Kemenangan Trump di Pilpres AS 2016 adalah sinyal bahwa strategi seeking voters konvensional telah berubah secara dramatis. Mungkinkah tim Prabowo sebenarnya mengadopsi cara-cara Trump mendapatkan kekuasaan?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enjelang Pilpres 2019, berbagai spekulasi tentang kondisi politik tanah air makin beragam. Salah satunya adalah hoaks Ratna Sarumpaet yang membuat banyak orang kembali bertanya-tanya, sebenarnya permainan apa yang sedang dilakukan para aktor politik kita hari ini.
Namun, satu hal yang tampak luput menjadi sorotan berbagai pihak. Pola oposisi dalam meraih dukungan populer terlihat tidak berubah sejak Pilpres 2014 lalu, yakni dengan memunculkan isu-isu negatif yang cenderung menyerang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mungkinkah serangan-serangan yang dilakukan kubu oposisi ini adalah strategi tersembunyi dalam upaya men-delegitimasi kekuasaan petahana?
Lalu, apakah mungkin kemenangan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) di tahun 2016 yang menggunakan strategi destruktif dengan menyebar hoaks menjadi inspirasi tim Prabowo dalam menghadapi Pilpres 2019?
Kalau Gerindra mengkritik soal penanganan gempa Palu. Silakan kasih serbet kotor ke wajahnya. Gubernur Sulteng, itu dari Gerindra.
Jokowi sendiri dalam seminggu sudah dua kali ke lokasi gempa. Prabowo malah sibuk ngurus nenek yang baru operasi plastik. Belagak jd pahlawan.
— Eko Kuntadhi (@eko_kuntadhi) October 6, 2018
Sibuk Serang Pemerintah Daripada Jualan Program
Jika melihat tren sejak Pemilu 2014, hoaks-isasi – jika ingin disebut demikian – memang terlihat menghantui masyarakat Indonesia dengan tujuan memecah belah persepsi dan preferensi pilihan. Disinyalir, hoaks-isasi yang beredar dimasyarakat dilakukan oleh kubu oposisi pemerintahan Jokowi. Tuduhan tersebut memang berbahaya, namun setidaknya demikianlah fakta yang terjadi.
Jokowi misalnya pernah diserang dengan isu korupsi bus Transjakarta. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono menyatakan bahwa pria kelahiran Solo itu adalah aktor di balik pengadaan armada Transjakarta yang tidak layak pakai.
Ia pun digugat pihak Jokowi untuk membuktikan ucapannya dan akhirnya divonis 5 tahun akibat kesalahan administrasi dan menerima hadiah dari pihak penyedia armada. Menariknya, saat itu Udar menggunakan jasa Eggy Sudjana sebagai kuasa hukum. Nama terakhir adalah salah satu sosok dalam tim sukses Prabowo saat itu.
Sementara, yang paling menghebohkan mungkin adalah isu Jokowi keturunan Tionghoa dan PKI. Tuduhan ini muncul saat masa Pilpres 2014 dalam buku tulisan Bambang Tri – seorang pendukung Prabowo – berjudul Jokowi Undercover yang menyatakan bahwa ibu kandung Jokowi sebenarnya adalah keturunan Tionghoa yang juga seorang Gerwani, sementara ayah Jokowi adalah pengusaha luar negeri berkebangsaan Tionghoa.
Pelarangan beredarnya buku ini juga sempat ditentang oleh Rocky Gerung. Nama terakhir adalah pengamat politik yang “cenderung” ada di garis oposisi.
Tuduhan terhadap Jokowi berlanjut selama mantan Wali Kota Solo itu menduduki kursi kekuasaan. Upaya penggiringan opini publik kembali dilakukan ketika tuduhan kader PKS, Muhammad Fadri yang menyebut anak Jokowi menikah karena hamil di luar nikah.
Hal ini akibat dari proses perayaan tujuh bulanan atau Mitoni di usia enam bulan kehamilan menantu Jokowi, Silvia Ananda. Padahal dalam tradisi Jawa, perayaan Mitoni memang dilakukan pada saat kehamilan 6 bulan untuk menyambut datangnya bulan ketujuh kehamilan.
Selain itu, isu privatisasi BUMN juga tak kalah mengundang keriuhan publik. Melalui pidatonya, Prabowo Subianto menyebut terdapat empat BUMN yang sahamnya akan dijual. Isu ini muncul menjelang rencana penyertaan modal negara melalui right issue terhadap keempat BUMN tersebut. Padahal right issue adalah penawaran penjualan saham yang diprioritaskan kepada pemilik saham terbesar terlebih dahulu, dalam konteks ini adalah pemerintah.
Memasuki tahun 2018, isu SARA adalah salah satu keberhasilan politisasi agama yang dilakukan kubu oposisi dan memiliki dampak politik yang luar biasa.
Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – yang sering disebut sebagai “sekutu” Jokowi – menjadi pembuktian bahwa serangkaian serangan dengan berita bohong mampu melengserkan petahana dari kursi kekuasaan. Dengan mempengaruhi psikologis publik melalui aksi berjilid-jilid, dampaknya masyarakat terlanjur mempercayai isu SARA tersebut.
Setelah sentimen SARA mulai berkembang, tuduhan bahwa pemerintah mendatangkan 10 juta tenaga kerja Tiongkok pun menjadi semakin mudah dipercaya oleh banyak orang. Isu ini dikatikan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur yang didukung kontraktor dari Tiongkok dan dibumbui dengan nasionalisme sektor ketenagakerjaan. Dalam isu ini, diskursus anti-Tiongkok pun akhirnya menguat.
Menariknya, isu SARA tersebut hanya sebagian kecil saja dari grand strategy yang sesungguhnya. Menjelang Pilpres 2019, pola yang digunakan untuk mendelegitimasi pemerintah masih terkesan sama. Kasus hoaks yang menyangkut Ratna Sarumpaet adalah salah satu contoh upaya framing terhadap isu yang sayangnya gagal dalam eksekusi.
Ada upaya penggiringan opini publik tentang penganiayaan yang dialami Ratna dan kemungkinan besar dengan tujuan menjatuhkan pemerintah melalui isu pelanggaran HAM, mengingat sang aktivis adalah salah satu sosok sentral dalam gerakan kontra petahana bertajuk #2019GantiPresiden. (Baca Juga : Di Balik Ratna Sarumpaet)
Dan kini, setelah gagal menyasar isu HAM tersebut, kubu Prabowo-Sandiaga Uno menyasar penolakan digelarnya acara Annual Meeting Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) di Bali.
Dengan dalih anggaran yang dikeluarkan pemerintah terlalu besar, tim Prabowo berusaha menggiring opini bahwa pemerintah tidak menaruh empati pada korban gempa di Sulawesi Tengah jika tetap melaksanakan pertemuan tingkat dunia tersebut. Padahal program ini justru direncanakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini ada di barisan koalisi oposisi. (Baca Juga : Likuifaksi Politik Koalisi Prabowo-Sandi)
Sebelumnya, isu bencana pun tak luput dari sorotan kubu oposisi ini. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut bahwa pemerintah kewalahan menangani bencana di Sulteng karena terjadi berdekatan dengan bencana gempa Lombok. Ia juga menyebut pemerintah lambat dalam layanan tanggap darurat terkait penjarahan yang memperburuk situasi.
Berbagai jejak digital yang ditinggalkan sejak Pilpres 2014 hingga terbongkarnya hoaks Ratna Sarumpaet adalah bukti kuat yang mengindikasikan ada upaya oposisi untuk menyulut kegaduhan dan ketakutan masyarakat.
#KoalisiPraBOHONG kerjanya bikin & nyebarin hoax dan bohong supaya negeri ini 2030 bubar kata pemimpinnya begitu. Makanya kegiatan positif utk nama baik bangsa dinyinyirin terus https://t.co/pDYpo5kcpH
— IG: Nong Andah Darol Mahmada (@nongandah) October 6, 2018
Bukannya fokus pada program kerja yang ingin ditawarkan, kubu oposisi masih berkutat pada isu-isu yang terkesan menyerang kinerja pemerintah. Dalam konteks ini, ada upaya menciptakan musuh bersama, yakni pemerintah, dengan framing bahwa Jokowi dianggap gagal menjalankan tugasnya selama ini.
Kemenangan Kontroversial Trump, Inspirasi Prabowo?
Serupa tapi tak sama, nyatanya Trump juga menggunakan isu-isu SARA, penyebaran fake news, dan menyerang kebijakan pemerintahan Barack Obama untuk memenangkan Pilpres AS 2016.
Seperti dilansir The Guardian, studi dari para peneliti di Ohio State University menemukan bahwa berita palsu memainkan peran penting dalam mengurangi suara Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 4 persen pendukung Presiden Barack Obama di tahun 2012 tidak memberikan dukungan kepada Clinton karena percaya pada berita palsu.
Richard Gunther, Paul A. Beck dan Erik C. Nisbet sebagai peneliti menggarisbawahi tiga contoh berita palsu yang sangat populer di kampanye Pilpres AS 2016. Salah satu di antaranya adalah isu kesehatan Clinton yang memburuk karena penyakit serius yang memperoleh kepercayaan pemilih sebanyak 12 persen.
Lalu ada isu Paus Francis mendukung Trump yang memperoleh kepercayaan sebanyak 8 persen. Dan yang terakhir, isu Clinton menyetujui penjualan senjata kepada para jihadis Islam termasuk ISIS, mendapat kepercayaan sebanyak 20 persen. Sungguh angka yang fantastis.
Di samping menyebarkan berita palsu, Trump juga mendorong adanya isu SARA yang berkembang di AS. Trump memainkan peran besar dalam mendorong rumor palsu bahwa Obama – presiden kulit hitam pertama di negara itu – tidak dilahirkan di AS.
Trump juga menyulut sentimen rasial yang menyebut para imigran Meksiko sebagai “pemerkosa” yang “membawa kejahatan” dan “membawa narkoba” ke AS. Ia juga menyerukan larangan Muslim datang ke AS dan menguatkan sentimen Islamophobia.
Trump juga menyebarkan retorika antipemerintahan Obama yang disebutnya gagal. Ia misalnya menyasar kebijakan Obamacare yang dianggap merugikan negara. Trump juga menyasar kebijakan imigrasi dengan melarang wisatatan dari tujuh negara mayoritas Muslim masuk ke AS.
Dengan jargon America First, Trump berusaha menyampaikan pesan bahwa selama ini kebijakan inklusif yang dianut pemerintahan Obama justru merugikan AS sendiri.
Kemenangan Trump di Pilpres AS 2016 adalah sinyal bahwa strategi seeking voters konvensional telah berubah secara dramatis. Mungkinkah tim Prabowo sebenarnya mengadopsi cara-cara Trump untuk mendapatkan kekuasaan?
Faktanya, temuan menarik dari survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada September 2017 mendukung adanya hipotesis bahwa kubu Prabowo berusaha untuk menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat dengan cara menyebar hoaks dan kepanikan.
Terkait politisasi isu PKI misalnya, SMRC mengungkapkan bahwa mayoritas pihak yang setuju terhadap isu kebangkitan PKI adalah pendukung Prabowo Subianto ataupun pemilih Gerindra dan PKS. Bisa disimpulkan bahwa opini kebangkitan PKI yang sering dituduhkan pada Jokowi linear dengan pandangan politik PKS dan Gerindra.
Data tersebut juga menyebutkan bahwa dari 4,4 persen responden yang teridentifikasi sebagai massa pemilih PKS, 37 persen di antaranya mengaku setuju dengan anggapan tentang kebangkitan PKI. Dari angka itu, 58 persen di antaranya menilai isu kebangkitan PKI telah menjadi ancaman.
Opini tentang adanya kebangkitan PKI juga lebih banyak terdapat pada pemilih Prabowo. Dari 46,85 persen responden yang memilih Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014, sebanyak 19 persen setuju dengan isu kebangkitan PKI. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pendapat pemilih Jokowi yang hanya ada di angka 10 persen.
Pada titik ini, bisa jadi Trump adalah inspirasi nyata bagi kubu Prabowo. Cara-caranya untuk menang memang terkesan tidak lazim dan bahkan cenderung mutakhir. Kasus hoaks-isasi semakin mengindikasikan bahwa cara-cara lama dalam Pemilu sudah mulai berubah dalam politik Indonesia . Fenomena ini juga masih terbilang baru dalam sejarah demokrasi di negara ini.
Dan sepertinya dalam mengahadapi Pilpres 2019, kubu oposisi akan terus menggunakan cara-cara tersebut. Mungkinkah Prabowo akan menang layaknya Trump? Menarik untuk ditunggu. (M39)