“Kebijakan kami, kami akan menghindarkan negative campaign,” Sandiaga Uno
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ampanye negatif memang jenis kampanye yang dapat dikatakan ngeri-ngeri sedap. Meski kerap mendapatkan cap buruk, para politisi sering kali tidak bisa menahan godaan dari jenis kampanye seperti ini. Umumnya, ada keyakinan di antara mereka bahwa kampanye semacam ini bisa memberi berkah elektoral kepada mereka.
Ternyata, tidak semua aktor politik sepenuhnya sepakat dengan kampanye seperti itu. Dalam konteks politik Indonesia terkini, cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno menyebut bahwa dirinya akan menghindari kampanye negatif. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu mengungkapkan bahwa akan lebih fokus pada kampanye negatif yang sifatnya menyejukkan.
Seruan Sandiaga ini tergolong berbeda dengan pihak-pihak yang ada di lingkar koalisi pendukungnya. Beberapa waktu lalu misalnya, PKS, salah satu partai pendukungnya, memberikan instruksi kontroversial kepada kadernya untuk melakukan kampanye negatif.
Terlihat bahwa Sandiaga seolah menjadi antitesis bagi kamp pemenangannya sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apakah strategi Sandiaga yang menyebut akan melakukan kampanye positif akan bekerja dengan baik?
Mengambil Langkah Positif
Sandiaga boleh jadi menjadi salah satu buah bibir utama jelang pesta demokrasi 2019 nanti. Nyaris setiap hari namanya disebut dalam peliputan media terkait dengan gelaran tersebut. Ada saja cara dari mantan Ketua Umum HIPMI ini untuk mendapatkan sorotan dari khalayak luas.
Meski kerap muncul di berbagai pembicaraan baik media massa maupun media sosial, kampanye Sandiaga tergolong berbeda terutama jika dibandingkan dengan kamp pemenangannya sendiri. Sandiaga tergolong jarang melakukan kampanye yang berupa negative campaign atau attacking campaign.
Sandiaga secara khusus meminta para relawan pemenangannya untuk melakukan kampanye yang santun dan menyejukkan. Arahan seperti itu bukan sekali saja keluar dari pria yang menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta selama lebih kurang 10 bulan tersebut.
Dalam kadar tertentu, Sandiaga justru sering kali memberi imbauan untuk tidak melakukan serangan berlebihan pada pemerintah petahana saat ini, Joko Widodo (Jokowi). Jelang Asian Games beberapa waktu lalu misalnya, ia melarang lingkaran pendukungnya untuk berkomentar negatif terkait gelaran tersebut.
Hal serupa juga ia lakukan pada kasus gejolak dolar AS terhadap rupiah beberapa waktu lalu. Kala itu, ia meminta politisi untuk shut up atau berdiam diri dan tidak melontarkan kritik berlebihan. Alih-alih melakukan kritik, ia justru mengajak masyarakat membantu pemerintah untuk melepaskan dolar AS yang ada di simpanan mereka.
Ia bahkan meminta pasangannya, Prabowo Subianto, untuk tidak berbicara terlalu keras. Sandiaga menyarankan Prabowo untuk lebih fokus pada isu-isu ekonomi ketimbang melakukan kritik dengan bahasa-bahasa yang keras.
Strategi semacam ini tergolong kontras jika dibandingkan dengan pihak-pihak yang menjadi pendukungnya. Saat PKS memberi instruksi kepada kadernya untuk melakukan kampanye negatif, Sandiaga justru hadir dengan menyebut bahwa kebijakannya adalah menghindari kampanye seperti itu.
Memberi Marjin
Kampanye positif boleh jadi kerap luput dari strategi kampanye politisi dalam kontestasi elektoral. Banyak ahli yang mempertanyakan mengapa kampanye negatif cenderung lebih semarak ketimbang kampanye positif dalam berbagai gelaran pemilihan umum di seluruh dunia.
Menurut Conor M. Dowling dan Yanna Krupnikov sebenarnya keyakinan bahwa hal-hal negatif dapat memberikan keuntungan elektoral muncul di kalangan politisi dan jurnalis. Sementara itu, para pemilih justru cenderung menganggap kampanye seperti itu tidak memberi pengaruh.
Ada sebuah penelitian menarik yang dilakukan oleh Liam C. Malloy dan Shanna Pearson-Merkowitz dari University of Rhode Island . Mereka mencoba menjawab pertanyaan mengapa kampanye negatif lebih marak, melalui tulisan berjudul Going positive: The effects of negative and positive advertising on candidate success and voter turnout.
Temuan Malloy dan Pearson-Merkowitz tergolong mengejutkan dan tidak sesuai dengan pandangan umum politisi. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa menjalankan kampanye yang bersifat menyerang tidak terlalu manjur bagi kandidat. Sebaliknya, menjalankan kampanye positif justru dapat meningkatkan marjin kemenangan dari suatu kandidat.
Mereka menyebutkan ada dua faktor mengapa kampanye positif dapat memberikan keuntungan kepada kandidat yang mengggunakannya. Faktor yang pertama adalah sang kandidat harus selalu bersikap positif dan meng-out-advertise atau mengalahkan kampanye dari kandidat lawannya.
Faktor yang kedua adalah kampanye positif akan mencapai titik terkuatnya jika digunakan pada area di mana kandidat diperkirakan kalah atau menang dalam marjin yang besar. Area yang dianggap menjadi keunggulan atau kelemahan ini umumnya dilewatkan sama sekali oleh kandidat ketika berkampanye.
Terlihat bahwa melakukan kampanye positif bukanlah sesuatu yang tidak menguntungkan sama sekali. Boleh jadi, melakukan kampanye positif bisa menjadi alternatif baru untuk memaksimalkan marjin kemenangan ketimbang melakukan cara yang selama ini lebih banyak digunakan: kampanye negatif.
Menjadi Antitesis
Berdasarkan kondisi tersebut, strategi kampanye Sandiaga yang menggelorakan kampanye positif bisa saja memberi hasil yang menggembirakan baginya. Hal ini tentu dengan syarat, ia bisa mengikuti secara konsisten saran yang disebutkan oleh Malloy dan Pearson-Merkowitz.
Sandiaga perlu secara konsisten bersikap positif terlepas dari apa yang dilakukan oleh tim pemenangannya. Ia perlu menjadi antitesis dari berbagai kampanye negatif dan kampanye menyerang yang kerap dilakukan oleh kader-kader partai yang menjadi pendukungnya.
Yang juga penting adalah Sandiaga harus juga memperhatikan aspek positif dalam dirinya. Aspek ini kerap kali dilupakan oleh kandidat oposisi yang lebih banyak menyoroti kinerja petahana.
Intinya, sebaiknya kampanye itu adu program saja. Tak usah pakai black campaign atau negative campaign. Tp kalau Anda terpaksa melakukan negative campaign maka tdk ada sanksinya. Barulah Anda bisa dihukum atau dipidanakan kalau melakukan black campaign.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) October 14, 2018
Luputnya hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa di sisi itulah Sandiaga merasa memiliki keunggulan. Padahal, menurut Malloy dan Merkowitz, memberi penekanan pada aspek terkuat seperti ini justru menjadi hal yang penting agar kampanye positif bisa memberikan keuntungan dalam pemilihan.
Sejauh ini, Sandiaga tergolong masih jarang menunjukkan keunggulan dirinya jika dibandingkan kandidat petahana. Meski tidak pernah melakukan serangan keras kepada Jokowi atau Ma’ruf, kampanye Sandiaga kurang lengkap jika ia tidak menyertakan keunggulan dirinya.
Saat ini ia memang tengah terus menghiasi pemberitaan dan pembicaraan masyarakat melalui berbagai cara komunikasinya yang unik. Berkali-kali sudah ia menjadi tajuk utama karena tingkah-tingkah unik seperti soal rambut petai, tempe setipis ATM, atau uang Rp 100 ribu cukup untuk apa. Di sisi ini, Sandiaga boleh jadi sudah meng-out-advertise lawannya.
Sandi bilang dia akan menghindari kampanye negatif. Memangnya siap kampanye positif? Share on XMeski begitu, cara ia untuk melakukan out-advertise boleh jadi tidak lengkap jika ia tidak mengisinya dengan kelebihan dirinya. Padahal, Sandiaga memiliki keunggulan yang bersifat distingtif jika dibandingkan dengan kandidat yang harus ia hadapi.
Tangan dinginnya sebagai pengusaha dapat menjadi salah satu keunggulan utama dirinya yang bisa menjadi sumber utama kampanye positif bagi dirinya. Sementara lawannya, boleh jadi tidak memiliki pengalaman mengelola bisnis dan ekonomi sebanyak dirinya.
Idealnya, melalui keunggulan tersebut ia tidak hanya menyoroti persoalan tempe atau daya beli dengan cara komedi saja. Sebagai pengusaha yang paham betul ekonomi, ia idealnya melakukan kampanye positif melalui visi konkret dan detail tentang bagaimana cara dirinya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Bisa saja Sandiaga dapat memperoleh untung dengan kampanye positifnya. Sejauh ini, upaya untuk meng-out-advertise lawannya tengah terus ia lakukan dengan kemunculannya di media. Jika ia serius dengan kampanye positif, maka ia harus hadir dengan keunggulan distingtifnya sebagai pelaku ekonomi melalui berbagai visi ekonomi konkret. Jika tidak, maka kampanye positif yang ia dengungkan bisa jadi hanya akan menjadi jargon semata tanpa ada usaha berarti. (H33)