Site icon PinterPolitik.com

Kanjuruhan, Pembuktian Skill Diplomasi Jokowi?

241d3861 f27d 426d 87b0 cf1285e94e5a 169

Presiden FIFA, Gianni Infantino (kiri) dan Presiden RI, Joko Widodo (kanan) saat bertemu di The Boardroom Hotel Grand Hyatt Erawan, Bangkok, Sabtu (2/11/2019).(Foto: Kompas/DOK. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Bayang-bayang sanksi FIFA telah menghantui Indonesia atas Tragedi Kanjuruhan. Berbagai upaya diplomasi telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) kepada Federation International de Football Association (FIFA) untuk memperkuat hubungan. Lalu, akankah Indonesia terlepas dari sanksi FIFA?


PinterPolitik.com

Dunia sepak bola berduka atas tragedi kelam di Stadion Kanjuruhan, Malang yang telah menewaskan 131 korban. Tragedi ini dipicu oleh penggunaan gas air mata yang sesungguhnya telah dilarang oleh Federation International de Football Association (FIFA) untuk menertibkan kekacauan di ajang sepak bola.

Pasca tragedi, Indonesia lantas harus bersiap menanggung apapun sanksi yang mungkin diberikan FIFA. Seakan menghadapi trigger atas pengenaan sanksi sebesar Rp 427,6 juta dari FIFA tahun 2018 lalu, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan langsung melakukan pendekatan kepada Presiden FIFA Gianni Infantino secara terpisah.

Presiden FIFA kemudian memberi tanggapan belasungkawa mendalam terhadap tragedi Kanjuruhan tanpa menyindir sanksi sama sekali. Presiden FIFA bahkan menyatakan organisasinya siap membantu sepak bola Indonesia untuk memperbaiki tata kelolanya.

Setelah melewati berbagai upaya komunikasi, baru-baru ini Presiden Jokowi membacakan surat pernyataan dari FIFA yang menyatakan Indonesia tidak akan dikenakan sanksi apapun, melainkan membentuk tim transformasi sepak bola. Bahkan, FIFA akan berkantor di Indonesia selama proses transformasi tersebut.

Hal ini tentunya membuat Indonesia bernapas lega dimana sebelumnya negara +62 terancam tidak dapat mengikuti Piala Asia 2023 serta Piala Asia U-23 2023. Indonesia bahkan terancam tidak dapat menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan karena dianggap tidak dapat mengontrol pertandingan dengan baik.

Lantas, mengapa Indonesia dapat menghindari ancaman sanksi tersebut?

Gunakan Diplomasi Kemanusiaan?

Upaya penguatan hubungan antara pihak Indonesia dengan FIFA termasuk dalam kategori proses diplomasi. Presiden Jokowi dan PSSI merupakan tokoh yang berperan sebagai “diplomat” negara, sedangkan FIFA dianggap sebagai organisasi internasional.

Menurut Ian Brownlie dalam bukunya yang berjudul Principles of Public International Law, diplomasi terdiri dari segala cara di mana negara-negara membangun atau memelihara hubungan timbal balik. Mereka berkomunikasi satu sama lain atau melakukan transaksi politik maupun hukum terhadap kasus tertentu melalui institusi resmi negara.

Salah satu kasus yang dapat dibahas dalam sebuah proses diplomasi yaitu terkait hak asasi manusia. Diplomasi yang memperjuangkan isu ini dinamakan dengan diplomasi kemanusiaan.

Diplomasi kemanusiaan dapat diartikan sebagai proses tawar-menawar, negosiasi, maupun advokasi yang bersangkutan dengan promosi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) internasional serta prinsip-prinsip kemanusiaan.

Pada umumnya diplomasi kemanusiaan dilakukan melalui beberapa track antara lain track 1 dan 2 dalam teori multi track diplomacy. Diplomasi yang melibatkan pejabat negara dan organisasi internasional melalui saluran dan alat tradisional merupakan ruang lingkup track 1. Sedangkan, diplomasi yang melibatkan aktor Non-Governmental Organization (NGO) dan individu terkemuka merupakan ruang lingkup track 2.

Pelaksanaan diplomasi kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tampaknya merujuk pada track 1. Di samping itu, diplomasi kemanusiaan yang dilakukan oleh PSSI merujuk pada track 2.

Sebelum memberikan pernyataan terkait ketiadaan sanksi, FIFA memang tidak menyinggung hal yang berkaitan dengan sanksi, namun lebih kepada ucapan belasungkawa dan siap beri bantuan maupun bimbingan kepada sepak bola Indonesia.

Sebagai cabang olahraga yang kerap kali suporternya melakukan kekerasan maupun melanggar aturan hukum dan tidak terlepas dari sikap fanatik, agaknya FIFA manfaatkan tragedi Kanjuruhan untuk membenahi sepak bola Indonesia.

Tragedi Kanjuruhan dapat memantik perilaku kekerasan lainnya akibat suporter bola. Di samping itu, Indonesia tampaknya memanfaatkan ini untuk menghindari sanksi dari FIFA dan menjalani kerja sama membangun antar keduanya.

Lalu, seperti apa sebenarnya posisi FIFA dalam tragedi ini? Adakah tendensi yang bersifat politis di dalamnya?

FIFA Punya Pengaruh Kuat?

Di samping kepentingan nasional terkait kemajuan sepak bola Indonesia, tampaknya kepentingan juga datang dari segi bisnis. Dengan cakupan internasional, FIFA tentunya dapat meningkatkan pendapatan bagi negara.

Publikasi dengan judul The Political Economy of Football: Democracy, Income Inequality, and Men’s National Football Team Performance yang ditulis oleh Kin-Man Wan, Ka-U Ng, dan Thung-Hong Lin menyebutkan bahwa “club goods”, permintaan, serta penawaran dalam industri sepak bola dipengaruhi oleh collective actions dari para investor, pemain, dan juga para penikmatnya.

Struktur ekonomi politik yang baik dapat berpengaruh positif kepada para investor dalam megambil collective actions, meningkatkan kesempatan kerja bagi para pemain, dan memberikan pertandingan-pertandingan yang menarik bagi para penonton sepak bola.

Pemerintahan yang demokratis akan berpengaruh terhadap pencapaian sepak bola di negara tersebut. Penelitian dari publikasi tersebut mengemukakan bahwa klub sepak bola membutuhkan investor, pemain, dan penggemar yang dapat menekan pengeluaran dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan.

Berdasarkan penelitian tersebut pula, pemerintah kiranya memang perlu campur tangan FIFA sebagai lembaga internasional untuk meningkatkan investasi jikalau Indonesia terpilih menjadi tuan rumah.

Hal itu tidak mengherankan karena selaras dengan lima poin kesepakatan FIFA kepada Indonesia dimana salah satunya memformulasikan standar protokol dan prosedur pengamanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian berdasarkan standar keamanan internasional.

Adapun, kesepakatan juga turut melibatkan suporter guna menyaring aspirasi serta komitmen bersama.

Dengan demikian, pola interaksi tersebut menunjukkan Indonesia kiranya harus terus memperbaiki hubungan dengan FIFA atas adanya kepentingan politik dan ekonomi yang kuat.

Kemudian, bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan Indonesia untuk mempertahankan predikatnya sebagai tuan rumah di Piala Dunia U-20 mendatang?

Upaya “Perbaiki Muka”?

Indonesia sebagai negara yang menyandang status sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023 tampaknya merasa perlu melakukan upaya “perbaiki muka”. Meskipun demikian, Tragedi Kanjuruhan memang merupakan kelalaian Indonesia.

Agaknya tidak mengherankan jika Indonesia terlihat ketar-ketir saat melakukan komunikasi dengan Presiden FIFA. Erick Thohir yang memiliki latar belakang bisnis sekaligus menjadi salah satu suporter bola dunia bahkan turut melakukan pendekatan hingga akhirnya Indonesia terbebas dari sanksi.

Upaya Erick Thohir melalui lima poin kesepakatan antara FIFA dan Indonesia pun bisa jadi merupakan upaya “perbaiki muka”. Kesepakatan itu mengarahkan sepak bola Indonesia untuk memperbaiki tata kelolanya dan menekankan pentingnya keamanan.

Satu poin penting yang menjadi perhatian sebenarnya terletak pada standar protokol dan prosedur keamanan. Jika ditinjau lebih dalam, sudah saatnya pula kiranya Polri untuk bertransformasi menjadi lembaga yang lebih demokratis dalam mempertanggungjawabkan tindakannya.

Bagaimana pun, sebuah kebijakan yang dirancang sebaik apapun memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Hal ini akan berhubungan dengan birokrasi. Dengan demikian, terlihat adanya urgensi dalam melakukan reformasi bagi Polri jika memang ingin belajar dari Tragedi Kanjuruhan.

Pada akhirnya, tragedi Kanjuruhan dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi negara, masyarakat, maupun FIFA itu sendiri. Bagaimana pun FIFA memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang signifikan bagi Indonesia sehingga pemerintah tampak melakukan upaya diplomasi kemanusiaan untuk menghindari sanksi.

Kesepakatan FIFA dengan Indonesia tanpa pemberian sanksi sebaiknya dilakukan dengan sebagaimana mestinya. Di saat yang sama, Polri juga sudah seharusnya melakukan reformasi untuk dapat mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat sebaik mungkin.

Hal ini ditujukan agar tidak ada lagi tragedi serupa di Indonesia, khususnya ketika negara ini menjadi tuan rumah bagi perhelatan Piala Dunia U-20 2023. (Z81)

Exit mobile version