Pemerintah tampak gencar mendorong hadirnya kampus asing di Indonesia. Apakah ini sebuah ancaman?
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]mpian anak bangsa untuk berkuliah di kampus kenamaan mancanegara kini dapat tercapai. Sebab saat ini, Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan agar putra-putri bangsa dapat menikmati pendidikan berkualitas dunia. Meski begitu, bukan berarti pemerintah sedang merancang program beasiswa baru tapi langsung menghadirkan kampus asing tersebut ke tanah air.
Kebijakan baru Pemerintah ini memang memungkinkan perguruan tinggi asing membuka cabangnya di Indonesia. Nantinya, kampus bersertifikat internasional tersebut diizinkan beroperasi di Indonesia dengan sejumlah syarat.
Meski begitu, rencana ini ternyata menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Selain beberapa pihak yang menilai kebijakan ini berdampak positif, ada pula pihak yang mengkhawatirkannya. Kampus asing ini bahkan dinilai menjadi bentuk baru kolonialisme di Indonesia.
Bagi sebagian orang, pemberian izin ini memang membingungkan. Mereka khawatir kalau perguruan tinggi ini akan menjadi ancaman bagi kampus nasional. Benarkah begitu?
Karpet Merah untuk Kampus Asing
Gagasan mengenai masuknya universitas asing telah mengemuka sejak lama. Jika dirunut, pemikiran untuk menghadirkan perguruan tinggi luar negeri sudah muncul sejak The General Agreement on Trade in Services (GATS) 1995. Selain itu ada pula Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Terdapat pula UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi. Peraturan ini menjadi landasan awal mengenai legalitas pergururuan tinggi asing. Meski begitu, turunan dari peraturan ini belum ada sehingga teknis pelaksanaan kampus tersebut masih belum jelas.
Menyadari keberadaan UU tersebut, pemerintahan terkini gencar mendorong hadirnya kampus asing di Indonesia. Wacana pembukaan kampus asing di Indonesia dikemukakan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden menginginkan ada pembanding bagi kampus dalam negeri agar kualitasnya dapat meningkat.
Selain itu, menurut Jokowi kebutuhan tenaga kerja juga di tahun 2030 akan meningkat. Tidak hanya dari segi kuantitas, permintaan tenaga kerja juga akan meningkat secara kualitatif. Untuk memenuhi hal tersebut, menurutnya kehadiran universitas, akademi, atau politeknik asing akan sangat membantu.
Pemerintah sendiri tidak sembarangan mengizinkan kampus mancanegara hadir di Indonesia. Ada sejumlah persyaratan agar kampus-kampus tersebut bisa membuka cabang di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai akreditasi. Hanya kampus dengan akreditasi saja yang boleh membuka cabangnya di Indonesia. Hal ini untuk mencegah adanya “kampus ruko” di luar negeri membuka cabang di Indonesia.
Nantinya, hanya kampus dengan reputasi tinggi saja yang diprioritaskan masuk ke Indonesia. Menurut Menristekdikti Muhammad Nasir, diharapkan hanya perguruan tinggi yang masuk ke jajaran 200 besar dunia saja yang masuk ke tanah air.
Kampus-kampus mancanegara tersebut juga harus bermitra dengan kampus-kampus lokal. Hal ini dilakukan agar kehadiran kampus tersebut tidak menggerus eksistensi kampus lokal. Selain itu, hanya beberapa sektor saja yang boleh dimasuki kampus asing. Prioritas area yang dimaksud adalah sains, teknologi, teknik, matematika, bisnis, dan manajemen.
Menurut Nasir, saat ini sudah ada 10 kampus luar negeri yang siap membuka cabangnya di Indonesia. Tiga di antara 10 kampus tersebut adalah kampus yang cukup tenar, yaitu University of Cambridge, University of Melbourne, dan University of Queensland.
Suara-suara Kontra
Bagi perguruan tinggi swasta, masuknya kampus luar negeri di Indonesia tergolong mengkhawatirkan. Mereka takut akan kesulitan bersaing dengan kampus-kampus tersebut. Bagi kampus swasta kecil, ancaman gulung tikar menghantui mereka.
Kondisi ini terkait dengan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi setiap tahunnya di Indonesia yang hanya mencapai 30,1 persen. Menurut Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), APK tersebut tidak pernah naik setiap tahunnya.
Beroperasinya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia Menjadi Tantangan Bagi PTMhttps://t.co/qUNRkuYnXD pic.twitter.com/4jsAswL9b2
— Muhammadiyah (@muhammadiyah) February 1, 2018
Hal ini tentu akan menyulitkan kampus-kampus swasta. Mereka harus berbagi ceruk dengan kampus-kampus tenar mancanegara dengan kekuatan finansial lebih mumpuni. Angka 30,1 persen mungkin akan diambil oleh PTN, perguruan tinggi swasta populer, dan perguruan tinggi asing. Kampus swasta kecil tentu tidak akan kebagian ceruk sebesar 30,1 persen tersebut.
Di luar itu, beberapa pihak juga menganggap masuknya kampus asing ini bisa menjadi bentuk kolonialisme. Negara luar bisa saja menanamkan pengaruhnya di Indonesia melalui kehadiran kampus-kampus tersebut.
Di dalam UU Pendidikan Tinggi, memang sudah ada klausul soal mendahulukan “kepentingan nasional” bagi kampus asing. Meski begitu, klausul tersebut masih harus dipertegas.
Tidak ada jaminan bahwa kampus-kampus tersebut tidak akan mendahulukan kepentingan mereka terlebih dahulu. Meski mereka belum tentu melakukan penjajahan, mereka memiliki potensi untung ekonomi yang cukup tinggi. Maka bisa saja, kepentingan ekonomi tersebut yang akan mereka dahulukan.
Asing Meraup Untung
Jika dilihat secara konseptual, ada sebuah istilah yang disebut sebagai transnational education. Istilah ini merujuk pada praktik pembukaan cabang-cabang perguruan tinggi negara tertentu di luar negara asal kampus tersebut.
Melihat fenomena global, ada dua negara yang termasuk rajin membuka cabang di luar negeri. Australia dan Inggris kerap dianggap sebagai negara-negara yang paling banyak melakukan praktik transnational education.
Hal ini terutama terlihat dari fenomena yang ada di Asia-Pasifik. Kedua negara ini tampak gencar membuka cabangnya di negara-negara seperti Malaysia atau Singapura.
Berdasarkan kondisi tersebut, bisa berarti kedua negara ini tengah mengincar Indonesia. Apalagi di antara kampus-kampus yang dikatakan berminat membuka cabang di Indonesia berasal dari kedua negara tersebut.
Sejauh ini, Australia memang tampak antusias dengan rencana kebijakan ini. Menteri Pendidikan Australia, Simon Birmingham mengatakan kalau pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull mendukung kebijakan ini dan akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Bisa saja kedua negara yang dikepalai oleh Ratu Elizabeth ini tengah berkeinginan menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Hadirnya lulusan dari negara-negara tersebut bisa memuluskan langkah keduanya dalam berbagai hal. Lulusan-lulusan tersebut dapat memiliki pengaruh atau bahkan menentukan kebijakan strategis yang menguntungkan Inggris atau Australia.
Menurut Ka-Ho Mok, seorang profesor dari University of Hong Kong, praktik ini bisa saja mengancam budaya asli negara tujuan. Ia merujuk pada hasil penelitiannya di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong. Berdasarkan penelitian tersebut, ada kemungkinan westernisasi jika kampus-kampus asing membuka cabangnya di Indonesia.
Kondisi tersebut tentu dapat menjadi ancaman bagi kebudayaan di Indonesia. Indonesia bisa saja kehilangan identitas dalam dunia cendekia dan akademik.
Wacana pemerintah untuk memberi izin Perguruan Tinggi Asing (PTA) membuka cabang di Indonesia yang menimbulkan pro dan kontra.#HarianBernasJogja #KoranBernas #beritahariini #beritabernas #bernasnews #PTA #prodankontra pic.twitter.com/0YSmSEh4AR
— BERNAS Media Group (@BernasMedia) February 8, 2018
Munculnya kampus-kampus asing tersebut juga bisa saja hanya sekadar memberikan untung kepada pihak asing. Dalam hal ini, motif dari kehadiran perguruan tinggi internasional di Indonesia bukanlah pendidikan tetapi materi.
Hal ini terutama jika mengingat bahwa beberapa negara telah memberikan kebijakan agar mahasiswa asal luar negeri tidak perlu membayar atau diberi biaya murah untuk pendidikan tinggi. Kehadiran kampus asing di Indonesia tentu menjadi angin segar bagi mereka.
Langkah pemerintah yang begitu gencar mendorong kehadiran kampus asing di Indonesia memang dapat dipertanyakan. Pemerintah bisa saja hanya menyediakan ladang bisnis untuk kampus-kampus asing di Indonesia.
Kondisi tersebut tentu merupakan ironi. Di tengah kampus-kampus nasional yang tengah kesulitan napas, pemerintah justru memprioritaskan kehadiran kampus lain. Padahal, pemerintah bisa saja meningkatkan dana bantuan kepada kampus-kampus tersebut.
Jika hasil yang diinginkan adalah sumber daya manusia yang berdaya saing, maka pemerintah hanya perlu meningkatkan kualitas pendidikan yang ada. Dana riset harus diprioritaskan agar perguruan tinggi di Indonesia dapat menghasilkan inovasi dan penciptaan yang tidak kalah dengan kampus asing. (H33)