Menkopolhukam Wiranto mengusulkan KPK untuk menunda proses hukum terhadap peserta Pilkada.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]langkah terluka hati rakyat jika mengetahui kandidat yang mereka pilih jadi pemimpin, ternyata terlibat kasus korupsi. Calon yang mereka dukung sepenuh hati, ternyata berkhianat dengan praktik rasuah. Sayangnya, konon calon seperti ini sangat marak di Pilkada.
Ketua KPK mengungkap bahwa ada 34 peserta Pilkada yang terindikasi terlibat kasus korupsi. Komisi anti-rasuah mengaku telah menelusuri kasus-kasus calon kepala daerah tersebut. Hasilnya, diperkirakan 90 persen-nya kemungkinan akan jadi tersangka!
Bagi rakyat, penting untuk segera mengetahui nama-nama calon pejabat yang suka dengan uang haram tersebut. Rakyat tentu tidak ingin salah pilih dan memberi suara pada orang dengan tangan yang kotor. Akan tetapi, pemerintah sepertinya tidak satu irama dengan rakyat. Menkopolhukam Wiranto mengusulkan kepada KPK untuk menunda pengusutan kasus peserta Pilkada.
Usulan Menkopolhukam tersebut tentu membingungkan. Rakyat idealnya menginginkan pemimpin yang bersih dari kasus korupsi. Langkah Wiranto ini seolah bertentangan dengan kehendak rakyat dan merugikan mereka. Jika usulan sang menteri ini merugikan rakyat, siapa yang mendapat untung?
Proses Hukum Saat Pilkada
Melakukan proses hukum pada saat gelaran Pilkada memang memberikan problema tersendiri bagi para penegak hukum. Baik KPK, Polri, maupun kejaksaan menghadapi kondisi yang tidak mudah jika menemukan kasus yang menimpa seorang peserta Pilkada.
Bagi penegak hukum, mereka umumnya ingin meminimalisasi kegaduhan politik yang timbul akibat langkah yang mereka ambil. Polisi dan kejaksaan misalnya, memilih menunda proses hukum hingga Pilkada selesai ketimbang menimbulkan kegaduhan. Penetapan tersangka saat proses Pilkada berjalan, memang berpotensi mengubah hasil akhir pemiliihan tersebut.
Pengusutan hukum yang mengubah hasil Pilkada, terlihat misalnya pada kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mantan Gubernur Jakarta tersebut harus menerima pil pahit kalah dalam pemilihan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama.
Bagi beberapa pihak, KPK bisa saja menjadi alat penjegal bagi kandidat yang ingin menang mudah tanpa berkeringat. Malas bersaing, satu kandidat bisa saja menjatuhkan kandidat lainnya dengan mengirim laporan korupsi ke kantor KPK di Kuningan. Dengan begitu, calon tersebut dapat tersingkir dengan mudah tanpa susah payah.
Sy tak percaya Menko Polhukam meminta penundaan cakada utk dijadikan TSK. Itu pasti hoax. Tak mungkin dan tak boleh ada pejabat negara menyatakan itu. Proses hukum tdk boleh dipotong oleh agenda politik. Selain negara demokrasi Indobesia ini juga negara nomokradi (hukum).
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) March 13, 2018
Bagi kalangan penganjur penunda proses hukum, jika KPK mengusut kasus korupsi, maka komisi anti-rasuah tersebut berpotensi berpihak pada salah satu kandidat. Pengusutan kasus korupsi satu kandidat memang dapat memberikan keuntungan bagi kandidat lainnya. Mereka tidak perlu bersusah-susah membuat kampanye hitam karena lawannya sudah terjerat kasus hukum.
Hal ini sepertinya yang menjadi latar pemerintah meminta KPK untuk menunda proses hukum calon kepala daerah. Mereka seperti tidak ingin ada lagi orang yang bernasib seperti Ahok, tersingkir karena menjadi tersangkut kasus hukum.
Meski begitu, langkah Wiranto ini bisa saja digolongkan sebagai obstruction of justice atau menghalangi proses hukum. Menurut ahli hukum Amerika Serikat Henry Campbell Black, obstruction of justice adalah gangguan terhadap proses hukum yang berjalan. Merujuk pada definisi tersebut, Wiranto melakukan gangguan pada proses hukum KPK melalui usulan untuk menunda proses hukum calon di Pilkada.
Rakyat Perlu Tahu
Bagi rakyat, mengetahui sesegera mungkin calon yang tangannya berlumuran uang kotor adalah hal yang amat penting. Apa gunanya sebuah pemilihan jika setelah dilantik ternyata pejabat yang terpilih harus segera menuju jeruji besi?
Jika KPK akhirnya benar-benar menuruti usulan Wiranto, maka mereka akan merugikan rakyat sebagai pemilih. Penundaan proses hukum oleh KPK memiliki risiko yang cukup besar bagi masyarakat di daerah-daerah yang menghelat Pilkada.
Selama ini, rakyat kesulitan untuk menemukan latar belakang dan rekam jejak yang benar-benar lengkap dari suatu calon. Mereka tidak pernah mengetahui apakah calon yang digemari memiliki beban di masa lalu seperti kasus korupsi atau perkara hukum lainnya.
Ide menunda penetapan tersangka calon kepala daerah tentu harus di tolak #pilihsiapa
— ICW (@antikorupsi) March 14, 2018
Langkah KPK untuk mengusut dan mengungkap calon yang terlibat kasus korupsi dapat menjadi salah satu informasi penting bagi masyarakat. Mereka bisa mencoret kandidat yang jelas-jelas korup dari daftar kandidat yang bisa mereka pilih.
Kekhawatiran apabila KPK menjalankan proses hukum selama Pilkada, dapat mempengaruhi hasil adalah hal berlebihan. Jika benar langkah KPK mempengaruhi hasil, maka sebenarnya hasil yang diraih adalah hasil yang ideal karena calon yang terindikasi pada akhirnya tidak terpilih.
Jika kandidat korup dibiarkan melenggang tanpa proses hukum, maka ada kemungkinan mereka bisa merengkuh jabatan yang dikejar. Proses pemilihan kemudian memiliki kualitas yang amat rendah karena menghasilkan pemimpin yang memiliki beban hukum.
Berdasarkan usulan Wiranto, proses hukum kandidat korup baru bisa dijalankan kembali setelah gelaran Pilkada selesai. Maka, bisa saja kandidat yang baru saja memakai seragam putih langsung harus menggantinya dengan rompi oranye dari KPK.
Memiliki pemimpin yang mengatur jalannya pemerintahan dari balik jeruji besi, tentu adalah pemandangan yang menyedihkan. Laju pemerintahan dipastikan tidak akan maksimal. Apalagi, jika nanti kepala daerah tersebut putusannya inkracht, maka posisinya harus segera diganti pejabat baru. Proses Pilkada kemudian menjadi perjalanan yang sia-sia belaka.
Untung Para Kandidat
Di atas kertas, usulan Wiranto tampak hanya ingin menghindari kegaduhan selama jalannya Pilkada saja. Pendiri Partai Hanura tersebut tidak ingin hasil Pilkada berubah karena adanya proses hukum yang dijalankan oleh KPK.
Meskipun demikian, terlihat ada pihak-pihak yang diuntungkan dari usulan Menkopolhukam tersebut. Keuntungan paling besar, tentu saja dimiliki oleh para kandidat yang terindikasi korupsi. Usulan sang Menteri bisa menjadi jalan mereka agar langkah tidak terjegal di Pilkada.
Jika melihat dari polanya, usulan Wiranto ini juga bisa memberikan manfaat tersendiri bagi parpol tertentu. Berdasarkan operasi yang dilakukan KPK belakangan ini, terlihat bahwa calon yang ditangkap berasal dari dua partai politik utama, yaitu Golkar dan PDIP.
Dari operasi yang dilakukan KPK sejak awal tahun ini, tercatat ada lima kandidat yang harus meninggalkan daerah pemilihannya dan menuju Kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Dari kelima calon tersebut, perwakilan Golkar dan PDIP memang mendominasi.
Dari Golkar, ada dua nama kandidat yang harus menjadi pesakitan di tangan komisi anti-rasuah tersebut. Terdapat nama Yono Suharli Wihandoko, Ketua DPD Golkar Jawa Timur dan petahana Bupati Jombang yang menjadi kontestan dalam Pilkada Kabupaten Jombang. Selain itu, terdapat pula nama Imas Aryumningsih, Ketua DPD Golkar dan petahana Bupati Subang yang menjadi peserta Pilkada Kabupaten Subang.
Di PDIP juga terdapat dua kandidat yang terpaksa harus berurusan dengan KPK. Dari partai berlogo banteng tersebut ada nama Marianus Sae, salah satu kandidat dalam Pilgub NTT. Terdapat pula nama Asrun, mantan Walikota Kendari yang tengah maju dalam Pilgub Sultra.
Berdasarkan pola yang ada, calon yang diciduk KPK kebanyakan berasal dari unsur petahana atau bupati/walikota yang sedang mengejar jabatan gubernur. Jika melihat pola tersebut, maka ada potensi ada kader Golkar dan PDIP lain yang akan terjerat jika KPK melanjutkan proses hukum. Hal ini dikarenakan sebagian besar petahana yang berasal dari kedua partai tersebut.
Jika KPK benar-benar mengikuti permintaan Wiranto, maka kedua partai tersebut bisa bernapas lega sejenak. Mereka tidak perlu khawatir ada lagi kader mereka yang menambah daftar panjang koruptor dari kedua partai tersebut.
Pemerintah bisa saja dihakimi oleh rakyat sebagai pelindung bagi kedua partai tersebut. Permintaan agar proses hukum peserta Pilkada ditunda, bisa saja diartikan bahwa pemerintah tengah menjadi semacam penjaga kepentingan dari kedua partai besar tersebut.
Pemerintah dan Wiranto tentu tidak ingin mendapat predikat semacam itu. Apalagi ada risiko sang menteri terkena pasal obstruction of justice karena mengintervensi KPK. Jika pemerintah sejalan dengan rakyat, maka pemerintah harus melupakan usulan mereka dan membiarkan KPK bekerja seperti seharusnya. (H33)