelam di Danau Toba.
Sejak itu pula, Monte berharap suaminya berada dalam keadaan baik-baik saja. Ia pun seringkali menanyakan kabar suaminya ke petugas Basarnas.
Selain Monte, seorang nenek yang berdiri di tepi Danau Toba sontak menangis sembari memanggil nama anak dan cucunya yang berlayar mengikuti kapal itu.
“Idiaho boruku, idia ho pahopuku. Roma hamu tu son. Bangke muna per ro ma tuson (Di mana kau putriku, di mana kau cucuku. Datanglah kalian kemari. Mayat kalian pun, jadilah),” ucap Monte.
Cerita di atas adalah potret keluh-kesah keluarga korban kapal KM Sinar Bangun yang tenggelam dalam perjalanan dari pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir menuju pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Cerita itu dikutip dari Tribunnews.com dengan judul “Jerit Tangis Keluarga Korban Kapal Tenggelam di Danau Toba, Mayatnya Pun Jadilah”.
Tentu, tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba menambah daftar panjang kasus tenggelamnya kapal di Indonesia sejak 2015. Dalam kecelakaan kali ini, disebutkan 186 orang hilang, 94 telah teridentifikasi dan 92 orang belum diketahui.
Sebelumnya, kasus kecelakaan kapal juga pernah terjadi di beberapa wilayah, seperti di perairan Sabang, Kepulauan Riau, NTT Sulawesi Utara, dan di beberapa daerah lainnya.
Dalam kecelakan di Danau Toba, fatalnya, belakangan baru diketahui, ternyata yang mengendalikan kapal tersebut bukanlah seorang nakhkoda.
"Cuma ngurus kapal tenggelam di danau aja pemerintah gak becus," kicaumu.
"Cuma?" Tau kau luas Danau Toba, dek? Begini. Kalau kau berdiri di pulau Samosir terus teriak panggil Abang di seberang, tak kedengaran suara kau.
Artinya: lebih baik diam lah kau, dek.
— Rane 'JaF' Hafied (@jafrane) June 23, 2018
Polisi baru menemukan kejanggalan ini ketika melakukan investigasi terhadap daftar korban selamat, meninggal dan hilang. Hasilnya nama nakhkoda tidak ditemukan.
Ternyata, nahkoda itu diketahui meminjamkan kapalnya kepada temannya untuk membawa penumpang menuju pelabuhan Tigaras.
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 serta dalam pasal 341.b Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) secara tegas menyatakan bahwa nahkoda adalah pemimpin kapal.
Nahkoda kapal merupakan seseorang yang sudah menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan pengusaha kapal sekaligus memenuhi syarat-syarat sebagai nahkoda menurut peraturan perundangan.
Nahkoda bahkan bertanggung jawab atas segala masalah yang terjadi di atas kapal, meskipun kesalahan itu bukan dilakukan olehnya.
Sementara, masalah lain berkaitan dengan over capacity. KM Sinar Bangun diketahui hanya berkapasitas 40 penumpang, namun faktanya kapal itu disebut memuat sekitar 200 orang.
Kapal itu juga tidak memenuhi standar kapal penumpang pada umumnya karena tidak dilengkapi dengan life jacket, rubber boat dan sekoci.
Alhamdulillah di darat korban kecelakaan selama arus mudik/balik th ini berkurang jauh. Kini mengamati evakuasi korban kapal tenggelam di Danau Toba. So far keluarga laporkan 178 yg hilang. Ini nyawa. Bukan statistik. Kita berharap sebanyak mungkin bs diselamatkan.
— unilubis (@unilubis) June 20, 2018
Pemerintah merespons cepat kecelakaan ini dengan menurunkan Tim SAR gabungan yang terdiri dari Basarnas, Marinir dan kepolisian yang hingga saat ini masih mencari korban.
Namun, dengan kecelakaan di atas, polemik lain pun muncul. Misalnya, pertanyaan tentang cita-cita poros maritim dunia yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi), hingga kinerja Menteri Perhubungan (Menhub).
Ironi Poros Maritim Jokowi
Mungkin masih lekat di ingatan kita, pidato kenegaraan Joko Widodo yang berkoar-koar mengatakan: “Kita terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera dan memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga di laut kita jaya.”
Tampaknya pidato itu masih jauh panggang daripada api, apalagi jika melihat konteks kecelakaan angkutan laut yang masih sering terjadi akibat pengawasan dan regulasi yang tidak memadai. Pemerintah perlu menaruh perhatian lebih terhadap sektor kelautan Indonesia. Apalagi melihat jumlah kapal yang berlayar di perairan Indonesia makin membludak.
Data vessel traffic system (VTS) misalnya, menunjukkan hingga saat ini terdapat 80.000 hingga 90.000 lalu lintas kapal di perairan Indonesia, sementara prediksi Kementerian Pertahanan juga mengatakan bakal ada 114.000 kapal yang menggunakan wilayah Selat Malaka pada tahun 2020.
Wah, indah sekali Pulau Samosir dan Danau Toba ini. Potensi wisatanya sangat besar untuk dikembangkan -Jkw pic.twitter.com/y7jQephcoQ
— Joko Widodo (@jokowi) August 21, 2016
Sementara, potensi ekonomi dari sektor keluatan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun dan tenaga kerja yang bisa diserap dari sektor ini mencapai 45 juta orang atau sepertiga dari total angkatan kerja nasional.
Potensi laut yang kaya memang telah menginpirasi pemerintah Indonesia untuk mengembalikan kejayaan maritim yang seringkali digaungkan yakni poros maritim dunia (global maritime fulcrum).
Kekuasaan Majapahit yang terbentang luas dari semenanjung Malaya, Borneo, Sumatera, Bali dan Filipina telah menginpirasi Presiden Jokowi untuk mengembalikan kejayaan Indonesia (nusantara) seperti dulu kala.
Dalam poros maritim dunia juga tersirat keinginan pemerintah untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya kelautan, membangun transportasi laut, infratruktur pelabuhan, termasuk pembangun industri maritim, sehingga kedaulatan Indonesia dapat terwujud.
Di level internasional, pemerintah Indonesia telah melakukan diplomasi maritim (maritime diplomacy) sebagai salah satu pilar dalam mewujudkan cita-cita poros maritim dunia.
Pemerintah misalnya, melakukan kerja sama bilateral dengan Jepang melalui high-level bilateral maritime forum yang ditujukan untuk memperkuat dan mempercepat kerja sama maritim seperti keselamatan dan keamanan maritim dan promosi industri maritim.
Kedua negara juga sepakat untuk memperkuat kapasitas keselamatan maritim, galangan kapal, pengiriman industri dan meningkatkan langkah-langkah untuk keselamatan lalu lintas maritim.
Namun, rasanya, maraknya kecelakaan kapal di Indonesia, termasuk yang menimpa KM Sinar Bangun, seakan membuat Jokowi seperti menelan ludah sendiri.
Laporan statistik Komite Keselamatan Trasnportasi (KNKT), misalnya mengatakan kecelakaan kapal dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan.
KNKT menunjukkan pada 2016 saja, jumlah kecelakaan kapal mencapai 18 kasus. Angka ini lebih tinggi dari kasus yang terjadi pada moda transportasi darat yang hanya 6 kasus di tahun yang sama. Angka ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang terjadi selain tahun 2016.
Poros Maritim, Politik Pencitraan?
Niat pemerintah untuk membangun tranportasi laut juga tidak sejalan dengan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Efesiensi Belanja Barang Kementerian dan Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2017.
Dengan Inpres itu, Kementerian Perhubungan terpaksa melakukan potongan anggaran paling besar dibandingkan dengan kementerian atau lembaga lainnya yakni sebesar 2 triliun dari anggaran awal 46,1 triliun menjadi 44,1 triliun.
Namun, pada tahun anggaran 2018, Kemenhub kembali mendapatkan total anggaran sebesar Rp 48,187 triliun. Dana ini rencananya akan dialokasikan ke empat prioritas program, yakni keselamatan dan keamanan transportasi, kapasitas sarana prasarana transportasi, tata kelola, regulasi dan dukungan manajemen di lingkungan Kemenhub, termasuk untuk sektor perhubungan laut.
Besaran anggaran yang berubah-ubah menunjukan niat pemerintah untuk membangun sektor maritim Indonesia perlu dipertanyakan. Alhasil, boleh dibilang cita-cita untuk mewujudkan poros maritim dunia sarat dengan politik pencitraan Jokowi.
Ya, gagasan mengenai poros maritim dunia sejak pertama kali diusung Jokowi pada pemilu 2014 banyak membuat orang terpikat. Jokowi memang banyak mengubah lanskap politik tanah air dengan berbagai teknik pencitraan, sebut saja blusukan dan lain-lain. Menurut Dan Nimmo dalam “Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek” citra adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu, sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Selain Nimmo, Schweiger dan Michaela Adami dalam jurnal “Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia” yang ditulis Kamaruddin Hasan menyebutkan citra merupaka gambaran menyeluruh yang ada di kepala pemilih mengenai kandidat maupun program.
Lantas, dari kasus mengenai tenggelamnya kapal di Indonesia dan gagasan-gagasan politik Jokowi yang ingin mengembalikan kejayaan maritim Indonesia seperti dulu kala, bisakah dibilang: poros maritim dunia hanyalah politik pencitraan Jokowi? (A13)