Tragedi Kanjuruhan seringkali menyorot penggunaan gas air mata. Inspektur Jenderal (Irjen) Nico Afinta lantas dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur setelah tragedi itu. Bagaimana Polri seharusnya direformasi?
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang diduga disebabkan kepanikan penonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya menuai ungkapan belasungkawa dari berbagai pemimpin negara. Pengaruh persebaran informasi dari media massa luar negeri seolah menunjukkan tanda dunia sepak bola yang sedang berkabung.
Tragedi Kanjuruhan pun tak luput dari perhatian para pengamat luar negeri, salah satunya pengamat sosial politik dari Australia, Jacqui Baker yang menyoroti permasalahan dalam konteks penyalahgunaan gas air mata. Dia menilai kegagalan reformasi di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu penyebab tak langsung tragedi maut ini terjadi.
Baker juga menekankan kekerasan yang digunakan oleh polisi ketika kerumunan massa semakin tidak terkendali. Menurutnya fenomena ini perlu dipahami secara luas terkait impunitas Polri terkait pertanggungjawaban yang berujung pada ketidakprofesionalan.
Lebih lanjut, dia menilai Polri tidak dapat dianggap sebagai lembaga demokrasi secara struktural sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan tidak adanya hukuman yang bisa dijatuhi, maka mekanisme penataan tidak dapat mengatur perilaku institusional.
Dia bahkan menambahkan bahwa permasalahan Polri saat ini berkaitan dengan malapraktik, inkompetensi, dan pembiaran atas masalah yang ada. Akhirnya, seakan membenarkan permasalahan itu, pencopotan kepala kepolisian dianggap sebagai solusi tepat sekaligus menanggapi desakan masyarakat atas pertanggungjawaban Polri.
Salah satu kepala kepolisian yang harus menerima imbas atas tragedi ini yaitu Inspektur Jenderal (Irjen) Pol. Nico Afinta yang dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur.
Lantas, apakah pencopotan Irjen Nico Afinta merupakan keputusan yang tepat untuk memperbaiki institusi Polri?
Fenomena Copot Kepala
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah resmi mencopot jabatan Irjen Nico Afinta dari posisinya sebagai Kapolda Jawa Timur melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/2134/X/KEP./2022 pada tanggal 10 Oktober 2022 yang ditandatangani oleh As SDM Polri Irjen Pol Wahyu Widada.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo ungkap bahwa mutasi merupakan hal yang alamiah di internal kepolisian. Ia kemudian menambahkan bahwa jabatan Nico saat ini diganti menjadi Staf Ahli Sosial Budaya (Sahlisosbud) Kapolri di bawah Kapolri Jenderal Listyo.
Selanjutnya, saat ini posisi Kapolda Jawa Timur ditempatkan oleh Irjen Teddy Minahasa Putra yang sebelumnya merupakan Kapolda Sumatera Barat, sebelum sosok ini sendiri tersandung kasus narkoba.
Nico sendiri diketahui memiliki banyak prestasi selama menjabat di Korps Bhayangkara. Bagi seorang lulusan Akademi Kepolisian (Akpol), dia melanjutkan pendidikan di bidang hukum untuk jenjang S2 dan S3.
Selama menjadi polisi, dia pada mulanya ditugaskan di Polda Metro Jaya. Dia pernah menjabat sebagai Wadirreskrimum, Direktur Reserse Narkoba, dan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum).
Pada saat menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum pada tahun 2017, Nico mampu mengungkap kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang sempat menggegerkan publik.
Setelah itu, Nico ditugaskan menjadi Karobinopsnal Bareskrim Polri pada tahun 2018. Setahun kemudian dia dipercaya menjadi Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri dan akhirnya diangkat menjadi Staf Ahli Sosial Politik Kapolri.
Nico juga sempat ditempatkan menjadi Kapolda Kalimantan Selatan sebelum akhirnya ditugaskan menjadi Kapolda Jawa Timur untuk menggantikan Irjen Fadil Imran yang dimutasi ke Polda Metro Jaya.
Saat itu, Nico pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Gabungan dan penyidikan untuk kasus penyiraman air keras penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan serta dilibatkan dalam tim anggota Densus 88 Antiteror Polri dan tim dari KPK.
Nico juga memiliki berkiprah dalam membongkar kasus penyelundupan sabu seberat 1 ton asal Tiongkok di Serang, Banten dan menjadi Kapolda yang berhasil mengusut kasus Mas Bechi, seorang anak kiai di Jawa Timur yang terjerat kasus pencabulan di lingkungan pesantren hingga masuk ke daftar pencarian orang (DPO) di awal tahun 2022.
Jika memang Nico memiliki serangkaian prestasi dalam penegakan hukum, lantas apakah dirinya dapat disebut menjadi “oknum” di kepolisian yang mencoreng citra institusi tersebut?
Generalisasi Citra Polri?
Saat ini, kepolisian seakan diterpa dengan generalisasi citra buruk. Salah satu kasus besar pemicunya adalah terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir J yang didalangi oleh Ferdy Sambo.
Kasus Sambo semestinya harus menjadi perhatian serius bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat membenahi institusi Polri khususnya bagi posisi strategis mulai dari markas besar hingga ke daerah.
Pasalnya, sebelum kasus Sambo mencuat ke publik, kepercayaan publik terhadap Polri dinilai rendah. Terlebih, banyak kasus-kasus viral di media sosial yang menyangkut oknum kepolisian misalnya terkait kelalaian dan lambannya dalam merespons laporan kekerasan seksual, pencurian, dan sebagainya.
Pada akhirnya, Polri kerap dilihat sebagai aparat yang memiliki sikap arogan, mau menang sendiri, selalu merasa benar dan berhak menekan serta memeras masyarakat dan masih banyak akibat perilaku lainnya.
Pada titik ini lahir fenomena generalisasi dimana suatu fenomena dilihat berdasarkan perhitungan “pada umumnya”. Artinya, ukuran tersebut ditentukan secara abstrak bukan berdasarkan case by case. Tidak heran, jika saat ini muncul istilah “one day, one oknum” yang dituju bagi institusi kepolisian dari warganet.
Fenomena generalisasi terhadap citra Polri menjadi suatu urgensi adanya reformasi di kepolisian. Oleh karena itu, bagaimana seharusnya Polri menyikapi institusi tersebut? Apakah pencopotan kepala merupakan upaya yang tepat dalam melakukan reformasi di institusi kepolisian?
Refleksi Kerajaan Malaka
Fenomena pencopotan kepala ternyata mirip dengan kisah Kerajaan Malaka. Kerajaan itu dulunya sempat disebut-sebut sebagai sebuah negeri besar di sebelah Timur dimana rakyat hidup dengan makmur dan aman. Kisah kerajaan Malaka diceritakan kembali oleh Prof. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo atau populer dengan nama penanya Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Perbendaharaan Lama.
Pada buku itu disebutkan bahwa Kerajaan Malaka memiliki orang kedua yang sangat disegani selain Sultan Melayu Mahmud Syah yakni Bendahara Sri Maharaja. Keunggulannya yang mumpuni dalam bidang politik dalam maupun luar negeri membuatnya namanya meroket hingga ke luar negeri.
Ketika perutusan Armada Portugis datang ke Malaka, mereka tidak mengunjungi sultan, melainkan Bendahara. Terlepas dari kepopulerannya dan berbagai cerita sejarah yang tersebar, hal ini membuat sang bendahara dihujani oleh rumor akan keburukannya yang pada akhirnya menjadi buah mulut.
Ketika sultan hendak meminang putri dari bendahara yakni Tun Fathimah, dirinya menolak pinangan itu karena putrinya telah bertunangan dengan Tun Ali. Lantas, hal ini mengundang amarah sultan hingga pada akhirnya dia dituduh melakukan upaya untuk menumbangkan sultan.
Akhirnya dengan kesetiaan sumpahnya, bendahara tidak melarikan diri dan dibunuh oleh utusan sultan. Setelah kematiannya, Malaka menjadi muram. Berita duka juga sampai ke luar negeri.
Masa kelam itu juga diliputi oleh perpecahan antara sultan dengan anaknya yakni Ahmad Syah. Kerajaan itu pada akhirnya runtuh ketika diserang oleh tentara Portugis di bawah kepemimpinan Ahmad Syah dan dibendaharai oleh Bendahara Lubuk Batu.
Setelah pencopotan Bendahara Sri Maharaja, Malaka jatuh ke tangan Portugis hanya dalam beberapa bulan pada tahun 1511. Sejak itu, orang-orang yang jujur dan siap mengabdi semakin hilang dan habis layaknya fenomena “copot kepala”.
Selain Bendahara Sri Maharaja, adapun Laksamana Hang Tuah yang merupakan petarung hebat baik di lautan maupun daratan. Dia merupakan ahli perang yang dipercaya oleh kerajaan Malaka.
Namun, akibat berbagai hasutan dari pegawai istana, nasib Laksamana Hang Tuah serupa dengan Bendahara Sri Maharaja. Akibatnya, ketika serangan datang sultan tidak lagi memiliki kekuatan karena semua orang yang mumpuni di dalam pemerintahan telah dipangkas.
Setelah runtuh, Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Kopak kemudian Kampar hingga Ia dijuluki “Marhum Mangkat di Kampar”. Dengan demikian, kisah kerajaan Malaka bisa saja terulang jika Polri selalu memangkas prajurit yang justru memiliki sejumlah prestasi.
Jika merujuk pada aspek good governance yang diungkapkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Institusi Polri perlu memenuhi prinsip partisipasi, aturan hukum, transparansi, daya tanggap, berorientasi konsensus, berkeadilan, bervisi strategis, efektif dan efisiensi, dan akuntabilitas.
Prinsip-prinsip ini lah yang seharusnya ditekankan ketimbang hanya melakukan upaya “copot kepala”.
Selain itu, kultur kepolisian tampaknya lebih disebabkan oleh “oknum” Polri. Pimpinan di kepolisian perlu memiliki komitmen untuk memperbaiki kultur di institusi tersebut.
Pimpinan tersebut harus dapat mempengaruhi komitmen para anggota sehingga resistensi dapat dihindari. John P. Kotter dalam bukunya yang berjudul The General Managers menyebutkan salah satu penyebab perubahan yaitu terletak pada sifat pribadi dimana seseorang ketakutan akan kehilangan sesuatu sehingga sulit untuk “move on” dalam memulai sesuatu.
Pemerintah bersama DPR kiranya perlu turut aktif melakukan reformasi Polri secara menyeluruh terutama dari aspek budaya organisasi sehingga dapat menghindari resistensi. Faktor yang paling berpengaruh yaitu berada pada kultur Polri dan tidak efektifnya upaya copot kepala. Jika Polri ingin melakukan reformasi, copot kepala tidak dapat menyelesaikan masalah, terlebih fenomena ini mirip kisah Kerajaan Malaka.
Jika Polri terus lakukan copot kepala, maka bisa jadi ketika ada permasalahan besar justru tidak ada pemimpin yang cukup mumpuni untuk memperkuat institusi tersebut. (Z81)